Palagan nan tak usai di ujung negeri

id Pulau Sebatik

Palagan nan tak usai di ujung negeri

Satgas marinir ambalat (Datiz)

Sebatik (Antaranews Kaltara) - Beberapa siswa Sekolah Tapal Batas Sungai Bajau, Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara tampak asik belajar "Kihon" (latihan teknik dasar karate).

Anak-anak TKI (tenaga kerja Indonesia) di sekolah setingkat SD itu terlihat melupakan sebentar lara karena terpisah dengan orangtua mereka yang kini menjadi buruh di Sabah, Malaysia.

Pelajaran karateka adalah salah satu ekstra kulikuler yang mereka nikmati hampir tujuh bulan belakangan di Sekolah Tapal Batas.

Lalu siapa guru SD yang melatih ilmu bela diri berambut cepak dan bertubuh tegap itu.

Ternyata dia adalah anggota dari salah satu kesatuan terbaik TNI, yakni pasukan baret ungu.

Mendengar nama saja, orang pasti teringat berbagai prestasi monumental ditorehkan Marinir.

Marinir dulu bernama KKO atau Korps Komando Operasi merupakan satuan elite TNI AL.

Pada 15 November 1945 di Pangkalan IV ALRI Tegal tercantum nama Corps Mariniers yang merupakan cikal bakal terbentuknya Korps Marinir TNI AL.

Sepanjang sejarah Indonesia, Marinir hampir selalu terjun setiap palagan.

Bagi warga perbatasan utara Kalimantan memiliki ikatan emosional dengan Marinir.

Warga Sebatik berusia lanjut pasti mengenang aksi heroik anggota KKO Sersan Usman dan Kopral Harun saat konfrontasi Indonesia dengan Malaysia.

Usman dan Harun melalukan operasi intelejen, tertangkap dan dihukum mati di Singapura.

Sebatik jadi medan palagan saat konfrontasi Dwikora tahun 1962-1966.

Di Nunukan berdiri kokoh Tugu Dwikora dengan deretan nama pejuang gugur terpahat di monumen bersejarah itu.

Tugu Dwikora dulu hanya sebuah monumen kecil, terlantar dan tertutup oleh bangunan Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) saat Nunukan bagian dari sebuah kecamatan di Bulungan.

Sejak 18 tahun silam atau sejak dimekarkan Nunukan menjadi daerah otonomi baru --sesuai UU 47 Tahun 1999-- terpisah dari kabupaten induk Bulungan, maka Tugu Dwikora direhab dan semua bangunan sekitarnya direlokasi untuk menjadi alun-alun.

Kawal Titik Nol

Pelatih karate itu bernama Pratu Marinir Arif Setiawibawa.

Dia adalah salah satu anggota Satgas Marinir Ambalat XXIII yang rela berpisah dari keluarganya selama sembilan bulan demi panggilan Ibu Pertiwi.

Bersama empat rekannya dari 130 personil Satgas Marinir Ambalat XXIII, mereka menjadi guru bantu di Sekolah Tapal Batas.

Satgas Marinir Ambalat XXIII yang dengan Komandan Kapten (Mar) Yusuf Muchram tampaknya menemui realitas bahwa palagan tak nan usai di ujung negeri.

Tugas utama mereka memang menghadapi "ancaman perang konvensional", yakni bersama kesatuan lain dari TNI maupun Polri menjaga batas laut dan darat.

Di perbatasan Indonesia dengan Malaysia yang batasnya hampir sepanjang Pulau Jawa (Anyer-Penarokan) atau lebih 1.000 Km terdapat 19 patok batas , 17 di darat, dua di laut.

Di 19 titik itu sebagian terdapat pos pengawalan, termasuk rencana membangun pos di Karang Unarang atau sekitar kawasan kaya Migas, yakni blok Ambalat.

Personil Satgas Marinir Ambalat XXIII selama 24 jam bergantian patroli di kawasan itu.

