Tanjung selor (Antaranews Kaltara) - Alam Desa Penisir, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara sebenarnya cukup indah, di antara bukit-bukit terdapat hamparan hijau lahan pertanian potensial.
Di kiri-kanan jalan desa, terlihat juga berbagai jenis hortikultura yang siap panen, durian, duku, lai (durian jingga khas Borneo) dan rambutan.
Pemborong buah tampak sibuk memuat hasil panen hortikultura milik warga lokal, khususnya durian ke dalam mobil-mobil pick up-nya.
Suasana "hidup" di Desa Penisir itu hanya bersifat musiman, yakni hanya musim buah saja karena ternyata yang kini tinggal di sana hanya sekitar 20 KK (kepala keluarga).
Jika dicermati, maka sesungguhnya tampak suasana cukup menakutkan di desa itu karena sebagian rumah ternyata tidak berpenghuni.
Lihat saja sejumlah rumah dekat sekolah PAUD (pendidikan anak usia dini) semua kosong, serta tampak tidak terurus karena halamannya dipenuhi semak dan ilalang.
Alat-alat bermain di halaman PAUD juga tampak dililit tumbuhan menjalar. Beberapa rumah tampak masih memiliki kain hordeng namun sebagian sudah terkoyak dihembus angin karena pintu dan jendela tak berdaun lagi.
Artinya, di sana dulu ada kehidupan, ada mimpi, ada asa dan ada cinta namun kini hampa hanya saksi-saksi bisu sebuah perjalanan kehidupan.
Sekitar tiga tahun silam atau Januari 2016, pemerintah harus mengungsikan, dan kemudian memulangkan hampir 150 jiwa warga Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) karena khawatir terjadi konflik horizontal.
Sejak warga Gafatar meninggalkan kawasan itu, maka warga lokal juga enggan kembali ke Desa Penisir sehingga penampakan eks pemukiman Gafatar mirip "Kota Hantu".
Berbagai alasan warga lokal enggan kembali, di antaranya trauma dengan kehadiran Gafatar, serta sampai kini pemerintah enggan membangun jaringan listrik.
Pertanian Berkembang Pesat
Pada 2013, sejumlah orang datang ke Desa Penisir berniat menyewa lahan dan rumah warga.
Sebelum Gafatar masuk, di Penisir sudah ada pemukiman, yakni warga yang sejak lama bermukim dan warga baru dari pemukiman transmigrasi lokal.
Gafatar akhirnya berhasil meyakinkan warga Penisir (umumnya transmigrasi lokal) untuk melakukan nota kesepahaman (MoU) pinjam pakai dengan pola tahun pertama bagi hasil 50:50, tahun kedua 60:40, dan seterusnya 80:20.
Mereka menyakinkan tujuan organisasi itu bersifat sosial, utamanya ketahanan pangan sehingga warga tidak curiga.
Didukung oleh kemampuan SDM (sumber daya manusia) karena pendidikan lebih baik, bahkan sebagian sarjana maka sektor pertanian di Penisir sangat berkembang pesat.
Saat paham sesat Gafatar mulai terkuak sebenarnya tidak ada masalah dengan situasi di Desa Penisir.
Akan tetapi maraknya berita, khususnya di telivisi nasional terkait penolakan terhadap Gafatar hingga pembakaran rumah di provinisi lain sehingga membuat warga Kaltara resah.
Akhirnya, Kantor Agama Pemkab Bulungan, bersama Polri dan TNI mengadakan pertemuan dengan warga Gafatar dan penduduk setempat membahas situasi memanas itu.
Akhirnya, diputuskan mereka ditampung Pemkab Bulungan dan kemudian dipulangkan ke daerah asalnya.
Data awal tercatat ada 21 KK atau 87 jiwa warga Gafatar yang beragama Islam dan non Muslim.
Kemudian diperkirakan jumlah bertambah hampir 150 jiwa karena ada yang tidak terdaftar resmi.
Selama dipenampungan mereka dibina dan dibimbing agar kembali ke ajaran masing-masing baik yang Islam maupun non Muslim.
Dalam jumpa pers di gedung MUI, Jakarta, Februari 2016, Ketua Umum MUI Pusat KH Ma'ruf mengemukakan dasar atas fatwa sesat terhadap Gafatar karena metamorfosis Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan menjadikan Ahmad Musadeq sebagai pemimpinnya.
Gafatar juga sesat karena menganut ajaran Millah Abraham, yakni mencampuradukkan agama Islam, Nasrani, dan Yahudi.
Terhadap mereka yang meyakini paham itu maka dinyatakan murtad dan keluar dari ajaran Islam.
Kian Sepi
Salah seorang guru di SD Desa Penisir mengaku bahwa jumlah penduduk kian penipis.
Guru yang enggan disebutkan namanya itu menjelaskan bahwa jumlah pelajar di SD Penisir hanya 16 orang dari kelas 1 sampai 6.
Artinya satu kelas terdapat hanya 2-3 murid. Ironisnya jumlah siswa terus berkurang setiap tahun.
Menyinggung keberadaan Gafatar beberapa tahun silam, ia mengakui jumlah siswa cukup banyak meski pelajar tersebut adalah warga lokal.
Ternyata anak-anak warga Gafatar tidak disekolahkan oleh orangtuanya di sekolah umum.
Lagi-lagi karena alasan SDM, mereka secara eksklusif mendidik anak warga Gafatar bukan di sekolah formal. Guru tersebut sempat menanyakan hal itu tapi saat itu tidak curiga karena mereka enggan menyekolahkan anak di sekolah formal.
Setelah Gafatar terbongkar, Desa Panisir kian sepi karena sebagian warga lokal ikut pindah dan yang menyewa lahan serta rumah enggan kembali.
Diperkirakan karena warga trauma dengan Gafatar, listrik tidak ada, dan belakangan ada cerita-cerita mistis atau rumor yang membuat warga banyak yang pindah.
Kini, Desa Penisir masih memiliki keindahan alam dan potensi pertanian namun semakin hari kian terlantar.
Denyut kehidupan Penisir sangat lemah ibarat orang sakit parah yang telah kehilangan semangat untuk pulih.
Entah sampai kapan ?