Tarakan (ANTARA) - Proyek light rail transit (LRT) Jabodebek dinilai tidak efektif dan efisien sehingga kurang bermanfaat bagi masyarakat dan berpotensi merugikan keuangan negara.
LRT Jabodebek tidak efektif karena salah fungsi dan penempatan. Jalur LRT itu dibangun menghubungkan antarkota layaknya fungsi kereta komuter atau KRL (kereta rel listrik).
"Padahal kapasitas angkutnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan KRL," kata Tokoh Masyarakat Transportasi Bambang Haryo dalam keterangan tertulis diterima di Tarakan, Senin.
Tidak ada negara di dunia yang bangun LRT untuk angkutan antarkota, sebab moda ini umumnya dibangun di kawasan tertentu yang spesifik di dalam kota.
Jaraknya lebih pendek dari MRT dan banyak pemberhentian atau stasiun. Membangun LRT untuk antarkota tidak akan efektif dan pasti mahal.
Seperti halnya yang ada di Indonesia, yaitu Lintasan LRT Jabodebek antar kota yang memiliki jarak 44.3 km.
Bambang Haryo memberikan contoh, di Singapura terdapat tiga jalur LRT yang semuanya dibangun di dalam kawasan tertentu, yakni jalur Bukit Panjang 7,6 km di kawasan industri dan agrikultur, Sengkang 10,7 km di pusat permukiman, dan Panggol 10,3 km di new town dan wisata.
Sedangkan panjang jalur MRT di negara tersebut itu mencapai 216 km yang dilayani rangkaian gerbong lebih banyak dan lebih besar.
Fungsi daripada MRT menjadi transportasi Hup (utama) di dalam kota yang terkonektivitas dengan transportasi LRT dikawasan tertentu dalam kota. Demikian juga diseluruh negara di dunia seperti itu, tidak seperti di Indonesia yang berlaku sebaliknya.
LRT Jabodebek yang dibangun sejak 2015 itu menelan biaya hingga Rp32,5 triliun. Biaya ini bengkak Rp2,6 triliun dari target penyelesaian pada tahun 2019 sebesar Rp29,9 triliun padahal rencana awal hanya sekitar Rp23 triliun.
Negara terancam rugi besar akibat penyelesaian rangkaian gerbong kereta di 2019 belum bisa dioperasikan karena infrastruktur rel kereta belum siap, sehingga terjadi idle atau kapasitas menganggur, ini akan merugikan operator PT. KAI serta masyarakat calon pengguna LRT tersebut.
Hingga Mei 2022, presentase penyelesaian pembangunan 18 stasiun LRT masih berkisar 70-80 persen. Dan progres keseluruhan infrastruktur masih sekitar 81,75 persen.
Faktor lain yang membuat biaya LRT Jabodebek mahal, adalah penggunaan rel LRT Jabodebek berukuran 1.435 mm yang biasa dipakai untuk KA kecepatan di atas 200 km per jam. Padahal kecepatan LRT maksimum 60-80 km per jam sehingga cukup menggunakan ukuran rel standar 1.067 mm.
Sangat disayangkan jalur LRT dibangun 100 persen melayang (elevated) dengan tiang penyangga yang terlalu besar dan tinggi.
Demikian juga semua stasiun dibangun ukuran yang terlalu besar dan jalur LRT tidak
terkoneksi dengan jalur MRT dan terminal angkutan publik lanjutan lainnya.
Dengan biaya sebesar Rp32,5 triliun, proyek LRT Jabodebek dinilai tidak ekonomis dan efisien dibandingkan dengan kereta api komuter atau Kereta Rel Listrik (KRL) yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah besar, sekaligus insfastruktrur relnya bisa digunakan untuk kereta logistij," kata Alumni Institut Teknologi Surabaya ini.
Menurut dia, pemerintah bisa membangun sejenis KLR Jabodetabek yang mempunyai kapasitas seperti yang ada saat ini, yaitu 1,5 juta penumpang per hari Dengan rincian biaya jaringan rel ganda sepanjang 44,3 km senilai Rp3 triliun, dan 100 rangkaian kereta dengan biaya Rp3 triliun sehingga total biaya Rp6 triliun.
Baca juga: Kemenhub tetapkan GeNose jadi syarat perjalanan moda transportasi laut