Jakarta (ANTARA) - Pada 26 Desember 2004, 16 tahun lalu, tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam. Gelombang air laut dengan ketinggian lebih 20 meter, meratakan kota indah, Banda Aceh. Jumlah korban lebih dari 230 ribu orang.
Koran-koran Jakarta belum menyajikan informasi detil. Selain sebagian masih libur, juga informasi dari Aceh terganggu saluran telepon. Dari informasi sedikit itu, Selasa (28/12/2004) — tiga hari setelah tragedi besar terbesar tersebut — saya menulis Resonansi di Republika, yang terbit sehari kemudian.
Musseum Tsunami Aceh. (Foto Antara)
Hari ini, 16 tahun berlalu. Tidak sedikit keluarga berharap dapat bertemu dengan sanak keluarganya yang hilang. Doa tidak pernah putus. Berikut kolom Resonansi yang saya tulis, yang terbit pada Rabu (29/12/2004).
Republika, Resonansi, Rabu, 29 Desember 2004
Ya Allah, Hanya Sekejap …………
Oleh Asro Kamal Rokan
TIDAK seorang pun dapat mengetahui apa yang akan terjadi jam-jam berikutnya, apalagi esok hari. Ahad (26/12/2004) pagi, Nanggroe Aceh Darussalam bergerak normal, seperti hari-hari sebelumnya. Angin menyapa daun-daun kelapa di pinggir pantai. Ibu-ibu pergi ke pasar. Sebagian anak-anak bermain riang di halaman rumah, ada juga masih tertidur lelap. Tiba-tiba terdengar dentuman sangat keras.
Ya, Allah, gelombang air setinggi lebih sepuluh meter bergulung-gulung dan berlari sangat cepat. Ibu-ibu mencoba menggapai anak-anaknya, namun gelombang jauh lebih cepat merampasnya. Anak-anak berlari sekuat ia mampu, namun kaki mereka begitu kecil, langkah mereka tertatih-tatih. Mereka terseret jauh, berpisah, dan tak pernah lagi berjumpa selamanya. Orang-orang di pasar panik, mereka berhamburan menyelamatkan diri. Namun gelombang mendahului mereka, dan mereka hilang entah ke mana.
Gelombang pasang telah memisahkan ibu dengan anaknya, memisahkan suami dengan istrinya, memisahkan orang-orang tercinta. Rumah-rumah roboh, pohon-pohon tumbang. Semua lindap, merapat ke tanah — seperti bersujud.
Kaki-kaki kecil itu, kaki para bayi, yang tadinya bergerak lincah, kini kaku selamanya. Ketika air surut, mayat-mayat bergelimpangan. Ribuan jumlahnya. Anak-anak kecil itu, bayi-bayi itu, orang-orang tua renta, perempuan-perempuan, wafat dibalut lumpur. Ada yang tertimbun bersama pepohonan dan rumah yang roboh.
Ya, Allah, hanya sekejap, hanya sekejap, semua lindap. Kita saksikan bencana di Aceh dan Sumatera Utara ini. Kita saksikan, di layar televisi, ibu-ibu menangis putus asa, mayat-mayat bergeletakan bahkan tersangkut di pohon-pohon. Namun hanya sejenak, setelah itu televisi menayangkan sinetron kehidupan mewah remaja kota, tayangan mistik, dan tari-tarian — seperti tidak ada bencana.
Tidakkah ada sedikit waktu untuk berdoa, menyiarkan lagu-lagu kebangsaan, membangkitkan kesadaran, nasionalisme, dan kesetiakawanan. Apa susahnya?
Di kota-kota besar, tak banyak bendera setengah tiang dikibarkan. Seakan tidak terjadi apa-apa. Orang-orang berpunya sedang bersiap-siap untuk pesta akhir tahun di hotel mewah dan keluar negeri. Hotel-hotel dan tempat hiburan menyiapkan paket puluhan juta rupiah.
Ya Allah …., terlalu banyak berhala kami sembah: kesenangan dunia, harga diri, kesombongan, dan materi. Kami lebih suka mencari dunia, lupa pada akhirat. Mencari kehidupan, lupa pada kematian. Kami memburu harta tak henti-hentinya, tapi lupa hanya dalam sekejab ia bisa musnah. Kami mencari kegembiraan, tapi lupa dalam beberapa detik dapat berubah menjadi tangisan.
Ya Allah …, kami selalu berpikir dapat melakukan semuanya tanpa campur-tangan-Mu. Kami melakukan apa yang kami kehendaki, tanpa berpikir bahwa kehendak-Mu yang berlaku. Kami berpikir dapat mengatur semuanya, tapi lupa bahwa Kau-lah Maha Penentu.
Ya, Allah …, kami tersesat. Beri kami kesempatan untuk pulang.
