Tanjung Selor (ANTARA) - Dalam suatu foto langka, tampak gagah duduk di tengah Sultan Muhammad Aminudin (Sultan Sambaliung), diapit oleh Sultan Maulana Muhammad Jalaludin (Sultan Bulungan) dan Sultan Achmad Maulana (Sultan Gunung Tabur).
Di sekeliling mereka berpose tokoh-tokoh nasionalis, seperti Muhammad Rasyid gelar Sutan Raja Mas dari Ikatan Nasional Indonesia, Sampan alias Zainudin dari Long Iram, Moechsin (sekretaris Federasi Kalimantan Timur), Adji Raden Djojoprawiro (sekretaris umum Federasi Kalimantan Timur), Adji Raden Djokoprawiro (wakil ketua Majelis Pemerintah Daerah Kalimantan Timur), Adji Raden Afloes (Ketua Badan Harian Dewan Kalimantan Timur), Datu Perdana dan Datu Laksmana (Pejabat Istana Bulungan), dan banyak lagi tokoh yang belum dapat diidentifikasi.
Baca juga: Gubernur Kaltara serahkan air dan tanah dari Kesultanan Bulungan di Kendi Nusantara
Foto tersebut dipelajari oleh tim Yayasan Sejarah dan Budaya Kaltara, diperoleh dari koleksi saudara Abbas keturunan dari Datu Haji Datu bin Sultan Datu Alam Muhammad Khalifatul Adil dari Bulungan. Apabila ditinjau dari sejarahnya, tokoh-tokoh dalam foto ini merupakan panitia penyelenggara upacara pengibaran bendera merah putih pada tanggal 17 Agustus 1949 di Tanjung Palas, tepatnya di depan Istana Bertingkat Dua Kesultanan Bulungan.
Sejarahnya sebagai berikut. Upacara pengibaran bendera tersebut merupakan puncak dari perjuangan para republiken (pendukung Republik Indonesia), yang sejak proklamasi 1945 menghadapi berbagai tantangan.
Tantangan utama pada masa-masa tersebut adalah intrik-intrik dan tekanan-tekanan dari Pemerintah Belanda yang berupaya mencengkramkan kekuasaannya kembali di Kalimantan setelah Jepang berhasil dikalahkan sekutu dalam perang dunia kedua.
Belanda membonceng tentara sekutu untuk masuk ke Indonesia dan berhasil memaksakan perjanjian-perjanjian yang merugikan Indonesia. Sejarahwan asal Berau, Muhammad Noor Ars (1986) menjelaskan bahwa berdasarkan perjanjian linggar Jati, pemerintah Belanda mencoba memecah belah Indonesia dengan cara membentuk negara-negara baru, salah satunya Federasi Kalimantan Timur pada tahun 1947. Namun upaya Belanda ini gagal total.
Baca juga: Kesultanan Bulungan Kalimantan Utara Titipkan Aspirasi ke Ketua DPD RI
Federasi tersebut merupakan gabungan Kesultanan Kalimantan Timur yang antara lain terdiri dari Kesultanan Kutai, Kesultanan Gunung Tabur, Kesultanan Bulungan, Kesultanan Sambaliung dan Dewan Pasir. Gabungan Kesultanan ini disebut Dewan Kesultanan yang diketuai oleh Sultan Kutai.
Selain Dewan Kesultanan, di dalam Federasi juga terdapat Dewan Kalimantan Timur. Dewan ini diketuai oleh Adji Raden Afloes. Di daerah-daerah Kesultanan juga dibentuk Dewan Rakyat.
Belanda berharap Federasi Kalimantan Timur akan mendukung niat Belanda menjajah kembali Indonesia, namun para Sultan dan A.R. Afloes tetap pada pendiriannya di Konferensi Malino tahun 1946, yakni berada di belakang Republik Indonesia (Datu Bestari, 1965).
Pada awalnya para tokoh nasionalis menempuh "jalan pedang", antara lain yang terkenal adalah penyerangan Gerindo di Balikpapan (Abdul Ghani, 1993) dan perlawanan Pasukan Merah di Sanga-sanga (Juniar Purba, 2013). Namun Belanda berhasil mematahkan semua perlawanan tersebut dan menangkap pemimpin-pemimpinnya.
Baca juga: Kunjungi Kesultanan Bulungan, LaNyalla: Kerajaan Nusantara pondasi terbentuknya NKRI
Ketika Federasi terbentuk pun tokoh nasional banyak yang menolaknya karena mereka menganggap Federasi adalah boneka Belanda, namun para tokoh pimpinan Federasi tersebut selalu menyampaikan bahwa Dewan ini boleh dianggap "Boneka", tapi orang-orang yang mengisinya tetap Republiken (Noor, 1986). Oleh karena itu, dengan pertimbangan matang sebagian besar tokoh nasionalis akhirnya merubah taktik dari "jalan pedang" menjadi taktik diplomasi menggunakan parlemen yang tersedia. Maka pada tahun 1948 dan 1949, Dewan Rakyat dan Dewan Kalimantan Timur semakin banyak diisi oleh tokoh-tokoh Nasionalis seperti Rasyid Sutan Raja Mas ketua Ikatan Nasional Indonesia (INI) cabang Tarakan, Stefanus Bandah ketua INI cabang Tanjung Selor, Muhammad Noor aktivis INI cabang Berau, Andi Caco, Damus Frans dan Tayeb Kesuma INI Balikpapan (Noor, 1986).
