Tanjung Selor (ANTARA) - Pada tahun ini, sebanyak 29 surat keputusan (SK) pengelolaan hutan di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) dengan metode perhutanan sosial (PS) diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Plus, 1 SK diterbitkan Kementerian Kehutanan (Kemenhut)—sebelum dibaurkan menjadi KLHK. Rinciannya, 29 SK dari KLHK itu terdiri dari, 19 SK untuk Hutan Desa (HD), 7 SK Hutan Kemasyarakatan (HKm), 3 SK Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan 2 SK Kemitraan Kehutanan. Ditambah 1 SK HD yang diterbitkan Kemenhut. Adapun total luasan hutan yang dapat dikelola masyarakat sekitar hutan dengan metode PS di Kaltara saat ini, mencapai 42.273 hektare.
Dituturkan Gubernur Kaltara Dr H Irianto Lambrie, program PS sendiri adalah program nasional yang bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan ekonomi melalui tiga pilar. Yaitu lahan, kesempatan usaha dan sumberdaya manusia. “Jadi, PS ini menjadi benda legal bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk mengelola kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektare. Kalau di Kaltara, target dari KLHK itu, seluas 109 ribu hektare,” kata Irianto yang didampingi kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kaltara Syarifuddin, baru-baru ini.
Penerbitan SK pengelolaan hutan dengan metode PS tahun ini, mengalami peningkatan dibanding tahun lalu. Dari data Dishut Kaltara, tahun lalu jumlah SK yang diterbitkan hanya sebanyak 21 SK. “Untuk pengelolaannya, HD dikelola oleh LPHD (Lembaga Pengelola Hutan Desa), bukan kelompok tani. Sementara untuk HKm dan HTR boleh dikelola kelompok tani hutan (KTH), koperasi atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDES),” ungkap Gubernur.
Berkaitan dengan batas luasan, dalam pengelolaan PS tidak ada ketentuannya kecuali untuk skema kemitraan. “Kalau masyarakat bermitra dengan UPT KPH (Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan) maka luas maksimalnya 2 hektare per kepala keluarga (KK). Sedangkan jika bermitra dengan perusahaan yang memiliki izin konsesi, maka luasannya maksimal 5 hektare per KK. Jadi, belum ada ketentuan batas luasan kecuali skema kemitraan,” ucap Irianto.
Sebagai informasi, akses legal pengelolaan kawasan hutan di Indonesia, dibuat dalam lima skema pengelolaan. Yaitu, skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan skema kemitraan antara KPH dengan masyarakat atau antara perusahaan pemilik izin konsesi dengan masyarakat. Program ini dilaksanakan, untuk membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari hutan secara legal dengan cara-cara yang ramah lingkungan.
Dalam memilih salah satu dari 5 skema itu, masyarakat dalam bentuk desa mengajukan permohonan kepada KLHK yang difasilitasi oleh Kelompok Kerja (Pokja) PS Kaltara. Jika persyaratan administrasi dinyatakan lengkap, maka akan dilanjutkan dengan verifikasi, yang dilakukan oleh tim kementerian dan didampingi Pokja PS untuk penerbitan SK. “Kalau untuk skema hutan adat, prosesnya sedikit berbeda. Masyarakat atau kelompok adat mengajukan permohonan kepada menteri dengan melampirkan peraturan daerah (Perda) atau peraturan bupati (Perbup) tentang masyarakat hutan adat,” timpal kepala Dishut Provinsi Kaltara Syarifuddin.
Perda atau Perbup itu berisikan tentang subjek atau nama spesifik masyarakat hutan adatnya. “Semisal, masyarakat hutan adat Dayak Kenyah. Pengusul diwajibkan melampirkan peta adat yang akan diusulkan, serta lokasi hutan adat yang diajukan. Lokasinya harus jelas dan di luar hutan negara, kemudian struktur masyarakat adatnya. Setelah semuanya lengkap baru diajukan ke kementerian untuk menunggu verifikasi dan seterusnya hingga terbit SK Hutan Adat,” tutup Syarifudin.