Jakarta (ANTARA) - Anggota Ombudsman RI Alvin Lie menanggapi Surat Edaran (SE) Kementerian Kesehatan RI Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi
Pemeriksaan Rapid Test Antibodi.
Dalam SE tersebut ditetapkan, biaya rapid test tertinggi adalah Rp150 ribu.
"Kenyataannya, itu bisa ditekan menjadi Rp150 ribu," ujar Alvin kepada ANTARA di Jakarta, Selasa malam.
Alvin khawatir selama ini ada indikasi terjadinya monopoli atau oligopoli alat rapid test sehingga tarif rapid test lebih tinggi daripada yang ditetapkan Kemenkes RI.
Baca juga: 20 ribu alat "rapid test" gratis disediakan untuk pesantren di Banten
Kekhawatiran tersebut didasarkan laporan yang dia terima di sejumlah daerah bahwa alat rapid test itu dibeli dengan harga di atas Rp200 ribu.
"Selama ini biaya rapid test itu harganya gila-gilaan karena sudah menjadi komoditas dagang, itu ada sanksinya atau tidak (kalau menetapkan tarif di atas Rp150 ribu," kata Alvin.
Alvin khawatir rumah sakit di daerah mematok biaya rapid test di atas batasan biaya yang ditetapkan Kemenkes RI karena tidak memiliki pilihan untuk membeli alat rapid test tersebut sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
"Belinya di tempat itu-itu saja. Yang dikhawatirkan rumah sakit tidak bisa berbuat banyak. Ketika (batasan harga) ini diturunkan, siapa yang menanggung rugi," kata Alvin.
Alvin menanyakan apakah mereka yang sudah telanjur membeli stok alat rapid test di atas batasan harga tersebut, kelebihan uangnya dapat dikembalikan?
Masalahnya, selama ini sertifikat bebas COVID-19 berdasarkan hasil rapid test telah menjadi kebutuhan masyarakat yang mau melakukan perjalanan domestik. Bahkan, sudah dijadikan persyaratan oleh kebijakan pemerintah.
Baca juga: Bambang Soesatyo sumbang 5.000 alat rapid test untuk Pemprov Bali
Kendati hasil rapid test nonreaktif pun, kata dia, sebetulnya tidak membuktikan bahwa seorang pelancong tidak mengidap COVID-19.
"Rapid test ini hanya tes antibodi. Tidak ada gunanya untuk mencegah penularan COVID-19," kata Alvin.
Alvin meminta peninjauan ulang kebijakan pemerintah yang mengatur tentang persyaratan bepergian harus menunjukkan sertifikat bebas COVID-19 berdasarkan hasil rapid test.
Ia menyarankan sebaiknya alat rapid test, yang ada selama ini, difungsikan khusus untuk pendeteksian kasus COVID-19 di kawasan zona merah saja.
Alvin juga menyarankan alat tes cepat itu difungsikan kepada orang-orang yang benar-benar terindikasi (suspect) COVID-19 sehingga bisa lebih cepat ditangani.
"Tidak menjadi syarat administratif untuk perjalanan menggunakan pesawat, kereta, atau kapal," ujar Alvin.
Baca juga: Inzek pastikan alat rapid test Biozek sudah sesuai standar
Alvin berharap Kemenkes RI juga dapat menertibkan pelayanan Polymerase Chain Reaction (PCR) test atau tes usap (swab test) serta juga menetapkan batasan biayanya.
"Agar transparan karena ini sudah menjadi kebutuhan publik saat ini," kata Alvin.
Pemeriksaan Rapid Test Antibodi.
Dalam SE tersebut ditetapkan, biaya rapid test tertinggi adalah Rp150 ribu.
"Kenyataannya, itu bisa ditekan menjadi Rp150 ribu," ujar Alvin kepada ANTARA di Jakarta, Selasa malam.
Alvin khawatir selama ini ada indikasi terjadinya monopoli atau oligopoli alat rapid test sehingga tarif rapid test lebih tinggi daripada yang ditetapkan Kemenkes RI.
Baca juga: 20 ribu alat "rapid test" gratis disediakan untuk pesantren di Banten
Kekhawatiran tersebut didasarkan laporan yang dia terima di sejumlah daerah bahwa alat rapid test itu dibeli dengan harga di atas Rp200 ribu.
"Selama ini biaya rapid test itu harganya gila-gilaan karena sudah menjadi komoditas dagang, itu ada sanksinya atau tidak (kalau menetapkan tarif di atas Rp150 ribu," kata Alvin.
Alvin khawatir rumah sakit di daerah mematok biaya rapid test di atas batasan biaya yang ditetapkan Kemenkes RI karena tidak memiliki pilihan untuk membeli alat rapid test tersebut sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
"Belinya di tempat itu-itu saja. Yang dikhawatirkan rumah sakit tidak bisa berbuat banyak. Ketika (batasan harga) ini diturunkan, siapa yang menanggung rugi," kata Alvin.
Alvin menanyakan apakah mereka yang sudah telanjur membeli stok alat rapid test di atas batasan harga tersebut, kelebihan uangnya dapat dikembalikan?
Masalahnya, selama ini sertifikat bebas COVID-19 berdasarkan hasil rapid test telah menjadi kebutuhan masyarakat yang mau melakukan perjalanan domestik. Bahkan, sudah dijadikan persyaratan oleh kebijakan pemerintah.
Baca juga: Bambang Soesatyo sumbang 5.000 alat rapid test untuk Pemprov Bali
Kendati hasil rapid test nonreaktif pun, kata dia, sebetulnya tidak membuktikan bahwa seorang pelancong tidak mengidap COVID-19.
"Rapid test ini hanya tes antibodi. Tidak ada gunanya untuk mencegah penularan COVID-19," kata Alvin.
Alvin meminta peninjauan ulang kebijakan pemerintah yang mengatur tentang persyaratan bepergian harus menunjukkan sertifikat bebas COVID-19 berdasarkan hasil rapid test.
Ia menyarankan sebaiknya alat rapid test, yang ada selama ini, difungsikan khusus untuk pendeteksian kasus COVID-19 di kawasan zona merah saja.
Alvin juga menyarankan alat tes cepat itu difungsikan kepada orang-orang yang benar-benar terindikasi (suspect) COVID-19 sehingga bisa lebih cepat ditangani.
"Tidak menjadi syarat administratif untuk perjalanan menggunakan pesawat, kereta, atau kapal," ujar Alvin.
Baca juga: Inzek pastikan alat rapid test Biozek sudah sesuai standar
Alvin berharap Kemenkes RI juga dapat menertibkan pelayanan Polymerase Chain Reaction (PCR) test atau tes usap (swab test) serta juga menetapkan batasan biayanya.
"Agar transparan karena ini sudah menjadi kebutuhan publik saat ini," kata Alvin.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro