Tanjung Selor (ANTARA) - Sejak ratusan tahun silam, nama sejumlah kerajaan di wilayah Nusantara --khususnya yang kini masuk wilayah Indonesia-- jadi terkenal karena memiliki mata dagangan atau komoditas antara lain rempah-rempah, kapur barus, cendana dan gaharu.
Sebut saja, Kerajaan Sriwijaya --sekitar abad VII hingga XI masehi di Sumatra Selatan-- menjadi pengekspor kayu gaharu hingga ke Arab.
Pohon "Aquilaria malaccensis" merupakan salah satu spesies penghasil gaharu di Indonesia.
Senyawa gaharu terbentuk sebagai respon pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai gangguan, yakni gangguan fisik, infeksi patogen atau perlakuan kimiawi.
Permintaan gaharu di pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu sehingga perburuan pohon jenis ini menjadi langka. Hal itu sehingga "aquilaria malaccensis" masuk dalam Appendix II CITES (Convention on International Trades on Endangered Species of Wild Flora and Fauna).
Pohon ini memiliki diameter batang sekitar 40-60 cm dengan ketinggian kisaran 40 meter. Jika pohon itu menjadi sakit dan menghasilkan getah hitam keras mengkilat maka terdapat komoditas yang bernilai ekonomis tinggi.
Bau yang khas membuat gaharu menjadi bahan baku untuk kosmetik, dupa, pengawet berbagai macam aksesoris hingga industri parfum.
Bersamaan kemajuan teknologi maka beberapa negara maju, sebut saja Korea Selatan, Singapura, China, Jepang dan Amerika Serikat berhasil mengembangkan kayu ini sebagai bahan obat-obatan, antara untuk gangguan ginjal, asma, antibiotik TBC dan hepatitis.
Khusus di Indonesia, hutan Kalimantan menjadi sumber gaharu utama. Bagi masyarakat sekitar hutan di Kalimantan, gaharu sudah menjadi sumber utama penghasilan penduduk.
Di Kalimantan, salah satu daerah yang menjadi salah satu penghasil gaharu adalah di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara karena daerah ini masih memiliki hutan alam yang luas dan relatif bagus.
Sebagian kawasan Malinau masuk dalam kawasan "Heart of Borneo". Heart of Borneo mencakup sekitar 23 juta hektare hutan yang terhubung secara ekologis di tiga negara (Indonesia, Malaysia dan Brunei).
Namun, kini dengan semakin terbuka ruang dan akses perburuan gaharu tidak hanya diambil oleh masyarakat setempat akan tetapi juga oleh pihak-pihak lain juga sudah masuk jauh ke dalam hutan mencari gaharu. Kondisi ini menyebabkan gaharu kian sulit diperoleh.
Salah satu miniatur hutan Kalimantan yang dulunya banyak menyimpan gaharu adalah Desa Long Pada, Kecamatan Sungai Tubu, Kabupaten Malinau Kaltara.
Berdasarkan penuturan masyarakat pencari gaharu di Long Pada (harga transaksi langsung dari pedagang dengan warga), harga gaharu tergantung kualitas sehingga ada strata atau penggolongan. Ada enam strata dari strata 5 hingga 1 dan gaharu super.
Biasanya kalo gaharu super dihargai Rp100 juta per kilo, strata 1 sekitar Rp8 juta per kilogram, strata 2 sekitar Rp2 juta per kilogram, strata 3 sekitar Rp700 ribu per kilogram, strata 4 sekitar Rp500 ribu per kilogram dan strata 5 sekitar Rp200 ribu per kilogram.
Long Pada sudah sejak lama dikenal sebagai penghasil gaharu. Namun ketersediaan gaharu kian tahun terus menurun.
Kondisi itu diakui Faridan Liwah, Kepala desa Long Pada bahwa gaharu dari hutan alam mendapatkan ancaman dari pemburu gaharu dari luar daerah, bahkan datang dari luar pulau.
Pasalnya, para pemburu merusak pohon gaharu yang diambil dengan ditebang sampai habis meskipun tidak memiliki isi.
Hal ini berbeda dengan masyarakat desa. Mereka memanen gaharu hanya mengambil isinya. Pohon gaharu tidak ditebang habis. Dengan begitu, masyarakat bisa kembali ke pohon memanen isi gaharu tersebut.
