Tanjung Selor (ANTARA) - Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Kalimantan Utara telah melakukan pemetaan rawan konflik di Kaltara dengan bekerja sama dengan mahasiswa dari Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar.
Dari kajian ini akan menghasilkan wilayah mana saja di Kaltara yang termasuk rawan konflik dan cara mengatasi konflik tersebut jika terjadi.
“Kalau pemetaan rawan konflik itu adalah anggaran murni Kesbangpol kaltara dimana dokumen ini tidak lain merupakan dokumen yang nanti akan menghasilkan daerah mana konflik itu bisa di petakan,” Abdul Jalil sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kesbangpol Kaltara.
Saat ini sudah masuk dalam tahap seminar akhir dan dihimpun dengan masukan-masukan dari stakeholder dan tokoh masyarakat agar penanganan konflik bisa dilakukan,” kata dia.
Terdapat saran dari salah satu tokoh masyarakat yakni disarankan sebaiknya pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk setiap pasangan calon (paslon) tidak menggunakan pakaian dan atribut yang bersifat kesukuan.
“Kan ada itu identitas misalnya paslon ini pakai sedangkan paslon lainnya pakai ini sehingga saran dari tokoh masyarakat yang muncul pada saat kita seminar akhir itu sebaiknya kita tidak perlu mengarahkan,” katanya.
Abdul Jalil berharap agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat membaca di kah situasi ini karena regulasi terhadap larangan ada di pihak KPU.
“Misalnya tokoh calon Gubernur menggunakan adat A,B atau C kemudian ada masyarakat yang merasa tidak masuk atau tidak terakomodir sehingga tidak menggunakan hak pilihnya,” ungkapnya.
Dikhawatirkan hal ini dapat menimbulkan kurangnya partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak suara pada kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
“Ini contoh salah satu masukkan yang nanti kita akan munculkan di dokumen peta rawan konflik sekaligus ini juga saran kita kepada KPU Kaltara dan mudah-mudahan KPU bisa membawa saran masyarakat yang baik ini disuarakan di pusat untuk penyusunan regulasi,” ujarnya.
Diharapkan ada penyusunan regulasi oleh KPU untuk tahapan Pilkada selanjutnya dan khususnya untuk politik identitas yang muncul dari paslon tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi.
“Memang saran ini belum kita sampaikan ke KPU karena pada saat seminar akhir kita tidak mengundang KPU dan hanya membaca peta konflik ternyata masyarakat tajam melihat bahwa ini pemicu kurangnya partisipasi dalam pemilu,” katanya.
Baca juga: Persiapan debat ketiga Pilgub Kaltara, terdapat perbedaan di segmen 3 dan penambahan durasi 6 menit
Baca juga: Belajar Dari Filosofi Bugis, Yansen: Pemimpin Harus Berkarakter Taro Ada Taro Gau
Dari kajian ini akan menghasilkan wilayah mana saja di Kaltara yang termasuk rawan konflik dan cara mengatasi konflik tersebut jika terjadi.
“Kalau pemetaan rawan konflik itu adalah anggaran murni Kesbangpol kaltara dimana dokumen ini tidak lain merupakan dokumen yang nanti akan menghasilkan daerah mana konflik itu bisa di petakan,” Abdul Jalil sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kesbangpol Kaltara.
Saat ini sudah masuk dalam tahap seminar akhir dan dihimpun dengan masukan-masukan dari stakeholder dan tokoh masyarakat agar penanganan konflik bisa dilakukan,” kata dia.
Terdapat saran dari salah satu tokoh masyarakat yakni disarankan sebaiknya pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk setiap pasangan calon (paslon) tidak menggunakan pakaian dan atribut yang bersifat kesukuan.
“Kan ada itu identitas misalnya paslon ini pakai sedangkan paslon lainnya pakai ini sehingga saran dari tokoh masyarakat yang muncul pada saat kita seminar akhir itu sebaiknya kita tidak perlu mengarahkan,” katanya.
Abdul Jalil berharap agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat membaca di kah situasi ini karena regulasi terhadap larangan ada di pihak KPU.
“Misalnya tokoh calon Gubernur menggunakan adat A,B atau C kemudian ada masyarakat yang merasa tidak masuk atau tidak terakomodir sehingga tidak menggunakan hak pilihnya,” ungkapnya.
Dikhawatirkan hal ini dapat menimbulkan kurangnya partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak suara pada kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
“Ini contoh salah satu masukkan yang nanti kita akan munculkan di dokumen peta rawan konflik sekaligus ini juga saran kita kepada KPU Kaltara dan mudah-mudahan KPU bisa membawa saran masyarakat yang baik ini disuarakan di pusat untuk penyusunan regulasi,” ujarnya.
Diharapkan ada penyusunan regulasi oleh KPU untuk tahapan Pilkada selanjutnya dan khususnya untuk politik identitas yang muncul dari paslon tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi.
“Memang saran ini belum kita sampaikan ke KPU karena pada saat seminar akhir kita tidak mengundang KPU dan hanya membaca peta konflik ternyata masyarakat tajam melihat bahwa ini pemicu kurangnya partisipasi dalam pemilu,” katanya.
Baca juga: Persiapan debat ketiga Pilgub Kaltara, terdapat perbedaan di segmen 3 dan penambahan durasi 6 menit
Baca juga: Belajar Dari Filosofi Bugis, Yansen: Pemimpin Harus Berkarakter Taro Ada Taro Gau