Mengapa Karang Unarang begitu penting ?
Secara kasat mata tidak ada istimewa tumpukan batu karang yang seperti timbul tenggelam saat air laut pasang atau surut.

Tapi, bagi bangsa Indonesia, Karang Unarang adalah bagian tak mungkin dipisahkan dari jasad dan raga Ibu Pertiwi.

Di sana adalah dimulai garis imajiner tapal batas atau "Titik 0 (Nol)" Indonesia di utara Kalimantan.

Apa jadinya jika tumpukan karang di tengah Laut Sulawesi itu dicaplok negara lain, maka otomatis teritorial Indonesia menyusut.

Hubungan Indonesia dengan Malaysia sempat tegang terkait sangketa Pulau Sipadan dan Ligitan 2002.

Pada 2005, hubungan kembali memanas ketika Malaysia memprovokasi Indonesia dengan mengklaim sepihak atas Blok Ambalat di teritorial Karang Unarang.

Perang Yang Lain

Palagan sesungguhnya bukan hanya memerangi masalah pendidikan anak TKI namun persoalan berat lain, di antaranya peredaran Narkoba, penyelundupan, kesejahteraan dan kerusakan lingkungan.

Letak yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan dekat sekali dengan Filipina serta berbagai kelemahan infrastruktur menyebabkan perbatasan rawan berbagai tindak kejahatan bersifat transnasional.

Kejahatan paling menonjol adalah peredaran Narkoba karena di perbatasan terdapat puluhan jalur ilegal atau jalan tikus perlintasan baik darat maupun laut.

Di sisi lain, banyak anak-anak TKI tidak mendapat layanan pendidikan.

Sebagian anak usia sekolah itu dititip dengan keluarga di Sebatik.

Sebagian lagi ikut orangtua mereka menjadi pekerja gelap (ilegal) di Malaysia.

Menjadi pekerja gelap sehingga rela bekerja di perkebunan agar jauh dari pengawasan pemerintah Malaysia dan anak-anak mereka pun tidak mendapat pendidikan.

Anak-anak usia sekolah itu menjadi kelompok paling rentan menghadapi berbagai dampak negatif.

Demi menghadapi perang konvensional itu, maka dibentuk sekolah Tapal Batas dan sebagian gurunya adalah personil Satgas Marinir XXIII.

Dua Tuan

Pulau Sebatik terbagi dua, antara Indonesia dengan Malaysia sehingga daerah ini dikenal sebagai "Satu Pulau Dua Tuan".

Sebatik Indonesia meliputi kawasan di wilayah selatan seluas 246,1 Kilometer per segi sedangkan bagian utara milik Malaysia Timur (Negeri Sabah) 187,23 Km2.

Dari sebuah kecamatan dengan ribuan jiwa penduduk, sebelum pemekaran 1999, kini Sebatik memiliki lima kecamatan dan 30.000 jiwa penduduk.

Pertambahan penduduk (umumnya migrasi) begitu pesat menyebabkan masalah lingkungan jadi salah satu perang non konvensional di Sebatik.

Menghadapi perang
itu, Komandan Satgas Kapten (Mar) Yusuf Muchram melibatkan warga untuk menanam 30.000 benih mangrove pas perayaan Hari Jadi Korps Mariner 15 November 2018.

Berbagai perang non konvensional tidak pernah melemahkan semangat prajurit Marinir, termasuk perwira lulusan Akademi Angkatan Laut 2009 kelahiran Bandung 27 Agustus 1987 itu.

Kian pesat kemajuan zaman, tantangan demi tantangan terus dihadapi prajurit TNI, khususnya Marinir dalam mengawal perbatasan baik ancamam perang konvensional maupun perang non konvensional.

Berbagai perang itu
dihadapi dengan gagah berani.

Gelora semboyan sejati prajurit Marinir selalu membakar semangat mereka "Jalesu Bhumyamca Jayamahe !" atau Di Laut dan Darat Kita Jaya !

***