Terobos Keterisoliran, Gubernur Gagas Beli N-219

id ,

Terobos Keterisoliran, Gubernur Gagas Beli N-219

SAKSI SEJARAH : Gubernur Kaltara Dr H Irianto Lambrie (ketiga dari kiri) menjadi satu-satunya kepala daerah yang menyaksikan Uji Terbang Bandung-Jakarta, sekaligus peresmian dan Pemberian Nama Pesawat Transport Nasional N-219 oleh Presiden RI Joko Wi

Jakarta (Antara News Kaltara) - Dengan niatan besar membantu percepatan mengatasi masalah keterisoliran wilayah perbatasan dan pedalaman di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), Gubernur Kaltara Dr H Irianto Lambrie mencetuskan sebuah gagasan orisinil untuk membeli pesawat produksi anak bangsa, N-219 yang dirancang dan dirakit oleh PT Dirgantara Indonesia (DI) bekerjasama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Gubernur menargetkan, minimal 1 unit pesawat multi fungsi bermesin dua yang memang dirancang PT DI-LAPAN untuk beroperasi di daerah terpencil itu, sudah menjelajahi perbatasan dan pedalaman Kaltara pada 2019. Demikian diungkapkan Irianto, usai menghadiri Uji Terbang Bandung-Jakarta, sekaligus peresmian dan Pemberian Nama Pesawat Transport Nasional N-219 oleh Presiden RI Joko Widodo di Base Ops, Bandar Udara (Bandara) Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (10/11).

Untuk diketahui, Gubernur menjadi satu-satunya kepala daerah yeng berkesempatan menjadi saksi sejarah peluncuran pesawat yang merupakan murni karya anak bangsa itu.

Dikatakan Irianto, ada tiga alasan mendasar yang mendorong dirinya menggagas pembelian pesawat N219 itu. Alasan pertama, wilayah di Kaltara, banyak yang terisolir dari segi transportasi. Dan, rata-rata hanya dapat dijangkau menggunakan transportasi udara. "Kaltara ini, provinsi dengan perbatasan darat cukup panjang, sekitar 1.098 kilometer. Untuk bisa menjangkau wilayah itu dengan cepat, hanya dapat dilakukan lewat pesawat," kata Gubernur.

Alasan kedua, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara berkewajiban untuk membantu seluruh masyarakatnya. Terutama, masyarakat di wilayah pedalaman dan perbatasan, yang selama ini disubsidi penggunaan transportasi udaranya. Baik, berbentuk Subsidi Ongkos Angkut (SOA) Orang maupun SOA Barang. "Kaltara sangat fokus untuk membantu masyarakat yang mengalami kesulitan atau sakit di wilayah perbatasan dan pedalaman. Ditambah lagi, saya selaku Gubernur, memang sejak lama memiliki rencana dan wacana untuk penyediaan ambulans udara," jelasnya.

Alasan ketiga, Irianto ingin menunjukkan kepada negara tetangga Indonesia di wilayah Kaltara, khususnya Malaysia bahwa putra-putri Indonesia adalah bangsa berdaulat yang mampu merancang dan membangun sebuah teknologi penerbangan yang berkualitas. "Tak semua bangsa di dunia ini, memiliki kapasitas untuk membangun atau membuat pesawat. Paling tidak, dari negara tetangga kita di level ASEAN, belum ada yang bisa membuat pesawat sebaik ini," urai Irianto.

Sebagai informasi, burung besi N-219 yang dinamai Nurtanio oleh Presiden ini, terbuat dari logam dan dirancang untuk mengangkut penumpang maupun kargo. Pesawat yang dibuat dengan memenuhi persyaratan FAR 23 ini, dirancang memiliki volume kabin terbesar di kelasnya dan pintu fleksibel yang memastikan bahwa pesawat ini bisa dipakai untuk mengangkut penumpang dan kargo. Pesawat N-219 merupakan pengembangan dari NC-212 yang telah diproduksi oleh PT DI dibawah lisensi CASA.

Pesawat ini memiliki kecepatan jelajah maksimum, sekitar 395 kilometer per jam, dengan kecepatan jelajah ekonomis sekitar 352 kilometer per jam. Untuk lepas landas, pesawat yang mampu menampung muatan hingga 2.500 kilogram ini, hanya membutuhkan landasan sepanjang 465 meter. Kapasitas penumpang N-219 sekitar 19 orang. Biaya operasionalnya pun ditaksir lebih rendah, dari pesawat sekelasnya.

SPESIFIKASI TEKNIS DAN FINANSIAL N-219 'NURTANIO'

TEKNIS OPERASIONAL :

  1. Pesawat N-219 ditenagai sepasang engine Pratt and Whitney PT6A-52 dengan kemampuan 850 shp dan daya jelajahnya 1580 NM dengan kecepatan maksimum 213 knot.
  2. Pesawat N-219 memiliki kapasitas penumpang 19 orang dengan dua mesin turboprop.
  3. Kecepatan jelajah ekonomis sekitar 352 kilometer per jam.
  4. Untuk lepas landas, pesawat yang mampu menampung muatan hingga 2.500 kilogram ini, hanya membutuhkan landasan sepanjang 465 meter.
  5. Dirancang untuk menjelajah wilayah perintis. Bisa menjadi transportasi udara antar pulau karena memiliki kemampuan short take off atau landing dan mudah dioperasikan di daerah terpencil.
  6. Dapat self starting tanpa bantuan ground support unit.
  7. Menggunakan common technology sehingga harga pesawat bisa lebih murah dengan biaya operasi dan pemeliharaan yang rendah.
  8. Menggunakan teknologi avionik canggih yakni Garmin G-1000 dengan Flight Management System. Di dalamnya terdapat Global Positioning System (GPS), sistem Autopilot dan Terrain Awareness and Warning System.
  9. Memiliki kabin terluas di kelasnya dan serbaguna untuk berbagai macam kebutuhan seperti pengangkut barang, evakuasi medis, penumpang bahkan pengangkut pasukan.
  10. Kecepatan maksimum mencapai 210 knot, dan kecepatan terendah mencapai 59 knot. Artinya, kecepatan cukup rendah namun pesawat masih bisa terkontrol, ini penting terutama saat memasuki wilayah yang bertebing-tebing.
  11. Terpasang nose landing gear dan main landing gear tetap atau tidak dapat dimasukan ke dalam pesawat saat terbang sehingga akan memudahkan pesawat melakukan pendaratan di landasan yang tidak beraspal bahkan berbatu.
  12. Dilengkapi Multihop Capability Fuel Tank, teknologi yang memungkinkan pesawat tidak perlu mengisi ulang bahan bakar untuk melanjutkan penerbangan ke rute berikutnya.
ESTIMASI FINANSIAL OPERASIONAL

  1. Harga jual (sebelum pajak) sekitar USD 6 juta atau setara Rp 80 miliar.
  2. Efektivitas lama terbang sekitar 2 jam.
  3. Biaya operasional penerbangan total Rp 30 juta per jam, dengan taksiran operasional pilot Rp 7 juta per jam, dan sisanya operasional kru darat dan udara termasuk maintenance.
  4. Dari sisi bisnis, dengan biaya carter pesawat eksisting Rp 60 juta per jam maka ada surplus pengeluaran bila menggunakan pesawat N-219 sekitar Rp 30 juta per jam.


SUMBER : DIOLAH DARI BERBAGAI REFERENSI, 2017