Akademisi Ingatkan Bawaslu Tarakan Soal PSU yang Rawan Mobilisasi

id Pemilu

Akademisi Ingatkan Bawaslu Tarakan Soal PSU yang Rawan Mobilisasi

Dekan Fakultas Hukum, Universitas Borneo Tarakan (UBT) Yahya Ahmad Zein. (ANTARA/Susylo Asmalyah).

Tarakan (ANTARA) - Dekan Fakultas Hukum, Universitas Borneo Tarakan (UBT)Yahya Ahmad Zeinmengingatkan akan sejumlah kerawanan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang diusulkan oleh Bawaslu Tarakan untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU).

"Dalam sistem pemilu Indonesia memang dimungkinkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang. Kendati begitu, menurutnya, perlu dipahami beberapa syarat untuk dilakukan PSU sesuai pasal 372, UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu," kata Yahya di Tarakan, Selasa.

Pada pasal 372 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu itu memang ada satu tahapan bisa dilakukan pemungutan suara ulang ada beberapa syarat.

Misalnya bencana alam, atau kerusuhan yang memang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak bisa digunakan atau perhitungan suara tidak dapat dilakukan.

Yahya mencontohkan, sejumlah syarat dan faktor penyebab dilakukan pemungutan suara ulang, diantaranya, pertama, pelaksanaan pemungutan dan perhitungan suara yang tidak sesuai ketentuan.

"Pemungutan suara di TPS wajib diulang kalau hasil pengawasan TPS terbukti ada beberapa hal, misalnya karena adanya pembukaan kotak suara dan perhitungan suara itu tidak dilakukan menurut cara sebagaimana yang ditetapkan. Kalau caranya nggak pas maka itu bisa jadi salah satu syarat," kata Yahya.

Kedua, surat suara pemilih dirusak oleh petugas KPPS sehingga surat suara menjadi tidak sah.

"Atau petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga akhirnya surat suara itu gak sah. Jadi kalau misalnya ada perusakan terkait dengan surat suara," katanya.

Selain itu, terkait dengan pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar dalam DPT atau DPTB, namun mendapatkan hak pilih, juga bisa menjadi sebab dilakukan PSU.

"Selain itu, di pasal 373 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu ada beberapa faktor yang menjadi penyebab pemungutan suara ulang. Jadi faktornya itu, satu, pemungutan suara ulang itu diusulkan oleh KPPS dengan menyebutkan keadaan tertentu yang menyebabkan perlu-nya dilakukan PSU," imbuhnya.

Tak kalah penting, Yahya mengatakan sesuai ketentuan aturan pemungutan suara ulang dilakukan paling lama 10 hari setelah pemungutan suara. Ia pun mengingatkan jika pelaksanaan PSU hanya boleh dilakukan satu kali.

"Jadi kalau kita pemungutan tanggal 14 tambah 10 hari, berarti paling lama tanggal 24. Artinya PSU tidak apa melakukan lagi pemungutan suara ulang. Nah itu tidak boleh. Hanya satu kali saja," kata Yahya.

Karena itu, Yahya berpesan kepada Bawaslu bahwa ketika sudah memutuskan rekomendasi untuk dilakukan PSU, maka Bawaslu harus mengawasi proses pemungutan suara ulang secara ketat.

"Jadi jangan sampai PSU itu justru menjadi ruang-ruang baru bagi para yang berkompetisi ini untuk melanggar undang-undang. Itu saya kira yang paling penting. Jadi Bawaslu harus komitmen dan konsekuen untuk betul-betul melakukan pengawasan yang ekstra ketat dibanding yang sebelumnya," katanya.

Menurutnya, pengawasan pelaksanaan pemungutan suara ulang secara ketat wajib dilakukan sebab rawan terjadi mobilisasi pemilih. Sebab, momentum pelaksanaan PSU bisa menjadi kesempatan bagi para kandidat untuk mengejar ketertinggalan suara.
Baca juga: Bendahara gunakan uang honor KPPS di Kalsel untuk judi online
Baca juga: Gubernur Kaltara puji pelayanan petugas TPS