Pimpinan Dewan Kesultanan juga konsisten mengikuti semangat dan gerakan rakyat tersebut. Misalnya Sultan Bulungan, yang dibujuk rayu oleh Belanda dengan segala cara termasuk pemberian pangkat militer Kolonel tituler pada tahun 1947, namun tetap pada pendiriannya dan justru memanfaatkan status militer tersebut untuk kepentingan perjuangan mendukung republik (Zarkasyi, 2010). Pemerintah Belanda akhirnya tidak mampu berbuat apa-apa ketika pada 13 Agustus 1949 Dewan Kesultanan memutuskan secara resmi untuk pertamakalinya bahwa 17 Agustus merupakan Hari Kebangsaan Indonesia dan memerintahkan semua kantor, jawatan2, sekolah2 diliburkan pada hari tersebut. Keputusan ini bahkan ditembuskan kepada perwakilan pemerintah Belanda, yakni Asisten Residen Kutai/Pasir di Balikpapan dan Asisten Residen Bulungan/Berau di Tarakan.
Puncaknya, 17 Agustus 1949, diselenggarakanlah upacara pengibaran bendera merah putih secara besar-besaran di depan Istana Bertingkat Dua Kesultanan Bulungan di Tanjung Palas.
Penyelenggaraan upacara tersebut merupakan keputusan yang berani dan berdampak signifikan terhadap mental Belanda, sehingga empat bulan kemudian yakni 27 Desember 1949 Pemerintah Belanda tidak punya pilihan selain menyerahkan kedaulatannya kepada Bangsa Indonesia.
Baca juga: Kesultanan Bulungan akan Jadi Simbol Wisata Kaltara
Sejarah ini menjadi bahan bagi kita untuk mengenang jasa para Pahlawan Kita di masa itu, yang baru saja habis dijajah Jepang dan harus berjuang lagi menghadapi Tentara Sekutu dan Belanda, sehingga kita bisa menikmati Kemerdekaan hingga saat ini.
Beberapa saat sebelum upacara legendaris tersebut, dilaksanakanlah foto bersama oleh para Sultan dan tokoh nasionalis sebagaimana dipaparkan di awal tulisan ini. Wajah mereka nampak optimis, mata mereka bersinar-sinar penuh harapan, seakan mereka menyadari bahwa foto ini akan ditemukan dan menjadi pelajaran bagi kita tentang pentingnya arti perjuangan dan persatuan.
Oleh karena itu napak tilas sejarah upacara tersebut insyaallah akan dilaksakanan di Tanjung Palas Bulungan pada tanggal 17 Agustus 2024 nanti. Keturunan dari tokoh-tokoh yang terdapat di dalam foto tersebut akan diundang sebagai apresiasi terhadap para pahlawan kita. Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Sejarah dan Budaya Kaltara bekerjasama dengan Lembaga Adat Kesultanan Bulungan dan Orang Indonesia Cabang Tarakan, Orang Indonesia Cabang Tanjung Selor, Forum Intelektual Kaltara, JELITA, GMNI Bulungan, TJS RUNNER, Perguruan Kuntau Bulungan, Laskar Adat Kesultanan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Laskar Pemuda Adat Dayak Kaltim-Kaltara, dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Bagi organisasi masyarakat, perorangan atau korporasi yang ingin bergabung dan berkontribusi mensukseskan acara tersebut dapat menghubungi panitia (Joko: 085348912951).
DAFTAR PUSTAKA
Bestari Datu. 1965. Riwayat Singkat Perjuangan Kerajaan Bulungan dalam menyokong 100% tetap berdiri di belakang pemerintah republik Indonesia di Jokjakarta. Naskah tidak diterbitkan.
Ghani Abdul Haji. 1993. Perjuangan Rakyat Kalimantan Timur dalam Merebut Kemerdekaan. Penerbit: Jakarta Kaltim Group.
Koestarta Tarib Drs, Finandar Fidi Drs, Noor M. Ars, Hasyim Achmad, Hanan Syahrial Drs. 1983. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Kalimantan Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta.
Noor Muhammad Ars, Rasyid Yunus, Achmad Hasyim. 1986. Sejarah Kota Samarinda. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta. Cetakan pertama.
Purba Juniar. 2013. Sejarah Perjuangan Merah Putih di Sanga-sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. STAIN PONTIANAK PRESS.
Zarkasyi Muhammad. Mengenang aksi penyusupan mata-mata Republik Indonesia di wilayah Kesultanan Bulungan. Diakses pada 27 Mei 2024. https://muhzarkasy-bulungan.blogspot.com/search?updated-max=2010-07-07T01:23:00-07:00&max-results=7&start=67&by-date=false&m=0
(Joko Supriyadi, direktur utama Yayasan Sejarah dan Budaya Kalimantan Utara, penulis buku Menggugat Subversif Bultiken 1964 )
Baca juga: Masjid tertua Kaltara, saksi sejarah hingga badai pandemi