Jakarta (ANTARA) - Seorang wartawan dari daerah bertanya, “Abang, berita seperti ini melanggar kode etik nggak?” sambil melampirkan scan berita yang dia maksud di layar ponsel. Saya perhatikan dan memberikan jawaban, “Berita itu tidak konfirmasi dan cenderung merugikan satu pihak, jadi jelas melanggar kode etik.”

Saya malah melanjutkan,”Berita ini sepihak. Dapatnya dari mana? Rilis?”

“Iya, Bang. Ini ada LSM yang mengkritisi proyek jalan yang tidak sesuai spek.”

“Kenapa tidak dikonfirmasi ke kontraktornya atau ke Dinas Pekerjaan Umum kabupaten?”

“Apa mesti begitu, Bang?”

Wartawan yang sudah mendapat pelatihan di kantornya atau di organisasinya atau sudah mengikuti uji kompetensi mungkin heran, kok ada sih wartawan seperti itu. Faktanya ada dan tidak sedikit yang tidak faham kode etik jurnalistik dan kaidah jurnalistik. Dan tugas kita—apabila ditanya, setidaknya—memberikan penjelasan bagaimana sebaiknya bekerja kalau ingin menjadi wartawan, khususnya agar berita tidak melanggar kode etik serta terhindar dari persoalan di kemudian hari.

Pada masanya wartawan adalah profesi para elit, orang yang terpanggil jiwanya untuk menyuarakan aspirasi publik, orang yang secara khusus belajar jurnalistik di perguruan tinggi, atau aktivis yang menganggap gerakannya hanya akan efektif kalau dibarengi dengan menguasai pendapat umum.

 Wartawan adalah orang yang disegani dan diajak diskusi pemegang kekuasaan, orang yang dapat memengaruhi kebijakan, atau yang mendapat privilege dari masyarakat, pemerintah, dan swasta karena nama besarnya. Mereka duduk anggun di panggung nasional, dihormati, dihargai, dan dinilai sebagai asset bangsa. Zamannya membuat mereka meskipun tidak berpendidikan tinggi adalah otodidak yang menambah ilmu tanpa diminta karena kesadaran bahwa semakin banyak pengetahuan makin mudah bagi mereka untuk menjalankan profesinya.

Tetapi sekarang apabila kita pergi ke daerah-daerah bertemu dengan mereka yang menyebut dirinya wartawan, sering kita menemukan mereka yang dalam hal mendasar saja belum dapat memenuhinya. Saya pernah menulis bagaimana dalam sebuah uji kompetensi, di mata uji menulis berita, waktu 50 menit yang diberikan tidak cukup bagi seorang peserta untuk menulis 4-5  alinea berita. Tidak pula faham apa itu 5 W 1 H.

Tidak mampu membuat kepala/teras berita yang menarik ataupun mencakup inti dari berita. Saya juga pernah menulis bagaimana seorang pemimpin redaksi komplain anak buahnya yang beritanya hampir selalu harus dikoreksi tetapi dia  dipertahankan, karena koneksinya dengan pejabat daerah membuat dia mampu mendatangkan iklan.

Bagi wartawan profesional jelas perbedaan antara informasi dan berita. Yang satu adalah bahan, yang perlu diperkaya, ditambah data atau keterangan, yang perlu   di-cross check    dan dikonfirmasi kebenarannya, yang belum layak disiarkan. Sedangkan berita adalah informasi yang sudah lengkap, dipastikan kebenaran peristiwanya, berimbang, dan layak dikonsumsi publik.

Sebagian besar pengaduan ke Dewan Pers adalah berita yang tidak atau belum di-cross check     , tidak berimbang, atau beropini menghakimi. Di satu sisi ini menunjukkan tingkat pemahaman penulis berita—yang kerap sekaligus menjadi editor—yang belum mumpuni. Tetap sebagaimana pernah disampaikan Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers, Arif Zulkifli, sengaja dilakukan demi clickbait, mendapatkan perhatian dari pembaca, dan ketika dikomplain, dia akan mengajukan permohonan maaf, membuat ralat, lalu melakukan kesalahan serupa di waktu berikutnya.  Maklum ini zaman digital, era media siber, dimana sukses tidaknya sebuah berita diukur dari berapa banyak orang yang mengklik, bukan dari seberapa berkualitas kontennya. Jadi berita sensasional, membuat orang ingin masuk setelah membaca judul, amatlah penting.


Baca juga: Tok ! Mahkamah Konstitusi putuskan, tolak seluruh gugatan uji materiil UU Pers
Baca juga: Catatan Zacky Antony- Tentang Putusan MK (1): "Kado Reformasi itu masih terjaga"
Baca juga: Catatan Zacky Antony - Tentang Putusan MK (2): "Bintang-bintang di Piagam Palembang"

***

Bila diasumsikan jumlah wartawan di Indonesia sekitar 100.000 dan baru sekitar 20.000 yang telah mengikuti uji kompetensi dan bersertifikat, maka selisih 80.000 itu sebagian besarnya adalah wartawan yang perlu diberi pelatihan. Undang-undang Pers No 40/1999 tidak membatasi orang yang ingin menjadi wartawan, siapapun bisa. Berbeda dengan banyak negara yang misalnya mensyaratkan ijazah sarjana (jurnalistik, komunikasi, atau apa saja), di sini tidak ada batas paling rendah untuk pendidikan. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pernah membuat syarat minimal lulusan D3 dan dalam setelah beberapa tahun mestinya sarjana,  untuk dapat menjadi anggota, tetapi lalu diganti menjadi bersertifikat kompetensi.

