Jakarta (ANTARA) - PAK BJ Habibie -- yang ketika itu Menristek/Ketua BPPT -- memberi saya sebuah buku The Meiji Restoration karya WG Beasley. Sebagai wakil pemimpin redaksi Harian Merdeka pada awal 1990, saya sering bertemu Pak Habibie di ruangannya yang penuh replika pesawat.
Dalam berbagai pembicaraan, Pak Habibie sering sekali menyinggung pencapaian Jepang yang dilakukan Kaisar Meiji, yang naik tahta sebagai Kaisar ke-122 Jepang pada 1867, menggantikan ayahya Kaisar Kmei yang wafat. Saat itu usia Meiji-- nama aslinya Mutsuhito -- baru 15 tahun.
Setahun memerintah, pada 4 Januari 1868, Meiji mengumumkan keputusan penting, yakni perubahan secara mendasar struktur politik dan kebudayaan Jepang. Perubahan tersebut kemudian dikenal dengan nama Restorasi Meiji (Meiji-ishin).
Restorasi Meiji mengembalikan kekuasaan Kaisar, mengakhiri zaman diktator feodalistik dan tertutup dengan dunia luar pada era Keshogunan Tokugawa -- yang antara lain menempatkan samurai di strata sosial tertinggi, menjadikan shogun sebagai penguasa dan tuan-tuan tanah.
Meski mendapat tantangan, Meiji membuka hubungan dengan luar negeri, memberlakukan wajib belajar enam tahun, mengirim sebanyak mungkin siswa Jepang belajar teknologi, ekonomi, dan militer ke berbagai belahan dunia, terutama ke Amerika Serikat dan Eropa. Sekembali dari menimba ilmu, anak-anak muda itu membangun Jepang baru. Hasilnya, Jepang menjadi raksasa ekonomi dan menguasai teknologi.
Pak Habibie sangat terkesan pada restorasi Meiji. Mungkin dengan alasan itu pula Pak Habibie mengirim pelajar-pelajar Indonesia ke Eropa dan Amerika Serikat. Mereka dibiayai dan diberi banyak kesempatan. Ketika pulang, mereka ditampung di berbagai industri strategis, membuat pesawat, kapal, persenjataan, dan bahkan juga ilmu tentang nuklir.
Namun, kapal masa depan bangsa ini kandas dalam gelombang politik. Kapal besar Pak Habibie — IPTN dan industri-industri stretegis — pecah ketika mendekati tujuan. IMF memenggalnya, pemerintah menyetujuinya. Ribuan putra-putra Indonesia terdidik yang dulu dikirim Pak Habibie, kini mencari hidup di luar dan membesarkan industri stretegis berbagai negara, termasuk di Malaysia, Spanyol, Jerman, Brazil, dan Amerika.
Mereka lebih dihargai di sana daripada di negeri sendiri, yang semakin tak berpihak pada pengembangan dan kemajuan teknologi.
Baca juga: Neta'spane dalam kenangan Asro Kamal Rokan
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Cara Zionis Yahudi Menghancurkan Media
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Puasa ulat dan kenangan masa kecil
Malaysia, negara yang kini tergolong maju di kawasan ini, juga berkeyakinan penguasaan teknologi adalah jalan bagi kemajuan. Mereka percaya, zaman keemasan minyak dan sumber daya alam, segera berakhir dan digantikan zaman teknologi informasi.
Pada 1996, jauh setelah Indonesia mengembangkan teknologi, Malaysia membangun Multimedia Super Corridor (MSC) di kawasan Putrajaya. Perdana Menteri Mahathir Mohammad ketika itu, dikecam habis-habisan karena dianggap melakukan pemborosan dan membawa gaya hidup Hollywood ke Tanah Melayu.
Mahathir tak peduli. Dia terus maju. Kini, MSC telah berperan besar bagi perkembangan ekonomi Malaysia. Puluhan ribu tenaga terdidik telah dilahirkan di sini. Perusahaan-perusahaan lokal dibina untuk berperan di multimedia, miliaran ringgit keuntungan dari ekspor telah masuk ke sini.
Kaisar Meiji, Pak Habibie, dan Mahathir berjuang untuk masa depan bangsanya. Bedanya, Pak Habibie — yang percaya bahwa masa depan Indonesia jangan lagi tergantung pada sumber daya alam — kandas karena bangsa ini lebih suka berpikir jangka pendek.
Bangsa ini terjebak pada kepentingan politik sesaat. Bagi mereka yang berpikiran pendek, Pak Habibie dianggap melakukan pemborosan, dicerca, dan bank tidak memberi kemudahan, bahkan sakadar bank guarantee. Mereka tidak melihat, atau tidak mau melihat, bahwa ini untuk kepentingan bangsa ke depan, investasi, dan harga diri.
Baca juga: Almarhum Ricky Rahmadi dalam kenangan Asro Kamal Rokan
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Hari ini, 16 Tahun Tsunami Aceh
Baca juga: Hadi Mustofa di mata Asro Kamal Rokan
Saya membaca buku Restorasi Meiji pemberian Pak Habibie. Ketika itu, 15 tahun lalu, saya membayangkan bangsa ini akan berubah untuk meraih keunggulan demi keunggulan. Namun, dalam waktu yang merayap dan semakin melelahkan, perubahan itu seperti menunggu Godot, menunggu yang tidak pasti. Tidak ada yang datang, tidak Meiji atau Mahathir. Dan, Pak Habibie tetap sendiri. Sunyi.
Sesungguhnya bersama waktu yang merayap itu — kita entah sedang bergerak ke mana: Mempersiapkan masa depan atau duduk termenung di bawah pohon kamboja, mengenang masa yang tentu berlalu.
Republika, Resonansi, Rabu, 06 September 2006
*Asro Kamal Rokan, wartawan senior. Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005), Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007). Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023).
Baca juga: Menara Azadi, saksi bisu masa ke masa
Baca juga: Buku, Warisan Seorang Wartawan
Baca juga: Ibu Ani Yudhoyono di mata Asro
Berita Terkait
Catatan Asro Kamal Rokan - Obituari "Semakin menua, aku merasa lebih baik..."
Minggu, 16 Juni 2024 13:01
Catatan Asro Kamal Rokan - Cerita DR Rahmat Shah melawan kanker ganas
Senin, 17 April 2023 15:05
Catatan Asro Kamal Rokan - Kopi Sumatra Mandheling di Turki
Sabtu, 1 April 2023 12:00
Catatan Asro Kamal Rokan - Merdeka setelah pesta teh
Sabtu, 1 April 2023 9:34
Catatan Asro Kamal Rokan - Era Gila Caligula
Sabtu, 20 Agustus 2022 9:30
Catatan Asro Kamal Rokan - Agus Salim Suhana juga pergi
Senin, 25 Juli 2022 17:31
Catatan Asro Kamal Rokan - Hawana 2022, dari Melaka ke Jalan bersejarah
Senin, 6 Juni 2022 6:59
Catatan Asro Kamal Rokan - Kabar Duka dari Malaysia: Pergilah Sahabat ...
Minggu, 8 Mei 2022 13:15