Catatan Hendry Ch Bangun - Setelah kompeten, apa?

id Henry c bangun

Catatan Hendry Ch Bangun - Setelah kompeten, apa?

Catatan Hendry Ch Bangun -  Setelah kompeten, apa? (Ist)

Jakarta (ANTARA) - Ini sebenarnya pertanyaan lama yang kerap diajukan peserta Uji Komptensi Wartawan (UKW) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kepada saya ketika sering menguji di awal penetapan PWI sebagai lembaga uji oleh Dewan Pers pada tahun 2011.

Dalam beberapa kesempatan, saya menjawab, minimal setelah bersertifikat dan namanya muncul di situs dewanpers.or.id, Anda diakui sebagai wartawan profesional, selain oleh media sendiri.

Dan tentu saja jadi wartawan terpercaya karena masyarakat umum tahu bahwa Dewan Pers adalah pengampu kehidupan pers di Tanah Air setelah bubarnya Departemen Penerangan dan berhentinya campur tangan pemerintah seperti di era Orde Baru.

Waktu itu UKW belum popular, masih ada resistensi di kalangan wartawan, juga di kalangan pengelola media. Meskipun sebenarnya di masyarakat mulai ada keluhan bahwa sejak Reformasi 1998 dan lahirnya Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers, pers tumbuh tak tercegah, pekerjaan wartawan bebas dilakukan siapa saja. Tabloid dengan segala macam nama bermunculan dengan berita yang sensasional dan seenaknya, tanpa memedulikan kode etik.

PWI termasuk yang paling bersemangat mendorong adanya aturan terkait kompetensi agar dunia pers lebih “tertib”. Itu sebabnya menjadikan momentum Hari Pers Nasional 2010 di Palembang untuk mengajak seluruh masyarakat pers di Tanah Air bahu membahu dan berhasil dengan terbitnya Piagam Palembang yang ditandangani pimpinan media mainstream di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Medan, Palembang, termasuk grup besar seperti Kompas, Jawa Pos, Sinar Harapan, Tempo, kelompok Trans Media, Lippo Media.

Piagam Palembang lalu ditindaklanjuti Dewan Pers dengan keluarnya Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan No. 1 tahun 2010 setelah membahasnya dengan konstituen, pimpinan media, dan publik. Dewan Pers membuat babon pelaksanaan UKW, setelah sebelumnya juga menetapkan orang-orang dinilai layak untuk mendapatkan Sertifikat Kompetensi Wartawan Utama.

Kemudian disusul dengan penetapan sejumlah lembaga uji, LPDS menjadi yang pertama, PWI menjadi lembaga uji kedua dst. Setelah itu lembaga uji membuat buku pedoman UKW, melakukan Training of Trainers, para calon penguji awal ini kemudian magang, lalu menjalankan tugas sebagai penguji di lembaga uji masing-masing serta didaftarkan ke Dewan Pers.

Agar kualitas pengujinya memenuhi standar, Pengurus PWI Pusat periode 2013-2018 melakukan asesmen oleh lembaga psikologi terapan independen terhadap puluhan penguji dan hasilnya hanya 30-an yang lulus tes. Beberapa bulan kemudian diadakan asesmen kedua ada 20-an orang yang lulus. Yang belum lulus, diminta belajar lagi menunggu asesmen ketiga, yang sayangnya tidak pernah dilakukan lagi, sampai hari ini. Penetapan penguji tidak lagi transparan dan tidak ada tolok ukurnya.

Baca juga: Pedoman Dewan Pers tentang pemberitaan cegah politik identitas
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Ada apa dengan Dewan Pers ?
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun -Ada Apa Dengan Dewan Pers (2)


***

Pertanyaan tentang relasi antara bersertifikat kompetensi dan profesionalitas wartawan kian terasa relevan karena banyaknya pelanggaran kode etik jurnalistik yang diadukan ke Dewan Pers, yang di tahun 2022 mencatat 691 kasus pengaduan, dan 97% media yang diadukan dari platform media siber. Padahal dalam 3 tahun terakhir, Dewan Pers membiayai UKW bagi lebih dari 5.000 wartawan di 34 provinsi, dan 18 lembaga uji secara mandiri melakukan UKW dan menghasilkan sekitar 2000 wartawan kompeten.

Judul yang mendekati porno, berita yang tidak berimbang, berita tidak akurat, berita partisan, kerapnya muncul opini menghakimi, berita yang menyebutkan identitas anak, membuat masyarakat bertanya kok semakin seperti menabur garam ke laut?

Mendapati berita yang melanggar kode etik, kita harus menelusuri persoalan dengan jernih agar tahu duduk persoalan. Media yang pemiliknya Ketua Partai Politik atau berafiliasi langsung dengan parpol, sulit membuat berita objektif tentang parpol itu atau tokohnya, dan cenderung membuat berita partisan dan tidak berimbang. Bagaimana mungkin wartawan independen kalau sejak perencanaan liputan sudah ada misi tertentu?

Media yang hidupnya bergantung dari iklan lembaga negara termasuk di daerah, sulit untuk membuat berita yang kritis dan cenderung memberitakan sesuai pesanan, karena mereka takut kehilangan pendapatan. Pemimpin Redaksi saja tunduk kepada perintah boss-nya, apalagi wartawan yang tinggal menjadi pelaksana tugas.