Jakarta, 29 Desember 2004
Catatan Asro Kamal Rokan
*Asro Kamal Rokan, wartawan senior. Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005), Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007). Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023).
Koran-koran Jakarta belum menyajikan informasi detil. Selain sebagian masih libur, juga informasi dari Aceh terganggu saluran telepon. Dari informasi sedikit itu, Selasa (28/12/2004) — tiga hari setelah tragedi besar terbesar tersebut — saya menulis Resonansi di Republika, yang terbit sehari kemudian.
Musseum Tsunami Aceh. (Foto Antara)
Hari ini, 16 tahun berlalu. Tidak sedikit keluarga berharap dapat bertemu dengan sanak keluarganya yang hilang. Doa tidak pernah putus. Berikut kolom Resonansi yang saya tulis, yang terbit pada Rabu (29/12/2004).
Republika, Resonansi, Rabu, 29 Desember 2004
Ya Allah, Hanya Sekejap …………
Oleh Asro Kamal Rokan
TIDAK seorang pun dapat mengetahui apa yang akan terjadi jam-jam berikutnya, apalagi esok hari. Ahad (26/12/2004) pagi, Nanggroe Aceh Darussalam bergerak normal, seperti hari-hari sebelumnya. Angin menyapa daun-daun kelapa di pinggir pantai. Ibu-ibu pergi ke pasar. Sebagian anak-anak bermain riang di halaman rumah, ada juga masih tertidur lelap. Tiba-tiba terdengar dentuman sangat keras.
Ya, Allah, gelombang air setinggi lebih sepuluh meter bergulung-gulung dan berlari sangat cepat. Ibu-ibu mencoba menggapai anak-anaknya, namun gelombang jauh lebih cepat merampasnya. Anak-anak berlari sekuat ia mampu, namun kaki mereka begitu kecil, langkah mereka tertatih-tatih. Mereka terseret jauh, berpisah, dan tak pernah lagi berjumpa selamanya. Orang-orang di pasar panik, mereka berhamburan menyelamatkan diri. Namun gelombang mendahului mereka, dan mereka hilang entah ke mana.
Gelombang pasang telah memisahkan ibu dengan anaknya, memisahkan suami dengan istrinya, memisahkan orang-orang tercinta. Rumah-rumah roboh, pohon-pohon tumbang. Semua lindap, merapat ke tanah — seperti bersujud.
Kaki-kaki kecil itu, kaki para bayi, yang tadinya bergerak lincah, kini kaku selamanya. Ketika air surut, mayat-mayat bergelimpangan. Ribuan jumlahnya. Anak-anak kecil itu, bayi-bayi itu, orang-orang tua renta, perempuan-perempuan, wafat dibalut lumpur. Ada yang tertimbun bersama pepohonan dan rumah yang roboh.
Ya, Allah, hanya sekejap, hanya sekejap, semua lindap. Kita saksikan bencana di Aceh dan Sumatera Utara ini. Kita saksikan, di layar televisi, ibu-ibu menangis putus asa, mayat-mayat bergeletakan bahkan tersangkut di pohon-pohon. Namun hanya sejenak, setelah itu televisi menayangkan sinetron kehidupan mewah remaja kota, tayangan mistik, dan tari-tarian — seperti tidak ada bencana.
Tidakkah ada sedikit waktu untuk berdoa, menyiarkan lagu-lagu kebangsaan, membangkitkan kesadaran, nasionalisme, dan kesetiakawanan. Apa susahnya?
Di kota-kota besar, tak banyak bendera setengah tiang dikibarkan. Seakan tidak terjadi apa-apa. Orang-orang berpunya sedang bersiap-siap untuk pesta akhir tahun di hotel mewah dan keluar negeri. Hotel-hotel dan tempat hiburan menyiapkan paket puluhan juta rupiah.
Ya Allah …., terlalu banyak berhala kami sembah: kesenangan dunia, harga diri, kesombongan, dan materi. Kami lebih suka mencari dunia, lupa pada akhirat. Mencari kehidupan, lupa pada kematian. Kami memburu harta tak henti-hentinya, tapi lupa hanya dalam sekejab ia bisa musnah. Kami mencari kegembiraan, tapi lupa dalam beberapa detik dapat berubah menjadi tangisan.
Ya Allah …, kami selalu berpikir dapat melakukan semuanya tanpa campur-tangan-Mu. Kami melakukan apa yang kami kehendaki, tanpa berpikir bahwa kehendak-Mu yang berlaku. Kami berpikir dapat mengatur semuanya, tapi lupa bahwa Kau-lah Maha Penentu.
Ya, Allah …, kami tersesat. Beri kami kesempatan untuk pulang.
Jakarta, 29 Desember 2004
*Asro Kamal Rokan, wartawan senior. Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005), Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007). Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023).