Kondisi sehingga warga tidak bisa lagi mengandalkan gaharu dari alam namun berupaya membudidayakan. Upaya budi daya "aquilaria malaccensis" itu telah berjalan sejak 2008.
Luas kebun gaharu untuk budi daya itu sekitar satu sampai dua hektare.
Berdasarkan pengalaman mereka, ada perbedaan gaharu hutan dengan gaharu budi daya. Gaharu yang berasal dari hutan memiliki warna hitam pekat, berbeda dengan gaharu budi daya. Harga jual juga berbeda
Baca juga: TELAAH - Perhutanan Sosial, asa kesejahteraan masyarakat pedalaman Kaltara dengan kelestarian alam
Baca juga: Tujuh KUPS desa Kaltara ikuti pelatihan peningkatan inovasi produk rotan
Limbah gaharu
Kondisi kian langka pohon gaharu di alam serta kurang optimal pengelolaan (manfaat pengolahan limbah) mendapat perhatian sebuah lembaga non profit khusus pendampingan warga sekitar hutan, yakni KKI (Komunitas Konservasi Indonesia) Warsi.
Hari Fitrah, Koordinator regional Kalimantan KKI
Warsi melihat selama ini masyarakat hanya memanen isi gaharu dan serpihan gaharu atau disebut "totok" dari dalam hutan belum terkelola dengan baik.
Biasanya totok gaharu tersebut dijualnya ke tengkulak. Kemampuan masyarakat memikul totok rata-rata sekitar 20-30 kg. Harga totok Rp10.000 hingga Ro30.000 per kilo gram tentu kurang berarti bagi pemasukan yang tetap bagi masyarakat.
Pasalnya, mereka tidak bisa setiap hari masuk ke dalam hutan. Mereka hanya masuk ke dalam hutan sekitar dua bulan sekali.
Padahal Warsi melihat ada peluang bagi warga pedalaman untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan dari optimalisasi totok itu.
Totok ternyata bisa "disulap" menjadi "cuan" (sumber ekonomi bernilai tinggi) dengan memberikan perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu dengan melakukan pengolahan melalui penyulingan minyak atsiri dari totok gaharu.
Potensi itu didukung dalam kawasan kelola masyarakat yang sudah mendapat SK (surat keputusan) Pengakuan Hutan Desa dari KLHK
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dengan total wilayah administrasi 28.131 Ha.
KKI Warsi mendorong masyarakat desa yang telah memiliki izin perhutanan sosial untuk mengolah gaharu sendiri. Desa tersebut membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Gaharu. KUPS Gaharu inilah yang mengolah gaharu hasil panen masyarakat desa.
Totok yang dijual dari hulu ke hilir bisa dikelola sendiri di desa menjadi minyak gaharu. Jelas harganya jauh lebih mahal jika dijual ketimbang hanya sebagai totok.
Apalagi, limbah pengolahan totok gaharu menjadi minyak, seperti air bekas sulingan dan ampas serpihan masih laku dijual.
Jesica Geovani, Fasilitator Bisnis KKI Warsi mengatakan gaharu bisa menjadi potensi usaha masyarakat desa berkelanjutan. Pasalnya, gaharu hutan di desa Long Pada sangat melimpah.
Berdasarkan analisis KKI Warsi, ternyata gaharu bisa dimanfaatkan setiap bagiannya. Daun gaharu bisa diolah menjadi teh yang memiliki nilai tinggi. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya memanen isi gaharu melainkan semua bagian gaharu bisa dikelola.
Baca juga: Kaltara berhasil rampungkan pembuatan "roadmap" perhutanan sosial
Baca juga: Desa perbatasan Kaltara-Serawak bisa diakses online
Dukungan Daerah
Upaya meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan warga dalam mengolah totok mendapat dukungan Warsi, Pemkab Malinau dan Pemprov Kaltara.
Selain telah digelar pelatihan mengolah limbah atau totok, KUPS Gaharu Desa Long Pada telah mengusulkan bantuan seperangkat alat suling gaharu ke Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Utara.
Roni Kirut, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) KUPS Gaharu Desa Long Pada mengatakan kini sedang memproses hibah seperangkat alat suling dari Dinas Kehutanan Kalimantan Utara.
