Tanjung Selor (ANTARA) - Setiap tahun, umat Islam diwajibkan selain berpuasa saat Ramadhan, juga berzakat pada akhir bulan suci itu dan awal Syawal.
Meski ibadah wajib dan rutin setiap tahun namun selalu sering timbul sejumlah pertanyaan terkait zakat ini.
Selain karena ketidaktahuan tentang syariat agama (fiqih), juga akibat perubahan atau adaptasi prilaku sosial dengan alasan kesehatan sebagai dampak dari pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung hampir dua tahun terakhir.
Beberapa pertanyaan itu, antara lain apakah sah Zakat Fitrah tanpa ijab kabul karena prokes menjaga jarak serta kontak langsung ?
Kemudian beberapa pertanyaan klasik, misalnya diterimakah jika berzakat tanpa shalat atau berpuasa ?
Termasuk pertanyaan tentang keutamaan memberikan langsung zakat kepada Mustahik (penerima wajib zakat) ataukah melalui amil ?
Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Zakat diwajibkan atas setiap orang Islam yang telah memenuhi syarat.
Zakat selain melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’Ala, tujuan pensyariatan zakat ialah untuk tujuan sosial.
Zakat Fitrah wajib atas seseorang Muslim bagi dirinya maupun keluarga tanggungannya.
Zakat Fitrah dikeluarkan dengan ketentuan mempunyai sesuatu makanan yang lebih daripada keperluan diri sendiri dan keperluan orang yang ditanggung, yakni nafkahnya untuk satu hari siang dan malam di Hari Raya pada akhir Ramadhan dan awal Syawal.
Pertanyaan apakah diterima amal zakat tetapi boleh meninggalkan shalat atau berpuasa? dijawab Kepala Kementerian Agama Kalimantan Utara H. Suriansyah, S.Ag, M.Pd dengan mengutip hadits.
Menurutnya, shalat, puasa dan zakat merupakan kewajiban yang sama-sama harus dikerjakan oleh seorang Muslim sebagaimana Sabda Rasulullah: “Islam itu ditegakkan atas lima sendi, pertama bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, kedua mengerjakan shalat, ketiga membayar zakat, keempat berpuasa pada bulan Ramadhan, dan kelima mengerjakan haji, (HR.Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar).
Puasa yang diwajibkan adalah puasa pada bulan Ramadhan, sedangkan zakat wajib dikeluarkan setiap Muslim yang merdeka yang memiliki satu nisab (standar penghitungan) dan juga haul (batas waktu yang ditentukan) dari salah satu jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Selain Zakat Mal (harta, 2,5 persen X jumlah harta yang tersimpan selama 1 tahun), seorang Muslim berkewajiban membayar zakat fitrah disebabkan karena berbuka dari puasa Ramadhan.
Hitungannya baik kecil ataupun dewasa, merdeka atau hamba, laki-laki maupun wanita, yang memiliki kelebihan makanan selama satu hari satu malam sebanyak satu Sha’ atau 4 Mud (kurang lebih 3 1/3 liter) dari makanan yang mengenyangkan.
Sebagaimana sabda Baginda Rasul;
“dari ibnu Umar katanya, Rasulullah Shalaluhu Alaihi Wassalam mewajibkan zakat fitrah (berbuka) bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ tamr atau gandum atas tiap-tiap orang muslim merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan (HR Bukhori Muslim).
Allah Subhanahu wa Ta’Ala berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 110: "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan".
Baca juga: Gubernur NTB ajak warga perbanyak berzakat
Baca juga: Penerimaan zakat Ramadhan di Tarakan-Kaltara ditargetkan Rp2,5 miliar
Keutamaan amil zakat
Pertanyaan lain yang sering ditanyakan, Kata Kepala Kemenag Kaltara Suriansyah, yakni manakah lebih utama membayar zakat fitrah langsung kepada mustahik ataukah melalui amil?
