Sembakung mengapa selalu didera banjir ?

id Banjir sembakung

Sembakung mengapa selalu didera banjir ?

Mengapa Sembakung selalu terdera oleh bencana banjir ?

Tanjung Selor (ANTARA) - Warga di Kecamatan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara memang tidak asing dengan bencana banjir namun dulunya merupakan musibah musiman.

Dari bencana 10 tahunan, tujuh tahunan, lima tahunan, kemudian --diduga sebagai dampak kerusan lingkungan akibat pembabatan hutan dan pembukaan lahan-- kini banjir kian rutin datang setiap tahun.

Bahkan, yang menimbulkan pertanyaan selama 2021, hanya dalam waktu lima bulan, terjadi dua kali banjir besar yang melumpuhkan aktifitas ribuan jiwa warga pada delapan desa di Kecamatan Sembakung.

Awal tahun ini, tepatnya antara 8 sampai 17 Januari 2021 terjadi banjir cukup besar melumpuhkan aktifitas warga di delapan desa.

Ke delapam desa itu, yakni Desa Butas Bagu, Desa Labuk, Desa Pagar, Desa Tujung, Desa Manuk Bungkul, Desa Atap, Desa Lubakan dan Desa Tagul.

Hanya dua Desa Pelaju, dan Desa Tepian yang bebas banjir.

Banjir tidak hanya merendam ratusan rumah warga namun juga fasilitas umum, misalnya jalanan, jembatan dan masjid.


Banjir juga merendam fasilitas pemerintahan (antara perkantoran, fasilitas kesehatan dan pendidikan).

Pada 20 Mei 2021 hingga saat ini (29 Mei 2021) banjir akibat tingginya curah dan itensitas hujan di pedalaman DAS (daerah aliran sungai) Sembakung kembali melumpuhkan aktifitas warga di delapan desa.

Pada banjir pertama tahun ini pada Januari 2021, tercatat warga terdampak 661 kepala keluarga (KK) atau 2.752 jiwa, dan 553 KK rumah terendam banjir.

Sedangkan banjir kedua tahun ini, sesuai data per Jumat (28 Mei 2021) tercatat warga terdampak banjir 641 kk atau 2.151 jiwa, serta 455 rumah terendam.

Ketua Kampung Siaga Bencana (KSB) Sembakung Abdullah mengaku heran jika dalam satu tahun --selang beberapa bulan-- dua kali terjadi banjir besar.

Beberapa warga mengatakan bahwa daerah Sembakung kini mengalami perubahan siklus banjir besar yang dulu 10 tahunan, tujuh tahunan atau lima tahunan namun kini hampir setiap tahun, bahkan selama 2021 dua kali terjadi.

Murad, salah seorang petani di Desa Atap mengaku mengalami kerugian cukup banyak akibat tanaman padi yang siap panen rusak akibat banjir pada awal 2021.

Saat ini, ia kembali mengalami kerugian karena tanaman sayuran rusak akibat banjir kedua.

Petani kini kebingungan karena sulit memprediksi terjadinya banjir sehingga ia menilai bahwa musibah tersebut terkait erat dengan kondisi lingkungan di wilayah hulu sungai yang masuk wilayah Malasia.

Wilayah Malaysia

Sama seperti Murad, warga Sembakung umumnya mengatakan bahwa musibah itu sebagai banjir kiriman dari wilayah Malaysia.

Banjir di Sembakung disebut berasal dari wilayah Malaysia. Sebagian besar wilayah Sabah kini sudah tidak memiliki hutan karena menjadi areal perkebunan sawit.

Kawasan hulu wilayah Indonesia di perbatasan berasal dari Sungai Talangkai, Sepulut Sabah Malaysia.

Air dari pedalaman ini mengalir ke Sungai Pampangon serta berlanjut ke Sungai Lagongon ke Pagalungan (masih wilayah Malaysia).

Aliran air dari Pagalungan itu kemudian melalui Sungai Labang dan Sungai Pensiangan hingga tertumpah di Sungai Sembakung yang panjangnya 287 Kilometer.

"Benar, hulu Sungai Sembakung dari aliran beberapa sungai di Malaysia namun akar masalah terjadi banjir perlu pengkajian mendalam," kata Camat Sembakung Zulkifli menjawab hati-hati ketika disinggung tentang anggapan warga bahwa musibah akibat banjir kiriman dari wilayah Malaysia.

Ia mengakui bahwa banjir 2021 termasuk yang terburuk ketimbang banjir tahunan saat musim penghujan, hal itu terlihat dari ketinggian air sungai.

Ketinggian air Sungai Jumat (28/5/2021) masih berkisar pada level 4,94 meter padahal normal hanya 3,0 meter.

