Tanjung Selor (ANTARA) - Hutan adalah hidup kami, demikian pernyataan Kepala Adat Suku Tenggalan Kalimantan Utara, Yagung Balisi. Pria sepuh ini masih menceritakan pentingnya hutan bagi kehidupan, sebagai tempat tinggal dan mencari penghidupan. Ketika sudah bermukim di desa sebagaimana saat ini, hutan tetap menjadi bagian penting bagi kehidupan suku ini sebagai penyangga kehidupan dan tempat bersemayamnya leluhur Dayak Tenggalan. 

Dayak Tenggalan merupakan satu dari banyak entitas adat masyarakat yang hidup di Kabupaten Malinau Kalimantan Utara. Uniknya Dayak Tenggalan di Kabupaten Malinau  hanya ada di Desa Belayan, Kecamatan Malinau Utara. Jauh berbeda dengan suku lainnya di Malinau yang tersebar di banyak desa.

Namun begitu Dayak Tenggalan yang hidup di Sungai Semendurut, hidup dengan kearifan lokal berdasarkan adat dan budaya yang sudah diwariskan nenek moyang.  Kearifan lokal tersebut dijadikan sebagai tatanan sosial budaya dalam bentuk pengetahuan, norma, peraturan dan keterampilan dan diwariskan secara turun temurun.

“Kami apa-apa kehidupan datangnya dari hutan, leluhur kami tinggal di hutan, karena itu kami menjaga hutan ini dengan baik,”kata Yagung Balisi.

Sayangnya, Sungai Semendurut yang menjadi wilayah penghidupan Dayak Tenggalan, juga menjadi sumber daya yang menarik pihak lain, sedikitnya ada empat konsesi perusahaan besar yang berada di daerah ini. Selain itu, atas kemurahan hati tetua adat Dayak Tenggalan pada masa lalu, wilayah adat mereka dibagikan ke suku-suku lain yang datang ke Semendurut.

“Dengan kondisi ini kami perlu adanya pengakuan untuk melindungi wilayah adat ini. Ini yang menjadi dasar kami mengajukan permohonan kepada Bupati untuk pengakuan masyarakat hukum adat kepada Bupati Malinau, harapan kami nantinya kami bisa mengelola hutan kami dengan nilai-nilai adat yang telah kami jaga dengan baik, sejak lama,”kata Yagung.

Untuk memperjuangkan wilayah adat ini, masyarakat Dayak Tenggalan mendapat dukungan dari KKI Warsi. Empat tahun berjuang, 29 Agustus lalu, Bupati Malinau mengeluarkan  SK Nomor : 660.2/K.289/2024 Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak Tenggalan Desa Belayan Kabupaten Malinau,  seluas 24.873,96 ha.

SK pengakuan masyarakat adat ini, diserahkan langsung oleh Bupati Malinau Wenpi W Mawa, didampingi Wakil Bupati, Jakaria dan Sekda Kabupaten  Malinau Ernes Silvanus serta OPD dilingkup Kabupaten Malinau yang dilangsungkan di Balai Adat Dayak Tenggalan Desa Belayan, Malinau Utara, Senin (2/12).

Kehadiran Bupati menyerahkan SK MHA ini disambut antusias oleh masyarakat Dayak Tenggalan. “Kami mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Bupati yang memberikan SK MHA ini kepada masyarakat Dayak Tenggalan,” kata Yagung Balisi yang menerima secara langsung SK MHA ini.

Bupati Wempi menyebutkan Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat merupakan hal yang penting. “Dengan ini Pemerintah Daerah mengakui secara legal hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam mengelola tanah, wilayah, sumber daya alam, spiritualitas, kebudayaan, lingkungan hidup dan menjalankan hukum serta peradilan adat secara mandiri,” kata Wempi.

Bupati  menyebutkan, SK MHA ini pengakuan dan perlindungan ini merupakan syarat untuk pengajuan dan penetapan pengelolaan wilayah adat yang berada di dalam kawasan hutan negara melalui Program Perhutanan Sosial (skema Hutan Adat) ke Pemerintahan Pusat sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Tidak lupa Bupati Malinau mengapresiasi KKI Warsi yang sudah memfasilitasi masyarakat Dayak Tenggalan dalam proses pengajuan dan pendampingan MHA ini.

Direktur KKI Warsi Adi Junedi menyebutkan pengakuan ini bukan hanya sekadar dokumen, tetapi simbol pengakuan terhadap hak, tradisi, dan identitas suku, berbasis kebutuhan masyarakat,” kata Direktur KKI Warsi Ad Junedi, lembaga yang aktif melakukan pendampingan masyarakat.

Baca juga: Menarik manfaat ekonomi hutan tanpa kurangi tegakan pohon

Dayak Tenggalan Merajut Asa, Dapatkan SK MHA (HO/Warsi)

Dikatakannya sejak 2021, Warsi bekerja dengan suku Tenggalan, dimulai dengan assesment, penggalian narasi adat, narasi batas, hingga kemudian melakukan pemetaan partisipatif dengan menyusuri wilayah adat yang dimaksud hingga menghasilkan peta wilayah adat.

Peta ini yang didiskusikan dengan masyarakat desa-desa sekitar dan wilayah adat yang berbatas langsung dengan wilayah adat Dayak Tenggalan. Terdapat suku lain yang juga hidup di Sungai Semendurut, atas kemurahan hati leluhur Dayak Tenggalan di masa lalu yang memberikan wilayah adatnya ke beberapa suku lain.  