Menjawab hal itu Suriansyah menjelaskan dasar hukumnya, yakni Surah At-Taubah ayat 103,
Allah Subhanahu wa Ta’Ala berfirman: “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Dalam beberapa hadits diungkapkan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam selalu mengutus petugas pengambil zakat (amil zakat) untuk mengambil zakat dari kaum aghniya (orang kaya yang wajib berzakat) untuk kemudian disalurkan kepada mustahiknya.
Atas hal itu dibentuklah Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) sebagai lembaga non pemerintah yang di dalamnya terdapat amil amil terpilih yang diharapkan tidak saja melakukan pengambilan atau jemput zakat.
Tetapi lebih dari itu, yaitu melakukan pengelolaan harta zakat supaya lebih berdaya guna dan mendistribusikannya secara syar'i.
Ada sebagian orang bertanya-tanya, mengapa kita harus membayar zakat di lembaga? Padahal kan, bisa langsung diberikan kepada orang yang dianggap sebagai mustahik.
Ia menanggapi ada empat alasan mengapa perlu berzakat melalui lembaga, pertama
lebih dekat dengan sejarah Islam.
Pengelolaan zakat secara kolektif melalui lembaga merupakan alternatif yang lebih dekat dengan sistem pengelolaan zakat di masa pemerintahan Islam. Sebab jika dilihat dari sejarahnya, zakat dikelola langsung secara kolektif oleh lembaga pemerintah yang bernama Baitul Maal.
Kedua, praktis dan memudahkan
sistem kelembagaan. Lebih praktis dan memudahkan serta lebih terjamin tepat sasaran dalam pengalokasian dana zakatnya dibandingkan jika disalurkan sendiri.
Ketiga, syiar keteladanan bagi mereka yang belum berzakat. Sistem kelembagaan menjadikan kewajiban berzakat sebagai syiar yang akan meningkatkan semangat berzakat dan memberikan keteladanan bagi mereka yang belum menyadari kewajiban membayar zakat diantara kaum Muslimin.
Keempat, dana yang terhimpun bisa dialokasikan secara proporsional.
Sistem kelembagaan kolektif lebih efektif untuk menjadikan zakat sebagai basis ekonomi umat, karena dana bisa terhimpun dalam jumlah besar dan dialokasikan secara proporsional. Hal tersebut tidak terjadi jika zakat disalurkan secara perorangan.
Diakuinya ada yang bersikeras berpendapat bahwa zakat boleh disalurkan langsung kepada mustahik.
Itu bisa dilakukan, namun sebaiknya tetap mempertimbangkan hal ini, yakni jika syaratnya jika amil tidak ada di daerah itu.
Bisa juga amil zakat sebenarnya ada tetapi telah terbukti tidak amanah, jadi bukan sekedar prasangka - prasangka.
Jadi, sunnahnya zakat bukan memberi langsung kepada mustahiknya namun melalui amil, dalam hal ini adalah Baznas di tingkat kecamatan hingga di tingkat nasional.
Baca juga: Abhan: MoU Bawaslu dan Baznas cegah zakat untuk politik praktis
Baca juga: Baznas gandeng BNI untuk kemudahan bayar zakat
Zakat dan pandemi
Pertanyaan yang sering timbul di era pandemi COVID-19 adalah apakah sah zakat Ramadhan tanpa ijab kabul (bersalaman).
"Zakat itu yang terpenting niat ikhlas. Ijab kabul di dalam penyerahan harta zakat sesungguhnya bukan hal yang mutlak. Jadi zakatnya tetap sah tanpa ijab kabul," kata Kepala Kementerian Agama Kabupaten Bulungan Hamzah S. Ag.
Bersalaman itu tak wajib, tegasnya, sementara menghindari diri dari wabah penyakit berbahaya wajib.
Jika ada hal berbenturan, misalnya akibat persoalan pandemi COVID-19, maka diutamakan yang wajib ketimbang sunnah.
