Semarang (ANTARA) - SETIAP ada kesempatan ke desa, saya selalu  berusaha mampir warung kopi. Ini kebiasaan lama. Gara-garanya, ketika masih kelas dua SMA, saya sering diajak kakak ipar pulang kampung. Naik sepeda motor menuju desa di sudut kota.

Orang tua kakak punya warung kopi yang tak pernah sepi. Mau pagi, sore, atau pun malam selalu riuh. Menunya selalu sama. Ada kopi hitam. Yang ini wajib. Campur jagung pula. Paling riuh pagi menjelang petani berangkat ke sawah. Atau, malam hari.

Ketika SMA, warung tersebut masih riuh. Kita bisa mendengar perbincangan apa saja. Tentang tetangga sakit,  pengumuman pamerintah tentang penetapan  harga dasar gabah kering giling (GKG), pupuk, dan lain-lain dari seorang menteri terkenal kala itu. Isu-isu dan gosip desa pun ikut dibahas pula.
Semua perbincangan mengalir. Tanpa moderator mereka berbincang hangat.  Tentu ada yang membayar _cash_ , ada pula yang mencatat. Tetapi semua berlangsung penuh kejujuran. 

Kopi hitam sedikit berubah ketika kopi saset masuk kampung di tahun 1980an akhir. Aneka minuman saset dipajang. Konsumen boleh memilih merk dan konten apa yang disukai.
Saya.mengamati dengan serius warung-warung kopi di setiap ada kesempatan.

Pertama, perempuan bukanlah peserta dalam kehidupan kedai kopi, padahal mereka adalah pencipta dan pemimpin warung. Seperti juga warung kopi mertua kakak. Hampir tak ada perempuan ikut "marung" atau "nongkrong".
Kedua, kedai kopi adalah bisnis publik, terbuka untuk siapa saja yang mampu membeli kopi sepeser pun. Lurah mau datang silakan. Rakyat kebanyakan tidak ditolak. 

Baca juga: Catatan Hendro Basuki - Lelaki, Prostat, dan Kopi
Baca juga: Catatan Hendro Basuki - Kopi = Bahagia + Otak Selalu Segar
Baca juga: BNI cetak KUR Klaster kopi go global



Ruang Publik

Ternyata, di belahan dunia yang lain berlangsung hal yang sama. Bukan hanya di London, tetapi juga New York. Bukan hanya Aceh, tetapi juga Bali. Warung kopi menjadi ruang sosial yang diciptakan di luar kendali langsung negara,  termasuk yang komersial, dijalankan untuk mencari keuntungan.

  Memperlihatkan masyarakat sipil dapat mulai berkembang dengan cara yang tidak terduga. Ini terlihat dalam penyebaran kehidupan kafe melalui kota-kota besar di dunia. 

Mereka memperbincangkan apa saja. Sekarang pun lebih gila lagi. Pasti, setiap pengunjung kafe ada yang tertarik isu-isu politik, ekonomi, ataupun isu sosial.

Mereka juga memperbincangkan Rafael Alun. Kafe di strata mana pun memungkinkan pengunjung  berpartisipasi dalam aktivitas dan praktik , dialog dan pertukaran yang terjadi di luar batas kelas tradisional mereka. Tidak ada batas siapa membahas apa. 

Sejarawan Bonnie Calhoun mencatat, pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, kedai kopi London dan salon Paris berfungsi sebagai apa yang telah diidentifikasi Filsuf  kelahiran Dusseldorf Jürgen Habermas sebagai ruang publik ( _public spare_ ). _Òffentlichkeit_ , dalam bahasa Jerman. Atau tempat interaksi sosial di luar ruang privat (rumah) dan ruang otoritas publik (negara/pengadilan). 

"Maka itu, __Òffentlichkeit_tidak_ lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari warga negara dapat berlangsung," kata Habermas.
__Òffentlichkeit_tidak_itu, katanya lagi, tidak dikooptasi kekuasaan.  Dan ia tumbuh dari ruang kehidupan ( _lebenswelt_ ). 
Meskipun ada banyak lembaga ruang publik lainnya—dalam bentuk klub, teater,  dan sejenisnya—kedai kopi adalah lembaga ruang publik terpenting di London dan hal yang sama berlaku untuk salon di Paris. Tiga karakteristik utama dimiliki oleh kedai kopi dan salon sebagai lembaga ruang publik: sosialisasi, kesetaraan, dan komunikasi. Di dalam ranah kedai kopi dan salon, sekelompok orang yang heterogen berkumpul untuk terlibat dalam debat rasional tanpa memandang peringkat.

Bedanya ketika itu, pengunjung tetap kafe adalah laki-laki, sedang salon,  perempuan. Baru belakangan saja, lelaki wangi _spa_ di salon. Atau mungkin untuk urusan yang lain.

Baca juga: Catatan Ilham Bintang -Secangkir kopi susu terakhir Remy Sylado
Baca juga: Catatan Ilham Bintang -Bersantap Kuliner Ndeso di Resto Kopi Klotok Menoreh
Baca juga: Kopi Robusta Super Asal Malinau Punya Rasa Menarik


Kesetaraan

Berbeda dengan kafe, salon sementara itu, berada di tangan _salonnières_ (nyonya rumah), yang memiliki kekuatan untuk memilih tamu dan menolak masuk siapa pun yang mereka anggap perlu.

Tetapi, keduanya memiliki karakter konten pembicaraan yang mirip. Isu-isu terkini tentang model rambut, warna lispstik, atau model sepatu terkini selalu jadi topik harian.

Sebenarnya, tidak ada satu pun kafe yang mendorong siapa bicara apa. Semua dibiarkan memiliki kesetaraan bicara. Bukan juga karena percakapan di kafe itu produktif secara intelektual. Tetapi,  itu adalah praktik pertukaran bebas itu sendiri. Atau kemampuan untuk berinteraksi secara setara dengan seseorang yang bukan dari klan atau klub Anda, lalu menghasilkan kebiasaan sosial dari ekspresi diri yang mendukung keinginan untuk mengatur diri sendiri.  Apa yang didengar, diketahui hari itu, tak akan dilepaskan sebagai isu  yang diperbincangkan. 

Ketika kita berada di Banda Aceh misalnya, secangkir besar kopi tarik seolah menjadi moderator yang kemungkinan bisa menghentikan diskusi sesuatu di pagi hari. Atau secangkir lagi untuk diteruskan sampai siang.

Peraih Nobel Israel Shmuel Agnon menulis tentang pengalaman pertamanya sebagai seorang anak dari sebuah kota di Galicia, Wilayah Otonomi di Spanyol ketika mengunjungi sebuah kafe di Lviv, Ukraina. Desain meja marmer berkilauan, dan orang-orang berpenampilan anggun mengenakan pakaian istimewa duduk di kursi mewah, membaca koran besar. Itu semua dilakukan untuk secangkir kopi. (Hendro Basuki, Gunungpati-Semarang)

(*Hendro Basuki
- wartawan senior 
- pecinta kopi)


Baca juga: Penyintas Bom Marriot Berbagi Pengalaman di "Kopi Coi"
Baca juga: Tren Kopi susu kekinian tahun 2020
Baca juga: Lagi diet keto pingin kopi, ini tipsnya
 

Pewarta : Redaksi
Editor : Iskandar Zulkarnaen
Copyright © ANTARA 2024