Samarinda (Antara News Kaltara) - Saat melihat kawanan gajah di televisi,
maka umumnya orang membayangkan habitatnya di Pulau Sumatera, Thailand,
India atau negara-negara di Afrika. Padahal ada satu kawasan yang
ternyata menjadi habitat kawanan gajah tersebut, yakni di utara
Kalimantan.
Bagi warga utara Kalimantan, khususnya
yang berusia lanjut, keberadaan populasi gajah di kawasan perbatasan
Indonesia-Malaysia bukan hal yang aneh.
Gajah Borneo
kerdil (Elephas maximus borneensis) itu, konon, terakhir terlihat
sekitar awal 1960-an, saat seorang prajurit RI (KKO Mariner) yang
bertugas di perbatasan saat terjadi konfrontasi Indonesia dengan
Malaysia (1963-1966) menembak mati seekor gajah yang mengamuk di sebuah
perkampungan di wilayah Sebuku (Nunukan).
Namun, seiring
perjalanan waktu disertai kian gencarnya aktivitas perhutanan dan
perkebunan, satwa langka itu sempat dianggap punah karena tidak satupun
warga di perbatasan yang melihat keberadaannya.
Kemudian,
pada 1990-an, pihak Kanwil Kehutanan Kalimantan Timur mendapat laporan
baik dari warga perbatasan maupun petugas Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA) setempat bahwa diperkirakan masih ada kawanan gajah di
wilayah utara Kalimantan itu berdasarkan jejak kaki dan kotorannya.
Berdasarkan laporan itu, maka sejumlah peneliti dan penggiat lingkungan
hidup baik dari lembaga pendidikan serta organisasi lingkungan hidup,
misalnya WWF¿s (World Wide Fund for Nature) kian intensif melakukan
pemantauan dan penelitian di perbatasan.
Apalagi di
kawasan perbatasan itu terbentang salah satu kawasan konservasi terbesar
di dunia, yakni Taman Nasional Kayan Mentarang (1.360.500 hektar).
Taman Nasional Kayan Mentarang menjadi sangat penting karena merupakan
suatu kesatuan kawasan hutan primer dan hutan sekunder tua yang terbesar
dan masih tersisa di Kalimantan dan seluruh Asia Tenggara.
Penampakan gajah tersebut selain menjadi berita menggembirakan
khususnya terkait upaya pelestariannya namun di sisi lain juga cukup
mengkhawatirkan karena intensifnya interaksi antara manusia dengan
satwa-satwa langka yang mendekati pemukiman itu atau sebuah indikaso
bahwa kondisi hutan yang menjadi habitatnya kian rusak.
Wilayah perbatasan dalam beberapa dakade terakhir, menjadi salah satu
kawasan paling rawan terjadi berbagai kasus kejahatan, bukan hanya
pada kegiatan "illegal logging", penyelundupan dan pencurian ikan namun
peredaran senjata api dan Narkoba, termasuk ancaman bagi teritorial RI.
Silih berganti pemerintahan serta berbagai upaya telah dilakukan dalam
menekan berbagai tindak kejahatan di kawasan perbatasan namun tampaknya
berbagai program dan strategi tersebut belum mampu mengatasi berbagai
kerawanan kawasan perbatasan.
Alasan klasiknya, yakni
pengamanan terbentur dengan wilayah Kalimantan Timur yang terlalu luas
(1,5 kali Pulau Jawa dan Pulau Madura) yang dibarengi dengan kelemahan
berbagai prasarana dan sarana perhubungan dan telekomunikasi.
Akhirnya, secercah harapan menyinari kawasan perbatasan, saat Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 November 2012 telah menandatangani UU
No. 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara
(sebelumnya masuk dalam wilayah administratif Kalimantan Timur).
Sebelum disahkan Presiden, RUU pembentukan Provinsi Kalimantan Utara
telah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR pada 25 Oktober 2012 untuk
disahkan menjadi Undang-Undang (UU).
Pertanyaannya,
benarkan melalui sebuah otonomi daerah--lahirnya Provinsi Kalimantan
Utara-- pengelolaan lingkungan hidup akan bisa lebih baik sehingga
memberi asa terhadap kelestarian Gajah Borneo.
Optimistis
"Sekarang ini memang belum terasa dampaknya karena Provinsi Kaltara
meskipun sudah disahkan akan tetapi belum efektif dalam menjalankan
sebuah pemerintahan karena belum memiliki kepala daerah (gubernur) dan
dewan yang definitif," kata pengamat perbatasan di Kalimantan Timur,
Prof Sarosa Hamongpranoto, SH, M.Hum.
Kalimantan Utara
yang merupakan anak bungsu Ibu Pertiwi atau provinsi ke-34 saat ini
masih dipimpin oleh Pj (pejabat gubernur) yang saat ini diamanahkan
kepada Irianto Lambrie, dan baru melaksanakan Pemilu kepala daerah pada
awal 2015.
