Tarakan (ANTARA) - Peran penceramah sangat strategis dalam deradikalisasi, khusus dalam memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam tidak hanya tatap muka, terutama melalui media massa dan sosial.

"Peran penceramah sangat strategis, yakni dengan bekal ilmu mereka bisa memberikan pemahaman yang benar dalam  kontra terorisme atau deradikalisasi, khususnya di medsos," kata Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen di Tarakan, Kamis.

Hal itu disampaikan saat menjadi pembicara dalam Penguatan Kompetensi Penceramah Agama di Lingkungan Kementerian Agama Kaltara  2020 bersama Kepala Kantor Kemenag Tarakan Muhammad Shaberah.

  Menjadi pembicara dalam Penguatan Kompetensi Penceramah Agama di Lingkungan Kementerian Agama Kaltara Tahun 2020.

Deradikalisasi adalah upaya preventif kontra terorisme atau stratregi untuk menetralisir paham-paham radikal agar kembali kejalan pemikiran  moderat.

"Kemajuan dunia digital sehingga salah satu jalur cepat dan efektif menyebarkan paham radikal adalah melalui media sosial sehingga hal harus mendapat perhatian serius," kata Iskandar yang juga Kepala  Perum LKBN Antara Kaltara itu

Misalnya, dengan menggunakan hadist-hadist lemah atau dhaib, maka dijadikan pembenaran untuk radikalisme atau terorisme.

"Masalahnya, bagi orang awam,  begitu disebutkan atas nama agama ditambah ada dasar hukumnya (hadist palsu), maka diyakini itu hal benar," ujar  Isandar juga Ketua PWI Kaltara itu

Padahal tidak semua orang paham itu hadist palsu atau shahih sehingga peran para penceramah sangat penting memberi pencerahan kepada netizen.

"Jika kita amati di medsos belum berimbang antara radikalisasi dengan yang deradikalisasi pemahaman agama, lebih banyak postingan yang berisi hoaks dan hasutan ketimbang pencerahan agama," katanya.

Ia mencontohkan bahwa banyak yang keliru memahami jihad, yakni sebagai jalan dan tindakan kekerasan.

Padahal dalam Islam, pengertian  jihad sangat mulia karena untuk menghidupkan bukan untuk mematikan.

Secara filosoti,  jihad (perjuangan dengan fisik) tidak terpisah dengan  ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani).

"Jadi harapan kita, khususnya para dai, uztads, kyai dan secara umum semua orang yang memiki pengetahuan agama  tidak saja aktif melalui ceramah tatap muka namun lebih rajin memberikan pencerahan untuk 
deredikalisasi melalui media sosial dan media massa," ujarnya.

Baca juga: Perempuan rentan direkrut jadi anggota teroris
Baca juga: 37 organisasi wanita ikut kegiatan pencegahan radikalisme dan terorisme
 

Pewarta : Redaksi
Editor : Susylo Asmalyah
Copyright © ANTARA 2024