"Memang banyak masyarakat bingung bagaimana cara menyerahkan zakat Ramadhan apakah harus ijab kabul," katanya.
Datu M ILiyas, SE, Penyelenggara Zakat Wakaf Kemenag Bulungan juga mengatakan dengan tidak mutlak ijab kabul maka membayar zakat secara daring adalah hal yang sangat dianjurkan masa pandemi COVID-19 dan itu sah.
Khususnya dalam mendukung maklumat untuk berdiam di rumah.
Para ulama fiqih menegaskan sah atau tidaknya zakat semuanya tergantung niatnya.
Jadi orang yang membayarkan zakatnya harus dengan niat ikhlas Llillahi Ta’Ala, artinya zakat itu karena perintah Allah.
Adapun pelaksanaan niat itu ialah pada waktu melaksanakan zakat apakah hamba Allah Subhanahu wa Ta’Alla, memberikannya langsung kepada "mustahik" atau melalui lembaga zakat.
Namun, ia mengutarakan jika ada muzakki (masyarakat pembayar zakat, infaq dan sadakah) ingin memberikan secara langsung melalui lembaga amil zakat, dan ingin tetap ada ijab kabul, tentu harus sesuai protokol keselamatan COVID-19.
Syarat yang harus dilengkapi baik petugas dan muzakki wajib bermasker dan bersarung tangan.
Kepala Kementerian Agama Kalimantan Utara H. Suriansyah, S.Ag, M.Pd mengatakan selain ijab kabul maka jabat tangan sebagai bentuk silaturahim harus dihindari.
Ia menjelaskan pada dasarnya jabat tangan merupakan bentuk kebaikan. Hanya saja, saat ini jabat tangan ternyata menjadi salah satu perantara penularasan virus corona.
"Oleh karena itu, jabat tangan sebaiknya dihindari. Sebab, dalam ajaran agama Islam menjauhi penyebab keburukan lebih baik dibanding yang mendatangkan kemanfaatan," katanya.
"Menjawab salam hukumnya wajib, berjabat tangan adalah tambahan kebaikan. Namun dalam situasi seperti ini ternyata berjabatan tangan bisa menjadi jalan penularan. Maka tidak berjabatan tangan adalah tambahan kebaikan karena dalam Islam menjauhi penyebab keburukan lebih diutamakan daripada yang mendatangkan kemanfaatan," imbuhnya.
Umat Islam bisa mengucap salam tanpa berjabat tangan. Sebab, salam adalah sunnah dari Nabi Muhammad yang memiliki arti doa keselamatan bagi yang mengucapkan dan yang membalasnya.
"Mengucapkan salam adalah sunnah, kebaikan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shalalahu Alaihi Wassalam. Ucapan Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatu adalah doa agar diberikan keselamatan, curahan rahmat, kasih sayang Allah dan diberikan kebaikan yang banyak melimpah, yaitu keberkahan," katanya.
Sehingga pandemi bukan halangan untuk berbuat baik, termasuk menjalin silaturahim dan kewajiban zakat, justru di masa-masa sulit akibat COVID-19, keperdulian sosial umat kian diasah untuk saling berbagi serta meringankan penderitaan orang lain yang berkesusahan.
Seperti sering disampaikan para ustadz dalam kultum di malam Ramadhan, semoga dengan zakat akan meningkatkan ketaqwaan dari seorang mukmin menjadi tahap muksin, yakni bukan sekedar mengamalkan ibadah tapi menerapkannya dalam kehidupan sosial untuk menjadi orang baik.
Dari muksin diharapkan naik menjadi muklis (ikhlas atau berbuat sesuatu karena Lillahi Ta'ala) hingga akhirnya dengan sampai tahap muttaqin (bertaqwa atau takut), yakni orang melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’Alla secara paripurna.*
Baca juga: Bupati Bogor ingatkan Baznas soal penggunaan dana zakat
Baca juga: KH Anwar: Zakat fitrah mengajarkan untuk berbagi dan mensucikan diri
Meski ibadah wajib dan rutin setiap tahun namun selalu sering timbul sejumlah pertanyaan terkait zakat ini.