Khusus pelatihan penyulingan gaharu telah dilaksanakan di Desa Pelancau, Kecamatan Malinau Selatan, Kalimantan Utara pada 24-27 Juli 2022. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan Kapasitas KUPS Gaharu desa Long Pada.
Takdir Bachtiar, pelatih penyuling gaharu menuturkan harga jual totok tua sekitar Rp35.000 per kilogram. Sedangkan totok muda dihargai sekitar Rp10.000 per kilogram.
Perbedaan harga ini dikarenakan totok gaharu tua menghasilkan lebih banyak minyak, dari pada gaharu muda. Sementara itu, harga minyak gaharu dijual dengan harga Rp150.000 rupiah per gram.
Dalam satu kali penyulingan dibutuhkan 100 kg totok yang dapat menghasilkan minyak gaharu sekitar 30 sampai 40 gram sehingga satu kali penyulingan totok bisa menghasilkan setidaknya Rp4 sampai Rp6 juta.
Cara penyulingan gaharu, tahap awal totok dicincang kasar menggunakan parang. Totok tersebut dijemur sampai kering selama dua hari. Kemudian, totok yang kering digiling halus. Selanjutnya, totok dikukus di dalam sulingan selama tiga hari dengan api yang stabil.
Uap kukusan totok akan naik masuk ke dalam pendingin atau kondensor. Dengan begitu, uap kukusan totok keluar menjadi minyak gaharu yang masih tercampur dengan air.
Tahap terakhir, proses pemisahan air dengan minyak gaharu menggunakan pipet. Minyak tersebut dijemur di bawah sinar matahari selama satu hari untuk menghilangkan kadar air dalam minyak gaharu.
Ternyata, dalam proses pengolahan limbah minyak gaharu tidak ada yang sia-sia karena air bekas penyulingan dijual Rp50.000 per botol untuk parfum wallet.
Sedangkan ampas totok dijual Rp3.000 per kilogram dimanfaatkan untuk dupa.
Kini warga pedalaman kian semangat menjaga kelestarian alamnya, khususnya membudidayakan pohon"aquilaria malaccensis" serta mengoptimalkan totok yang semuanya bahan prosesnya bisa menghasilkan "cuan".
Baca juga: Pusat akui Hutan Desa, warga Kaltara janji jaga kearifan lokal
Sebut saja, Kerajaan Sriwijaya --sekitar abad VII hingga XI masehi di Sumatra Selatan-- menjadi pengekspor kayu gaharu hingga ke Arab.
Pohon "Aquilaria malaccensis" merupakan salah satu spesies penghasil gaharu di Indonesia.
Senyawa gaharu terbentuk sebagai respon pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai gangguan, yakni gangguan fisik, infeksi patogen atau perlakuan kimiawi.
Permintaan gaharu di pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu sehingga perburuan pohon jenis ini menjadi langka. Hal itu sehingga "aquilaria malaccensis" masuk dalam Appendix II CITES (Convention on International Trades on Endangered Species of Wild Flora and Fauna).
Pohon ini memiliki diameter batang sekitar 40-60 cm dengan ketinggian kisaran 40 meter. Jika pohon itu menjadi sakit dan menghasilkan getah hitam keras mengkilat maka terdapat komoditas yang bernilai ekonomis tinggi.
Bau yang khas membuat gaharu menjadi bahan baku untuk kosmetik, dupa, pengawet berbagai macam aksesoris hingga industri parfum.
Bersamaan kemajuan teknologi maka beberapa negara maju, sebut saja Korea Selatan, Singapura, China, Jepang dan Amerika Serikat berhasil mengembangkan kayu ini sebagai bahan obat-obatan, antara untuk gangguan ginjal, asma, antibiotik TBC dan hepatitis.
Khusus di Indonesia, hutan Kalimantan menjadi sumber gaharu utama. Bagi masyarakat sekitar hutan di Kalimantan, gaharu sudah menjadi sumber utama penghasilan penduduk.
Di Kalimantan, salah satu daerah yang menjadi salah satu penghasil gaharu adalah di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara karena daerah ini masih memiliki hutan alam yang luas dan relatif bagus.
Sebagian kawasan Malinau masuk dalam kawasan "Heart of Borneo". Heart of Borneo mencakup sekitar 23 juta hektare hutan yang terhubung secara ekologis di tiga negara (Indonesia, Malaysia dan Brunei).