Pihak kini terus memantau perkembangan banjir, dan mengimbau warga agar waspada karena banjir belum ada tanda-tanda surut.

Langkah pihaknya dalam mengatasi masalah banjir, antara lain membantu menyelamatkan dokumen dan peralatan di kantor pemerintahan antara lain dinas kesehatan dan sekolah.

Baca juga: Banjir jadi "obyek wisata dadakan"

Baca juga: Pedalaman Sungai Kayan banjir, warga Bulungan diimbau waspada


Aparat Kecamatan Sembakung bersama aparat kepolisian dan TNI, UPT BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), Kampung Siaga Bencana (KSB), Desa Tangguh Bencana (Destana) dan relawan terus siaga di Posko Banjir di Desa Atap.

Mereka juga terus melakukan koordinasi serta melakukan pendataan tentang perkembangan banjir dan warga terdampak.

Melakukan evakuasi warga yang rumahnya terendam serta membuat jalur alternatif yang tidak tergenang banjir.


Butuh pengkajian banjir

Sedangkan upaya mengantisipasi dampak banjir berulang-ulang itu telah ada beberapa rekomendasi Pemkab Nunukan.

Sebagian rekomendasi juga telah menjadi kebijakan Pemkab Nunukan dan Pusat dalam upaya mengatasi banjir di Sembakung.

Upaya tersebut antara lain mendata dan menginventisir setiap masalah per desa, serta rekomendasi untuk mengatasi masalahnya.

Dari delapan desa terendam banjir, ada empat desa di hulu Sungai Sembakung, yakni Desa Butas Bagu, Desa Labuk, Desa Pagar dan Desa Tujung.

Desa-desa itu merupakan kampung lama yang sampai dengan sekarang masih ditempati warga.

Pada Desa Butas Bagu dan Desa Pagar sudah menempati perumahan relokasi bebas banjir yang dibangun pemerintah melalui dana pusat atau APBN.

Penanganan Desa Labuk sudah dilakukan
tahap pembukaan lahan perumahan relokasi bebas banjir.

Pembangunan di Desa Lubuk kini sudah diusulkan melalui APBN.

Penanganan Desa Tujung secara swadaya masyarakat sudah pindah ke lokasi pemukiman di wilayah desanya.

Pada Desa Manuk Bungkul --wilayah desa yang cukup parah terandam setiap banjir Sembakung -- Pemkab Nunukan masih masih mencari solusi untuk relokasi, pasalnya hampir 80 persen wilayah desanya rendah.

Sedangkan penanganan Desa Tagul mengalami rendaman sangat parah setiap bencana banjir.

Desa Tagul ini hanya bisa diakses melalui jalur sungai sehingga diperlukan pembangunan jalan penghubung antardesa Lubakan dengan Tagul

Mengenai penanganan Desa Atap, tercatat ada dua RT yang mengalami rendaman sangat parah, yaitu RT 6 dan 7 (Tembelenu Salid) sehingga direkomendasikan agar dilakukan relokasi menyeluruh.

Di Desa Lubakan, warga sudah meninggalkan kampung lama secara mandiri karena memang sangat rawan banjir.

Mengenai akar masalah terkait dugaan bahwa musibah di Sembakung akibat banjir kiriman dari Malaysia, Zulkifli kembali menjawab secara hati-hati agar perlu pengkajian mendalam.

Kehati-hatian Camat Sembakung Zulkifli bisa dipahami karena meskipun kawasan yang tertimpa bencana hanya beberapa desa kecil namun bisa menjadi masalah politis karena DAS Sungai berada di perbatasan Malaysia.

Tampaknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (PNPB) perlu membuat pengkajian untuk menemukan akar masalah mengapa Sembakung kian rawan banjir.

Jika benar hal itu akibat dampak kerusakan lingkungan di wilayah Malaysia, maka tentu penanganannya diselesaikan secara bilateral melalui pemerintah pusat.

Sedangkan jika terbukti persoalan kerawanan banjir Sembakung akibat aktifitas pembukaan lahan sawit yang masif di wilayah Indonesia, maka penganannya cukup oleh kementerian terkait.

Penanganannya antara lain moratorium izin pembukaan lahan (perkebunan, industri, pertambangan dan perhutanan), mengintensifkan reklamasi serta reboisasi.

Kasus yang banyak terjadi, warga sekitar hutan selalu menjadi korban musibah banjir atau kebakaran hutan dan lahan akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan.

Baca juga: Hikmah banjir Sembakung, napak tilas menembus "jantung Borneo"

Baca juga: Asa entaskan banjir Sembakung, masalah satu sungai dari dua negara