Selain karena ketidaktahuan tentang syariat agama (fiqih), juga akibat perubahan atau adaptasi prilaku sosial dengan alasan kesehatan sebagai dampak dari pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung hampir dua tahun terakhir.
Beberapa pertanyaan itu, antara lain apakah sah Zakat Fitrah tanpa ijab kabul karena prokes menjaga jarak serta kontak langsung ?
Kemudian beberapa pertanyaan klasik, misalnya diterimakah jika berzakat tanpa shalat atau berpuasa ?
Termasuk pertanyaan tentang keutamaan memberikan langsung zakat kepada Mustahik (penerima wajib zakat) ataukah melalui amil ?
Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Zakat diwajibkan atas setiap orang Islam yang telah memenuhi syarat.
Zakat selain melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’Ala, tujuan pensyariatan zakat ialah untuk tujuan sosial.
Zakat Fitrah wajib atas seseorang Muslim bagi dirinya maupun keluarga tanggungannya.
Zakat Fitrah dikeluarkan dengan ketentuan mempunyai sesuatu makanan yang lebih daripada keperluan diri sendiri dan keperluan orang yang ditanggung, yakni nafkahnya untuk satu hari siang dan malam di Hari Raya pada akhir Ramadhan dan awal Syawal.
Pertanyaan apakah diterima amal zakat tetapi boleh meninggalkan shalat atau berpuasa? dijawab Kepala Kementerian Agama Kalimantan Utara H. Suriansyah, S.Ag, M.Pd dengan mengutip hadits.
Menurutnya, shalat, puasa dan zakat merupakan kewajiban yang sama-sama harus dikerjakan oleh seorang Muslim sebagaimana Sabda Rasulullah: “Islam itu ditegakkan atas lima sendi, pertama bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, kedua mengerjakan shalat, ketiga membayar zakat, keempat berpuasa pada bulan Ramadhan, dan kelima mengerjakan haji, (HR.Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar).
Puasa yang diwajibkan adalah puasa pada bulan Ramadhan, sedangkan zakat wajib dikeluarkan setiap Muslim yang merdeka yang memiliki satu nisab (standar penghitungan) dan juga haul (batas waktu yang ditentukan) dari salah satu jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Selain Zakat Mal (harta, 2,5 persen X jumlah harta yang tersimpan selama 1 tahun), seorang Muslim berkewajiban membayar zakat fitrah disebabkan karena berbuka dari puasa Ramadhan.
Hitungannya baik kecil ataupun dewasa, merdeka atau hamba, laki-laki maupun wanita, yang memiliki kelebihan makanan selama satu hari satu malam sebanyak satu Sha’ atau 4 Mud (kurang lebih 3 1/3 liter) dari makanan yang mengenyangkan.
Sebagaimana sabda Baginda Rasul;
“dari ibnu Umar katanya, Rasulullah Shalaluhu Alaihi Wassalam mewajibkan zakat fitrah (berbuka) bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ tamr atau gandum atas tiap-tiap orang muslim merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan (HR Bukhori Muslim).
Allah Subhanahu wa Ta’Ala berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 110: "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan".
Baca juga: Gubernur NTB ajak warga perbanyak berzakat
Baca juga: Penerimaan zakat Ramadhan di Tarakan-Kaltara ditargetkan Rp2,5 miliar
Keutamaan amil zakat
Pertanyaan lain yang sering ditanyakan, Kata Kepala Kemenag Kaltara Suriansyah, yakni manakah lebih utama membayar zakat fitrah langsung kepada mustahik ataukah melalui amil?