Media yang bermodal sedikit, persaingan ketat, mencari jalan keluar dengan judul sensasional agar mereka mendapat perhatian dari khalayak dst dst yang pada gilirannya memperoleh pendapatan yang memadai. Bagaimana kalau diadukan masyarakat atau ditegur Dewan Pers? Mereka ini pasrah saja, mengaku salah, meminta maaf, tapi lalu melakukannya lagi agar survive.

Media yang didirikan memang untuk menjadi lahan pekerjaan, artinya mencari uang sebesar-besarnya, sudah tidak peduli dengan kode etik. Palugada, apa lu mau gua ada. Mereka tidak mengelola media sebagaimana yang dilakukan perusahaan pers pada umumnya, tetapi menyediakan diri untuk kepentingan mereka yang mau bayar. Kolom kereka tergantung pada pemesannya.

Maka kita tinggal berharap pada media yang dikelola secara profesional, sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai jurnalisme yang berlaku universal. Perusahaan pers beda dengan bidang bisnis lain karena dia harus menjunjung tinggi etika, tidak boleh curang, tidak boleh merugikan, dan bekerja semata-mata untuk kepentingan publik dan jujur.

Berapa banyak media yang masuk kategori ini? Masih banyak dan tersebar di berbagai daerah. Dari media inilah kita berharap muncul karya jurnalistik bermutu karena wartawannya sungguh-sungguh menerapkan profesionalisme saat melakukan tugas jurnalistiknya.
Tetapi kalau kita mau jujur, jumlahnya kalah banyak dengan mereka yang tidak profesional tadi. Selain dari produk jurnalistik di medianya, salah satu alat ukur profesionalisme adalah perilaku mereka di lapangan.

Apakah saat meliput, menghadiri acara, mewawancarai narasumber mereka semata-mata menggali informasi, mendapatkan data, atau ada misi lain? Bagaimana mereka menempatkan diri ketika berhadapan dengan narasumber siapapun dia? Bagaimana sikapnya mereka menghadapi undangan perjalanan yang memberikan kemewahan?

Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun -Kredibilitas wartawan
Baca juga: Catatan Zacky Antony- Tentang Putusan MK (1): "Kado Reformasi itu masih terjaga"
Baca juga: Catatan Zacky Antony - Tentang Putusan MK (2): "Bintang-bintang di Piagam Palembang"


***

Di perusahaan ada nilai-nilai sebagai landasan etik dan operasional, apakah itu corporate values kalau perusahaan media itu berada di suatu grup besar ataupun nilai-nilai media itu sendiri. Dia menjadi pegangan wartawan dan karena berbentuk peraturan perusahaan, juga harus ditaati karena apabila dilanggar dapat berujung pada sanksi. Tidak sedikit wartawan yang tidak tahan menjalankannya, akhirnya memilih keluar.

Jadi, peran perusahaan pers sangat besar dalam menentukan kiprah seorang wartawan. Ikut membentuk sosok wartawan. Oleh karena itu masyarakat sering mengatakan, perilaku wartawan di lapangan tercermin dari medianya. Kalau medianya teguh pada jurnalisme, tentu wartawannya akan setia pada idealisme itu. Kalau medianya punya hobi jual beli berita, tentu saja wartawannya pun begitu.

Maka untuk meningkatkan profesionalisme wartawan khususnya yang sudah memiliki sertifikat kompetensi, perhatian pemerintah, Dewan Pers, atas perusahaan pers menjadi penting. Ada tujuh organisasi perusahaan pers yang kini menjadi konstituen Dewan pers yakni Serikat Perusahaan Pers (SPS), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI). Mereka ini sekaligus harus diajak bertanggungjawab agar kualitas wartawan yang berada di media yang berwadah di organisasi konstituen itu, terus ditingkatkan. Bukan hanya organisasi wartawannya seperti PWI, AJI, IJTI, dan PFI.

Sikap profesional wartawan adalah satu-satunya hal yang bisa membuat profesi ini dihargai oleh masyarakat atau tidak, media massa masih menjadi acuan sumber informasi terpercaya atau tidak, dan bahkan kelak media massa masih akan dapat hidup atau tidak.

UKW dapat menjadi alat penyaring, sejauh penyaring dan penyaringannya baik dan benar. Artinya Dewan Pers sebagai pemberi mandat UKW ke lembaga uji, harus melakukan evaluasi berkala agar produk lembaga uji itu kredibel. Kalau kurang, diperbaiki. Kalau salah, ingatkan aturan dan kewajiban untuk menaatinya.

Pernah juga dilakukan survei beberapa tahun lalu, kaitan antara kompetensi lulusan UKW dan kinerjanya di perusahaan tempatnya bekerja, diukur dari kepuasan manajemen media tersebut. Hasilnya, ada relasi positif. Mungkin perlu diadakan lagi agar didapat kondisi terbaru.
Apapun, yang tidak kalah penting adalah tanggungjawab moral mereka yang sudah lulus uji kompetensi untuk menjaga harkat dan martabatnya sebagai wartawan profesional. Ayo buktikan lewat perilaku dan karya jurnalistik Anda. ***

Ciputat 22 Januari 2022



( *Hendry Ch Bangun
- Wakil Ketua Dewan Pers 2019-2022)



Baca juga: Tok ! Mahkamah Konstitusi putuskan, tolak seluruh gugatan uji materiil UU Pers
Baca juga: Sertifikasi wartawan kewenangan Dewan Pers
Baca juga: Dewan Pers diberi wewenang sertifikasi jurnalis karena UU "lex specialis"