Jakarta (ANTARA) - Gejala-gejala orang yang terinfeksi virus corona baru atau 2019-nCoV serupa dengan penyakit batuk dan pilek biasa, lantas apa bedanya?
Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dr. Ngabila Salama mengatakan gejala virus corona memang mirip dengan penyakit batuk dan pilek. Risiko hadir ketika orang tersebut punya riwayat perjalanan ke China.
"Yang ditanya pertama bukan batuk dan pilek, tapi apakah dalam 14 hari terakhir ke China, termasuk Taipei," kata Ngabila dalam siaran radio Suara Edukasi, Selasa.
Waspadalah dan hubungi petugas kesehatan bila muncul gejala demam dan pilek setelah bepergian ke China. Ngabila mengatakan virus corona bisa turun ke paru-paru dan menyebabkan radang paru. Bila itu terjadi, pasien akan dimasukkan ke rumah sakit rujukan dan diperiksa apakah ia terinfeksi virus.
"Kasus (orang) yang diawasi di rumah sakit, diisolasi, ada, tapi sampai sekarang (di Indonesia) tidak ada yang positif novel coronavirus," kata dia.
Hingga saat ini, para peneliti masih mencari tahu tentang penyebab pasti virus corona hingga obatnya.
"Virus, penyakit yang (mengatasinya) kita cukup minum, (misalnya) obat pereda demam, pereda gejala lain, itu sudah cukup. Tapi karena ini virus baru yang ibaratnya 'kebandelan' virusnya belum tahu sejauh mana, tetap harus waspada," tutur Ngabila.
Saat ini orang-orang yang diawasi di rumah sakit dan puskesmas terkait risiko terinfeksi virus corona diberi obat batuk dan pilek sambil terus dipantau keadaannya. Bila memburuk dan menunjukkan tanda pneumonia, pasien akan dirujuk lebih lanjut ke rumah sakit.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengumumkan status darurat dunia atas wabah virus corona pada akhir Januari 2020. Ngabila mengatakan status darurat ini disebabkan oleh penyebaran dan jumlah kasus yang meningkat cepat.
Meski demikian, tingkat kematiannya termasuk rendah dibandingkan Severe acute respiratory syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS CoV).
"Angka kematiannya 2-3 persen. SARS pada 2002 angka kematiannya 10 persen, MERS COV 35 persen."
Virus baru ini membuat masyarakat resah karena menyebar ke banyak negara dalam waktu singkat, ditambah lagi informasi simpang siur menyebar lewat media sosial.
"Kita perlu memilih kanal informasi yang valid untuk masyarakat. Jika tidak yakin dengan validitas harap konfirmasi ke tim ahli," imbau dia.
Baca juga:Pneumonia akibat virus corona, samakah seperti pneumonia biasa?
Baca juga:Melancong di tengah virus corona? Waspadai hal ini
Baca juga:Hindari risiko virus corona dengan cara ini
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ida Nurcahyani
Berita Terkait
AS kecewa China tolak penyelidikan asal usul COVID-19
Jumat, 23 Juli 2021 16:04
Catatan Ilham Bintang - Penanganan virus COVID-19 di Selandia Baru
Senin, 19 Juli 2021 10:07
WHO sebut secara global varianCOVID Delta jadi dominan
Sabtu, 19 Juni 2021 14:32
Menteri Kesehatan ingatkan tiga varian virus corona sudah masuk ke Indonesia
Rabu, 19 Mei 2021 21:01
Kemenkes: tiga varian baru virus lebih cepat menular telah di Indonesia
Rabu, 5 Mei 2021 3:27
Belum tuntas pandemi COVID-19, ada lagi ancaman Virus Nipah
Jumat, 29 Januari 2021 5:23
WHO nilai belum perlu peringatan keras atas varian baru virus corona
Selasa, 22 Desember 2020 13:49
Benarkah oleskan minyak kayu putih di masker bunuh virus corona?
Kamis, 3 Desember 2020 22:26