Namun, kini dengan semakin terbuka ruang dan akses perburuan gaharu tidak hanya diambil oleh masyarakat setempat akan tetapi juga oleh pihak-pihak lain juga sudah masuk jauh ke dalam hutan mencari gaharu. Kondisi ini menyebabkan gaharu kian sulit diperoleh.
Salah satu miniatur hutan Kalimantan yang dulunya banyak menyimpan gaharu adalah Desa Long Pada, Kecamatan Sungai Tubu, Kabupaten Malinau Kaltara.
Berdasarkan penuturan masyarakat pencari gaharu di Long Pada (harga transaksi langsung dari pedagang dengan warga), harga gaharu tergantung kualitas sehingga ada strata atau penggolongan. Ada enam strata dari strata 5 hingga 1 dan gaharu super.
Biasanya kalo gaharu super dihargai Rp100 juta per kilo, strata 1 sekitar Rp8 juta per kilogram, strata 2 sekitar Rp2 juta per kilogram, strata 3 sekitar Rp700 ribu per kilogram, strata 4 sekitar Rp500 ribu per kilogram dan strata 5 sekitar Rp200 ribu per kilogram.
Long Pada sudah sejak lama dikenal sebagai penghasil gaharu. Namun ketersediaan gaharu kian tahun terus menurun.
Kondisi itu diakui Faridan Liwah, Kepala desa Long Pada bahwa gaharu dari hutan alam mendapatkan ancaman dari pemburu gaharu dari luar daerah, bahkan datang dari luar pulau.
Pasalnya, para pemburu merusak pohon gaharu yang diambil dengan ditebang sampai habis meskipun tidak memiliki isi.
Hal ini berbeda dengan masyarakat desa. Mereka memanen gaharu hanya mengambil isinya. Pohon gaharu tidak ditebang habis. Dengan begitu, masyarakat bisa kembali ke pohon memanen isi gaharu tersebut.
Kondisi sehingga warga tidak bisa lagi mengandalkan gaharu dari alam namun berupaya membudidayakan. Upaya budi daya "aquilaria malaccensis" itu telah berjalan sejak 2008.
Luas kebun gaharu untuk budi daya itu sekitar satu sampai dua hektare.
Berdasarkan pengalaman mereka, ada perbedaan gaharu hutan dengan gaharu budi daya. Gaharu yang berasal dari hutan memiliki warna hitam pekat, berbeda dengan gaharu budi daya. Harga jual juga berbeda
Baca juga: TELAAH - Perhutanan Sosial, asa kesejahteraan masyarakat pedalaman Kaltara dengan kelestarian alam
Baca juga: Tujuh KUPS desa Kaltara ikuti pelatihan peningkatan inovasi produk rotan
Limbah gaharu
Kondisi kian langka pohon gaharu di alam serta kurang optimal pengelolaan (manfaat pengolahan limbah) mendapat perhatian sebuah lembaga non profit khusus pendampingan warga sekitar hutan, yakni KKI (Komunitas Konservasi Indonesia) Warsi.
Hari Fitrah, Koordinator regional Kalimantan KKI
Warsi melihat selama ini masyarakat hanya memanen isi gaharu dan serpihan gaharu atau disebut "totok" dari dalam hutan belum terkelola dengan baik.
Biasanya totok gaharu tersebut dijualnya ke tengkulak. Kemampuan masyarakat memikul totok rata-rata sekitar 20-30 kg. Harga totok Rp10.000 hingga Ro30.000 per kilo gram tentu kurang berarti bagi pemasukan yang tetap bagi masyarakat.
Pasalnya, mereka tidak bisa setiap hari masuk ke dalam hutan. Mereka hanya masuk ke dalam hutan sekitar dua bulan sekali.
Padahal Warsi melihat ada peluang bagi warga pedalaman untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan dari optimalisasi totok itu.
Totok ternyata bisa "disulap" menjadi "cuan" (sumber ekonomi bernilai tinggi) dengan memberikan perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu dengan melakukan pengolahan melalui penyulingan minyak atsiri dari totok gaharu.