Sebetulnya yang paling ideal, sebelum mengikuti uji kompetensi, seseorang calon terlebih dahulu mendapat pelatihan sehingga materi uji tidak hanya dihafal tetapi dikuasai secara teori dan praktik. PWI sempat mendapat sponsor dari Kementerian Pendidikan Nasional (dan Kebudayaan) dan bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi, mengadakan Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) yang dimulai dan didukung Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin di Hari Pers Nasional 2010. Bahkan waktu itu kuliah perdana dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Materinya dibuat berdasarkan panduan dari UNESCO, dilakukan selama dua minggu mencakup mulai dari filosofi jurnalistik, wawasan dan pengetahuan jurnalistik, teknik peliputan serta praktek membuat media cetak. Sayang program itu terhenti karena anggaran dari Kemendiknas macet. Padahal manfaatnya dirasakan banyak wartawan pemula di belasan provinsi di Tanah Air.

Tetapi mewujudkan hal seperti itu sekarang terasa mustahil. Anggaran yang ada di Dewan Pers, pelatihan selama satu hari sebelum uji kompetensi, yang biayanya ditanggung negara, tidak  mampu memecahkan masalah. Masih ada lulusan UKW yang belum sepenuhnya memiliki wawasan, pengetahuan, dan ketrampilan, yang sesuai standar. Dan ini realitas pahit yang harus dihadapi. Perkecualian hanya bisa didapat dari wartawan yang medianya menjalankan good journalism. Padahal saat ini lebih banyak media yang kurang atau tidak peduli mendidikan wartawannya sebab tujuan pendiriannya pun semata-mata bermotif ekonomi.


Baca juga: Ini tanggapan PWI, wacana wartawan terima tunjangan pemerintah
Baca juga: Sertifikasi wartawan kewenangan Dewan Pers
Baca juga: Dewan Pers diberi wewenang sertifikasi jurnalis karena UU "lex specialis"

 *** 


Kita tidak boleh menutup mata pada keberadaan belasan atau puluhan ribu wartawan yang belum profesional ini. Karena negara tidak lagi mengurusi pers dan kewartawanan maka Dewan Pers—secara langsung ataupun tidak—harus ikut memikirkannya, bekerja sama dengan elemen pemerintah ataupun masyarakat pers itu sendiri. Konstituen organisasi wartawan seperti PWI, AJI, IJTI, PFI, dapat diberi anggaran untuk melatih, lalu merekrut mereka yang ingin bergabung, dan menjadikannya profesional. Organisasi wartawan di luar konstituen bila memiliki banyak anggota dan dianggap berpotensi menjadi konstituen (memenuhi syarat sesuai dengan peraturan Dewan Pers), pun dapat diajak berkolaborasi. Atau juga organisasi media, yang mungkin sebagian wartawannya tidak bergabung dengan organisasi manapun.

Salah satu masalah utama rendahnya kualitas wartawan adalah mereka tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan, ataupun mengikuti uji kompetensi. Ini berkait langsung dengan kesejahteraan yang tidak memadai, gaji pas-pasan atau malahan kurang, sehingga hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Tetapi apabila diberikan semacam subsidi, atau beasiswa, saya kira sebagian besar mereka akan mau menambah kemampuan dan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan.

Peningkatan kompetensi ini penting untuk mengurangi pelanggaran kode etik jurnalistik, pengaduan dari masyarakat, menurunkan tingkat kepercayaan pada media massa, yang ujung-ujungnya mendegradasi fungsi kontrol media, saluran aspirasi publik, yang amat vital di sebuah negara demokrasi.  Wacana publik saat ini sudah dikuasai media sosial, tetapi sebagaimana hasil Survei Ederman Trust Barometer tahun 2022,

Kepercayaan publik kepada media masih tinggi 73, naik dari 72 tahun sebelumnya; dibarengi dengan kecemasan terhadap hoax (yang umumnya diproduksi media sosial) 83 persen, nomer dua di dunia setelah Spanyol, yang menjadi indikasi media massa masih berpeluang terus dipercaya bila karya jurnalistik yang disiarkan sesuai kode etik dan kaidah-kaidah jurnalistik.


Ada begitu banyak wartawan profesional, begitu pula media yang dikelola sesuai prinsip good corporate governance tetapi gangguan dari wartawan tidak kompeten dan media asal-asalan, cukup mengganggu kemerdekaan pers yang diperjuangkan dengan susah payah saat Reformasi 1998. Kita tentu tidak ingin wartawan lebih sering kita diasosiasikan dengan masalah, problem, bikin repot, membuat susah, atau media yang dibuat untuk kepentingan pribadi, mencari uang dan sebagainya.  Maka ayo bersama memikirkan solusinya.

***

Ciputat, 9 September 2022


(* Hendry CH Bangun,
- wartawan senior
- Mantan Wakil Ketua Dewan Pers 
)


Baca juga: Kisruh uji kompetensi wartawan, Dirjen IKP tegaskan hanya Dewan Pers lakukan sertifikasi jurnalis
Baca juga: Kapolri-Dewan Pers sepakat cegah polarisasi Pemilu
Baca juga: Viral pernyataan Kapolres hanya layani wartawan bersertifikasi, ini tanggapan Dewan Pers

Pewarta : Redaksi
Editor : Iskandar Zulkarnaen
Copyright © ANTARA 2024