Menjawab hal itu Suriansyah menjelaskan dasar hukumnya, yakni Surah At-Taubah ayat 103,
Allah Subhanahu wa Ta’Ala berfirman: “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Dalam beberapa hadits diungkapkan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam selalu mengutus petugas pengambil zakat (amil zakat) untuk mengambil zakat dari kaum aghniya (orang kaya yang wajib berzakat) untuk kemudian disalurkan kepada mustahiknya.
Atas hal itu dibentuklah Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) sebagai lembaga non pemerintah yang di dalamnya terdapat amil amil terpilih yang diharapkan tidak saja melakukan pengambilan atau jemput zakat.
Tetapi lebih dari itu, yaitu melakukan pengelolaan harta zakat supaya lebih berdaya guna dan mendistribusikannya secara syar'i.
Ada sebagian orang bertanya-tanya, mengapa kita harus membayar zakat di lembaga? Padahal kan, bisa langsung diberikan kepada orang yang dianggap sebagai mustahik.
Ia menanggapi ada empat alasan mengapa perlu berzakat melalui lembaga, pertama
lebih dekat dengan sejarah Islam.
Pengelolaan zakat secara kolektif melalui lembaga merupakan alternatif yang lebih dekat dengan sistem pengelolaan zakat di masa pemerintahan Islam. Sebab jika dilihat dari sejarahnya, zakat dikelola langsung secara kolektif oleh lembaga pemerintah yang bernama Baitul Maal.
Kedua, praktis dan memudahkan
sistem kelembagaan. Lebih praktis dan memudahkan serta lebih terjamin tepat sasaran dalam pengalokasian dana zakatnya dibandingkan jika disalurkan sendiri.
Ketiga, syiar keteladanan bagi mereka yang belum berzakat. Sistem kelembagaan menjadikan kewajiban berzakat sebagai syiar yang akan meningkatkan semangat berzakat dan memberikan keteladanan bagi mereka yang belum menyadari kewajiban membayar zakat diantara kaum Muslimin.
Keempat, dana yang terhimpun bisa dialokasikan secara proporsional.
Sistem kelembagaan kolektif lebih efektif untuk menjadikan zakat sebagai basis ekonomi umat, karena dana bisa terhimpun dalam jumlah besar dan dialokasikan secara proporsional. Hal tersebut tidak terjadi jika zakat disalurkan secara perorangan.
Diakuinya ada yang bersikeras berpendapat bahwa zakat boleh disalurkan langsung kepada mustahik.
Itu bisa dilakukan, namun sebaiknya tetap mempertimbangkan hal ini, yakni jika syaratnya jika amil tidak ada di daerah itu.
Bisa juga amil zakat sebenarnya ada tetapi telah terbukti tidak amanah, jadi bukan sekedar prasangka - prasangka.
Jadi, sunnahnya zakat bukan memberi langsung kepada mustahiknya namun melalui amil, dalam hal ini adalah Baznas di tingkat kecamatan hingga di tingkat nasional.
Baca juga: Abhan: MoU Bawaslu dan Baznas cegah zakat untuk politik praktis
Baca juga: Baznas gandeng BNI untuk kemudahan bayar zakat
Zakat dan pandemi
Pertanyaan yang sering timbul di era pandemi COVID-19 adalah apakah sah zakat Ramadhan tanpa ijab kabul (bersalaman).
"Zakat itu yang terpenting niat ikhlas. Ijab kabul di dalam penyerahan harta zakat sesungguhnya bukan hal yang mutlak. Jadi zakatnya tetap sah tanpa ijab kabul," kata Kepala Kementerian Agama Kabupaten Bulungan Hamzah S. Ag.
Bersalaman itu tak wajib, tegasnya, sementara menghindari diri dari wabah penyakit berbahaya wajib.
Jika ada hal berbenturan, misalnya akibat persoalan pandemi COVID-19, maka diutamakan yang wajib ketimbang sunnah.
"Memang banyak masyarakat bingung bagaimana cara menyerahkan zakat Ramadhan apakah harus ijab kabul," katanya.