Fasilitasi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Dayak Tenggalan merupakan hal penting mengingat Dayak Tenggalan merupakan suku yang secara populasi tergolong kecil di Kabupaten Malinau, hanya ada di satu Desa Belayan saja. “SK Pengakuan MHA ini menjadi momentum penting bagi pengakuan eksistensi masyarakat Adat Dayak Tenggalan,”kata Adi Junedi.

Selanjutnya dengan sudah adanya SK MHA ini, menjadi dasar untuk pengajuan Hak Kelola Hutan Adat ke Kementrian Lingkungan Hidup. Pengakuan pengelolaan Hutan Adat ini, menjadi sangat penting bagi masyarakat adat yang hingga kini masih memegang teguh prinsip-prinsip adat dan budaya.

Baca juga: Kisah masa lalu dan asa kini, di balik Metut hibahkan wilayah kepada Nahakramo Baru

 


Ritual Dawak

Kuatnya penerapan adat istiadat di Masyarakat Adat Dayak Tenggalan terlihat dari sejumlah ritual yang masih dijalankan sampai saat ini. Salah satu ritual yang dijalankan adalah dawak, yaitu prosesi memberikan seserahan kepada leluhur nenek moyang. Ritual ini dijalankan ketika masyarakat akan berbicara tentang hutannya.

Prosesi diawali dengan penyembelihan seekor sapi, sehari menjelang penyerahan SK MHA Dayak Tenggalan.  Sebelum penyembelihan dilakukan ritual pembacaan mantra-mantra memohon perlindungan dan keselamatan kepada nenek moyang. Hewan sembelihan ini, bagian kepalanya diberikan kepada nenek moyang, dengan cara mengantarkannya ke hutan adat. Lokasi di hutan yang berada di tepi Sungai Semendurut, sekitar 2 jam berketinting mengarungi sungai. Di tempat-tempat yang diyakini sebagai tempat sakral, para tetua adat membacakan mantar dan menaburkan beras kuning.

Setelah sampai di tempat yang dituju, selanjutnya dilakukan prosi penyerahan kepala sapi kepada nenek moyang. Nenek moyang dipanggil dengan menggunakan beras kuning dan disampaikan maksud dan tujuan seserahan.

Kembali dilafalkan permohonan-permohonan perlindungan keselamatan.
Ritual yang dilakukan ini, menurut Ketua Adat Tenggalan Kabupaten Malinau Kursani merupakan perwujudan rasa syukur sekaligus permohonan untuk menjaga hutan adat Dayak Tenggalan.

“Kita memohon ke nenek moyang yang tinggal di dalam hutan ini, untuk terus menjaga hutan kami, sehingga hutan ini tetap membawa kebaikan untuk kita semua,”kata Kursani.

Tidak hanya menyerahkan kepala sapi sebagai bentuk seserahan kepada leluhur, pada saat menerima SK MHA dari Bupati, SK yang diterima dibubuhkan cap darah yang berasal dari sapi sebagai penanda bahwa SK ini menjadi pegangan dan dijaga dengan baik dan janji untuk mengelola wilayah yang telah diakui dengan baik.

Baca juga: Asa di pohon Nyawai, meramu pelestarian alam dan kesejahteraan Apau Kayan
 

Dayak Tenggalan Mengelola Sumber daya dengan Kearifan Lokal   
Masyarakat Dayak Tenggalan memiliki kearifan lokal dalam mengelola  sumber daya alam yang menjadikan suku ini hidup harmonis dengan alam dan lingkungan disekitarnya.

Kearifan lokal tersebut dijadikan sebagai tatanan sosial budaya dalam bentuk pengetahuan, norma, peraturan dan keterampilan masyarakat di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama yang diwariskan secara turun temurun.

“Aturan adat melekat dalam mengatur tata kehidupan kami masyarakat Desa Belayan,”kata Kepala Desa Belayan Midun Haris.

 

Dayak Tenggalan Merajut Asa, Dapatkan SK MHA (HO/Warsi)

Dikatakannya aturan adat ini, telah menciptakan keteraturan dan keseimbangan antara kehidupan sosial budaya masyarakat dengan kelestarian sumberdaya alam di sekitarnya.

Aturan adat ini telah dilaksanakan sejak zaman nenek moyang dan bertahan hingga saat ini. Aturan adat yang masih bertahan misalnya larangan untuk mengambil kayu untuk diperjualbelikan. Untuk kebutuhan warga desa, pengambilan kayu dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari lembaga adat. 

“Selain itu  kami juga mematuhi larangan mengambil ikan dengan cara meracun sungai, menebang pohon madu, kulim, meranti, kapur, menggeris, ” kata Kursani Ketua Lembaga Adat Dayak Tenggalan Kabupaten Malinau. 

Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dijatuhi sanksi berupa denda seekor sapi. “Nilai tinggi ini dimaksudkan supaya memberikan efek jera, sehingga masyarakat tidak sembarangan menebang pohon,”kata Kursani.

Baca juga: Penyulingan gaharu, harapan baru masyarakat Long Nyau


Pewarta : Rilis
Editor : Iskandar Zulkarnaen
Copyright © ANTARA 2024