Sarosa menilai bahwa jika pemerintahan daerah
sudah berjalan efektif serta berbagai lembaga/organisasi/instansi
setingkat provinsi sudah terbentuk maka ia optimistis pengawasan dan
pengamanan wilayah perbatasan di Kalimantan Utara akan berjalan baik.
Selama ini, ujarnya, hambatan mengamankan wilayah perbatasan karena
terbentur luas wilayah dibarengi dengan berbagai keterbatasan prasarana
dan sarana perhubungan dan komunikasi namun dengan adanya pemekaran
wilayah maka persoalan itu bisa diatasi, mengingat otonomi daerah
hakikatnya mendekatkan pelayanan birokrasi dan pembangunan.
Hal terpenting lainnya, ujar Sarosa adalah Pemerintah Pusat atau
Pemprov Kalimantan Utara bekerja sama dengan Pemkab Malinau dan Pemkab
Nunukan (dua daerah yang berbatasan darat dan laut dengan Malaysia
Timur, Sabah dan Serawak) mampu membuah sebuah rencana besar dalam
mengamankan potensi alamnya baik dari berbagai tindak kejahatan yang
merusak lingkungan, maupun ancaman yang bisa merugikan Indonesia terkait
batas wilayah/teritorial.
Pengalaman selama ini,
jika terjadi persoalan di wilayah perbatasan adalah saling tuding dan
lempar tanggung jawab antara perintah pusat dan daerah.
Ia juga berharap agar kelestarian sejumlah konservasi alam di kawasan
perbatasan fungsinya terus dipelihara, misalnya Taman Nasional Kayan
Mentarang, dan sejumlah hutan lindung di Malinau dan Nunukan, termasuk
Hutan Lindung Sembakung dengan benar-benar menerapkan pembangunan
berwawasan lingkungan.
Belajar dari kesalahan
Provinsi Kalimantan Timur, tampaknya pemerintah daerah di Kalimantan
Utara nantinya jika akan memberikan ijin lokasi maka benar-benar pada
lahan-lahan kritis bukan kawasan "berhutan".
Tidak
kalah pentingnya, Sarosa menilai bahwa penyelamatan lingkungan tampaknya
akan bisa berhasil jika ada komitmen terus menerus dari para pemangku
kebijakan dengan dikawal oleh semua pihak, termasuk media massa.
Satwa Endemik
Upaya
penyelamatan lingkungan di Kalimantan Utara tampaknya kian strategis
karena tuntasnya perdebatan mengenai asal usul Gajah Borneo yang
ditemukan mengembara di rimba wilayah Sabah, Serawak dan Kalimantan
Utara itu.
Puluhan tahun, keberadaan gajah pemalu dan
berukuran kecil tersebut diperdebatkan, ada yang mengatakan bahwa satwa
langka itu adalah keturunan gajah milik Sultan Sulu.
Konon, British East India Trading Company (Kongsi perdagangan Inggris
di Hindia Timur) menghadiahi gajah-gajah itu kepada Sultan Sulu pada
1750. Gajah itu kemudian dilepaskan ke belantara sehingga menjadi liar.
Ada pula yang menganggap bahwa gajah itu dibawa dari Thailand oleh
juragan kayu, guna menarik kayu-kayu gelondongan pada awal era industri
perkayuan di Kalimantan.
Pendapat lain adalah menyakini bahwa gajah tersebut adalah endemik Kalimantan.
Berbagai spekulasi tersebut akhirnya berakhir, saat WWF¿s (World Wide
Fund for Nature) Asian Rhino and Elephant Action Plan Strategy serta
peneliti dari Universitas Columbia belum lama ini melalui tes DNA
Mitokondria membuktikan bahwa gajah pemalu, berukuran kecil serta
berbulu lebih panjang ketimbang saudaranya di Sumatera, India, Thailand
dan Afrika itu ternyata satwa asli Borneo.
Bahkan,
peneliti Universitas Mulawarman yang menguji DNA Gajah Borneo di balai
Riset USA mendapatkan bentuk dan sifat genetik berbeda dari gajah Asia
dan Afrika sehingga satwa langka ini sudah mengembara di rimba Borneo
pada 30.000 tahun lalu.
Survei WWF Wilayah Kaltim
2007 memperkirakan populasi Gajah Kalimantan antara 30 sampai 80 ekor
di utara Kalimantan.
Masa depan kelestarian gajah
mini tersebut tampaknya kini berada di pundak Pemprov (definitif)
Kalimantan Utara serta Pemkab Malinau dan Pemkab Nunukan dalam menjaga
kelestarian alam, dari hutan hujan tropis dataran tinggi di Taman
Nasional Kayan Mentarang sampai "tropical rainforest" dataran rendah di
hutan lindung Sembakung.
Keberhasilan menyelamatkan
Gajah Mini Borneo yang merupakan subspesies dari gajah Asia dan hanya
dapat ditemui di Kalimantan Utara itu bukan tidak mungkin menjadi
"percontohan", mengingat WWF belum lama ini menemukan jejak badak
sumatera di Kutai Barat, Kaltim, padahal satwa langka itu sudah puluhan
tahun dianggap punah dari Bumi Kalimantan.