Datu M ILiyas, SE, Penyelenggara Zakat Wakaf Kemenag Bulungan juga mengatakan dengan tidak mutlak ijab kabul maka membayar zakat secara daring adalah hal yang sangat dianjurkan masa pandemi COVID-19 dan itu sah.
Khususnya dalam mendukung maklumat untuk berdiam di rumah.
Para ulama fiqih menegaskan sah atau tidaknya zakat semuanya tergantung niatnya.
Jadi orang yang membayarkan zakatnya harus dengan niat ikhlas Llillahi Ta’Ala, artinya zakat itu karena perintah Allah.
Adapun pelaksanaan niat itu ialah pada waktu melaksanakan zakat apakah hamba Allah Subhanahu wa Ta’Alla, memberikannya langsung kepada "mustahik" atau melalui lembaga zakat.
Namun, ia mengutarakan jika ada muzakki (masyarakat pembayar zakat, infaq dan sadakah) ingin memberikan secara langsung melalui lembaga amil zakat, dan ingin tetap ada ijab kabul, tentu harus sesuai protokol keselamatan COVID-19.
Syarat yang harus dilengkapi baik petugas dan muzakki wajib bermasker dan bersarung tangan.
Kepala Kementerian Agama Kalimantan Utara H. Suriansyah, S.Ag, M.Pd mengatakan selain ijab kabul maka jabat tangan sebagai bentuk silaturahim harus dihindari.
Ia menjelaskan pada dasarnya jabat tangan merupakan bentuk kebaikan. Hanya saja, saat ini jabat tangan ternyata menjadi salah satu perantara penularasan virus corona.
"Oleh karena itu, jabat tangan sebaiknya dihindari. Sebab, dalam ajaran agama Islam menjauhi penyebab keburukan lebih baik dibanding yang mendatangkan kemanfaatan," katanya.
"Menjawab salam hukumnya wajib, berjabat tangan adalah tambahan kebaikan. Namun dalam situasi seperti ini ternyata berjabatan tangan bisa menjadi jalan penularan. Maka tidak berjabatan tangan adalah tambahan kebaikan karena dalam Islam menjauhi penyebab keburukan lebih diutamakan daripada yang mendatangkan kemanfaatan," imbuhnya.
Umat Islam bisa mengucap salam tanpa berjabat tangan. Sebab, salam adalah sunnah dari Nabi Muhammad yang memiliki arti doa keselamatan bagi yang mengucapkan dan yang membalasnya.
"Mengucapkan salam adalah sunnah, kebaikan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shalalahu Alaihi Wassalam. Ucapan Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatu adalah doa agar diberikan keselamatan, curahan rahmat, kasih sayang Allah dan diberikan kebaikan yang banyak melimpah, yaitu keberkahan," katanya.
Sehingga pandemi bukan halangan untuk berbuat baik, termasuk menjalin silaturahim dan kewajiban zakat, justru di masa-masa sulit akibat COVID-19, keperdulian sosial umat kian diasah untuk saling berbagi serta meringankan penderitaan orang lain yang berkesusahan.
Seperti sering disampaikan para ustadz dalam kultum di malam Ramadhan, semoga dengan zakat akan meningkatkan ketaqwaan dari seorang mukmin menjadi tahap muksin, yakni bukan sekedar mengamalkan ibadah tapi menerapkannya dalam kehidupan sosial untuk menjadi orang baik.
Dari muksin diharapkan naik menjadi muklis (ikhlas atau berbuat sesuatu karena Lillahi Ta'ala) hingga akhirnya dengan sampai tahap muttaqin (bertaqwa atau takut), yakni orang melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’Alla secara paripurna.*
Baca juga: Bupati Bogor ingatkan Baznas soal penggunaan dana zakat
Baca juga: KH Anwar: Zakat fitrah mengajarkan untuk berbagi dan mensucikan diri
Oleh Iskandar Zulkarnaen
Editor: Erafzon Saptiyulda AS