Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu belakangan, koleksi Dior Cruise 2020 sempat mengundang perhatian pecinta mode, tak terkecuali Indonesia. Pasalnya, koleksi yang dirancang oleh desainer busana Maria Grazia Chiuri itu membawa nilai etnik yang mengingatkan kepada kain batik Indonesia.
Namun, rupanya Chiuri mengangkat nilai dari kain tradisional Afrika yang ia namai "wax fabric". Hal ini cukup familiar bagi masyarakat Indonesia, mengingat kain motif dari Togo, Afrika ini juga dibuat dengan menggunakan lilin, seperti layaknya batik tulis.
Menurut perancang busana Indonesia, Musa Widyatmodjo, terdapat banyak kain tradisional di beberapa negara yang menggunakan teknik yang hampir sama seperti batik tulis.
"'Batik' Afrika, pada saat Dior membawa itu, orang-orang menyebut bahwa itu batik Indonesia, padahal bukan," kata Musa melalui siaran Instagram, Sabtu.
Baca juga:Motif batik hiasi desain botol minum asal Italia
Baca juga:Besok Lebaran, ini masker motif etnik percantik tampilan di hari raya
"Wax printing di Afrika, prosesnya sama dengan batik, dan terjadi dimana-mana, bukan cuma Indonesia. Mereka mampu menciptakan motif-motif yang 'aneh' dan unik, lalu menjadi trademark dan identitas mereka," tambahnya.
Ia kemudian mencoba menjabarkan bagaimana kain asal Togo tersebut bisa menarik perhatian rumah mode dunia seperti Dior dan membawa nilainya ke koleksi tahunan mereka.
"(Pegiat kain wax printing) Afrika bisa membuat 'batik' itu menjadi usaha yang sangat berkembang secara industri. Hal ini yang menjadi jaminan utama untuk rumah mode seperti Dior untuk mengangkat dan memproduksi (kain) tersebut dan keduanya menjadi hubungan bisnis yang menarik," kata Musa.
Dikutip dari Prestige, desainer Chiuri bekerja dengan pabrik dan studio Uniwax di Pantai Gading, salah satu pabrik terakhir yang memproduksi kain wax fabric melalui teknik artisanal mekanis. Inti dari seni ini melindungi warisan kreatif dan budaya Afrika.
Ada kisah belakang yang luar biasa untuk kain ini. Motif dan cara mencetaknya sangat kompleks. Setidaknya terdapat sekitar 20 langkah untuk membuat satu kain.
Baca juga:Peragaan busana batik jelang London Fashion Week
Baca juga:Ada batik berlandaskan Yin dan Yang di Crafina 2019
Selain Dior, rumah mode Louis Vuitton juga memiliki koleksi terbaru bertajuk LV Crafty, yang memiliki motif yang cukup mirip dengan batik Indonesia.
Mengutip situs resmi Louis Vuitton, disebutkan bahwa lini LV Crafty yang diluncurkan sebagai koleksi musim panas ini tak hanya terdiri dari tas, tapi juga sandal dan syal. Motif-motif serupa batik yang ditampilkan pada produk-produk tersebut dibuat dalam ukuran besar dengan cetakan ultra-graphic serta dominasi warna earth tone dan merah.
Bagaimana sebaiknya cara orang Indonesia untuk menanggapi "kemiripan" ini?
Musa berpendapat, hal ini dapat menjadi peluang bagi para pengerajin batik untuk terus menciptakan batik bermotif baru dan tak meninggalkan nilai estetika wastra bangsa itu.
"Melihat hal ini, dari sana (koleksi Dior, Louis Vuitton), orang lain di dunia akan penasaran, itu motif berasal dari mana, negara apa, dan lain sebagainya," kata Musa.
"Kita harus memanfaatkan momen ini. Membuat kreativitas yang bisa diterima masyarakat dunia saat ini. Fashion itu berkembang dan terus berubah, dan bagaimana caranya kita buat inovasi baru," ujarnya menambahkan.
Musa berharap, para pengerajin batik dapat membuat motif-motif baru yang lebih beragam, dan memperkuat nilai dan karakter batik di tiap daerah, serta tidak terpaku dengan satu tren motif saja.
"Perubahan dengan bahan belum cukup dan merupakan salah satu cara saja. Buat inovasi di teknik pewarnaan, tekstur kain. Inovasi harus dibiarkan berkembang," kata Musa.
Desainer kondang tersebut melanjutkan, "Kita harus berbenah untuk menjaga keberadaan batik melalui inovasi, dan perlu adanya fokus juga dari kita dan pemerintah untuk mengangkat batik ke ranah dunia."
Baca juga:Jurus Kemenperin jaga kelestarian batik nasional
Baca juga:Batik Mandala juara favorit Mio Digital Custom Challenge
Baca juga:Kreativitas dunia fesyen di balik krisis corona
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Alviansyah Pasaribu