Potensi itu didukung dalam kawasan kelola masyarakat yang sudah mendapat SK (surat keputusan) Pengakuan Hutan Desa dari KLHK
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dengan total wilayah administrasi 28.131 Ha.
KKI Warsi mendorong masyarakat desa yang telah memiliki izin perhutanan sosial untuk mengolah gaharu sendiri. Desa tersebut membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Gaharu. KUPS Gaharu inilah yang mengolah gaharu hasil panen masyarakat desa.
Totok yang dijual dari hulu ke hilir bisa dikelola sendiri di desa menjadi minyak gaharu. Jelas harganya jauh lebih mahal jika dijual ketimbang hanya sebagai totok.
Apalagi, limbah pengolahan totok gaharu menjadi minyak, seperti air bekas sulingan dan ampas serpihan masih laku dijual.
Jesica Geovani, Fasilitator Bisnis KKI Warsi mengatakan gaharu bisa menjadi potensi usaha masyarakat desa berkelanjutan. Pasalnya, gaharu hutan di desa Long Pada sangat melimpah.
Berdasarkan analisis KKI Warsi, ternyata gaharu bisa dimanfaatkan setiap bagiannya. Daun gaharu bisa diolah menjadi teh yang memiliki nilai tinggi. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya memanen isi gaharu melainkan semua bagian gaharu bisa dikelola.
Baca juga: Kaltara berhasil rampungkan pembuatan "roadmap" perhutanan sosial
Baca juga: Desa perbatasan Kaltara-Serawak bisa diakses online
Dukungan Daerah
Upaya meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan warga dalam mengolah totok mendapat dukungan Warsi, Pemkab Malinau dan Pemprov Kaltara.
Selain telah digelar pelatihan mengolah limbah atau totok, KUPS Gaharu Desa Long Pada telah mengusulkan bantuan seperangkat alat suling gaharu ke Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Utara.
Roni Kirut, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) KUPS Gaharu Desa Long Pada mengatakan kini sedang memproses hibah seperangkat alat suling dari Dinas Kehutanan Kalimantan Utara.
Khusus pelatihan penyulingan gaharu telah dilaksanakan di Desa Pelancau, Kecamatan Malinau Selatan, Kalimantan Utara pada 24-27 Juli 2022. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan Kapasitas KUPS Gaharu desa Long Pada.
Takdir Bachtiar, pelatih penyuling gaharu menuturkan harga jual totok tua sekitar Rp35.000 per kilogram. Sedangkan totok muda dihargai sekitar Rp10.000 per kilogram.
Perbedaan harga ini dikarenakan totok gaharu tua menghasilkan lebih banyak minyak, dari pada gaharu muda. Sementara itu, harga minyak gaharu dijual dengan harga Rp150.000 rupiah per gram.
Dalam satu kali penyulingan dibutuhkan 100 kg totok yang dapat menghasilkan minyak gaharu sekitar 30 sampai 40 gram sehingga satu kali penyulingan totok bisa menghasilkan setidaknya Rp4 sampai Rp6 juta.
Cara penyulingan gaharu, tahap awal totok dicincang kasar menggunakan parang. Totok tersebut dijemur sampai kering selama dua hari. Kemudian, totok yang kering digiling halus. Selanjutnya, totok dikukus di dalam sulingan selama tiga hari dengan api yang stabil.
Uap kukusan totok akan naik masuk ke dalam pendingin atau kondensor. Dengan begitu, uap kukusan totok keluar menjadi minyak gaharu yang masih tercampur dengan air.
Tahap terakhir, proses pemisahan air dengan minyak gaharu menggunakan pipet. Minyak tersebut dijemur di bawah sinar matahari selama satu hari untuk menghilangkan kadar air dalam minyak gaharu.
Ternyata, dalam proses pengolahan limbah minyak gaharu tidak ada yang sia-sia karena air bekas penyulingan dijual Rp50.000 per botol untuk parfum wallet.
Sedangkan ampas totok dijual Rp3.000 per kilogram dimanfaatkan untuk dupa.
Kini warga pedalaman kian semangat menjaga kelestarian alamnya, khususnya membudidayakan pohon"aquilaria malaccensis" serta mengoptimalkan totok yang semuanya bahan prosesnya bisa menghasilkan "cuan".
Baca juga: Pusat akui Hutan Desa, warga Kaltara janji jaga kearifan lokal