Menara Azadi, saksi bisu masa ke masa

id Menara azadi,Asro kamal rokan

Menara Azadi, saksi bisu masa ke masa

Asro Kamal Rokan di Menara Azadi (Istimewa)

Jakarta (ANTARA) - Konflik Iran-Amerika Serikat semakin panas. Rabu (8/1) dini hari, rudal Iran menyerang pangkalan militer AS di Irak. Korps Pengawal Revolusi Iran (IRGC) menyebutkan, serangan itu menewaskan 80 tentara AS dan melukai 200 lainnya.

Serangan ini sebagai reaksi atas tewasnya perwira tinggi Iran, Mayjen Qasem Soleimanni di Irak, Jumat (3/1) pekan lalu. Soleimanni tewas dalam serangan drone tanpa awak milik AS di luar bandara Baghdad. Serangan ini atas perintah Presiden AS Donald Trump. Para pengamat internasional memprediksi, konflik Iran vs AS kemungkinan memicu Perang Dunia lll.

Sejarah konflik Iran-AS sudah berlangsung lama. Narasi anti-AS tumbuh ketika Shah Reza Pahlevi menggulingkan Perdana Menteri Mohammad Mosaddegh, 1953. Penggulingan itu didukung CIA melalui operasi Ajax. Selama 26 tahun memimpin dan sebagai boneka AS, Pahlavi menjadi tiran dan korup.

Pahlevi tumbang pada 11 Februari 1979 melalui gerakan mahasiswa dan seruan Ayatullah Khomeini, yang memimpin Revolusi Iran dari tempat pengungsiannya di desa Neauphle-Le-Chateau, luar kota Paris, Prancis.

Di Teheran, saat Pahlevi masih berkuasa, mahasiswa Iran menduduki kedutaan dan menyandera diplomat AS selama 444 hari -- rekor terlama dalam sejarah. Gerakan ini didukung para pemimpin agama, terutama pengikut Khomeini. Khotbah-khotbah Khomeini dari Paris melalui kaset yang diperbanyak, diselundupkan ke Iran. Ini mendorong gelombang anti Pahlevi dan anti-AS.

Ratusan ribu mahasiswa melakukan unjuk rasa. Pahlevi melawan dengan menculik aktivis dan cendekiawan. Aksi ini memicu kemarahan rakyat. Kerusuhan pecah. Ribuan orang korban luka dan tewas. Sejarah baru pun terjadi. Pahlevi yang semakin tidak berdaya, melarikan diri ke Aswan, Mesir, 16 Januari 1979. Kendali Amerika pun berakhir.

Inilah revolusi, yang menurut pengamat, terbesar setelah Revolusi Prancis dan Revolusi Bolshevik.

Konsentrasi unjuk rasa saat itu di seputar Menara Azadi, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Taheran. Ketika revolusi Iran pecah, 1979, hampir setiap hari suratkabar di Indonesia memuat foto-foto unjuk rasa di menara ini.
Menara Azadi (Instagram/@wjq1991)
Itu pula yang mendorong saya ingin melihat langsung menara yang populer ini. Saat rehat, setelah berhasil memperjuangkan LKBN Antara sebagai Presiden Konferensi Kantor Berita Asia-Pasifik (Organization of Asia Pacific News Agencies -- OANA), yang beranggotakan 43 negara, November 2006 di Teheran, saya ke menara Azadi, sekitar tujuh kilo meter dari pusat kota Teheran.

Menara Azadi terdiri dari dua pilar setinggi 45 meter, yang saling membelit pada ujungnya dan terletak di sebuah lapangan seluas 50.000 m². Menara ini dibangun untuk memeringati ulang tahun ke 2.500 Kekaisaran Persia pertama.
Menara Azadi (Chris Blackhead / Flickr)

Arsitektur menara ini menggabungkan gaya modern dan tradisional Iran. Menara yang dilapisi 8.000 buah marmer putih ini selesai dibangun pada 1971. Saya tinggalkan menara Azadi, yang berdiri gagah, dibalut sinar keemasan matahari sore. Dari kejauhan, terlihat gunung Aiborz diselimuti salju.

*****

SAAT di Iran, embargo ekonomi AS dan sekutunya masih berlaku. Ini memang menyulitkan. Pesawat tidak banyak ke Teheran. Dari Dubai, harus transit selama enam jam. Tiba di Bandara Internasional Khomeini, telah malam. Udara menyergap dingin.

Perjalanan ke Ferdowsi Grand Hotel di Kooshk Mesri Street, Teheran, tempat konferansi OANA, sekitar setengah jam. Dari jendela taksi, saya melihat kesibukan lalu lintas, toko-toko, dan cafe di sepanjang jalan. Mobil buatan Prancis, Jepang, dan Korea berseliweran. Tidak ada mobil buatan Amerika Serikat.

Teheran seperti juga kota di negara-negara lain, kesibukan dan modernisasi melanda negeri para mullah ini. Ini berbeda dengan gambaran media Barat, yang mengesankan tidak ada kebebasan di negara ini. Perempuan aman di jalan hingga malam. Kehidupan berjalan normal.

Hanya, ada sedikit problem. Handphone tidak berfungsi. Tidak ada sinyal. Mungkin ini akibat dari embargo ekonomi. Saya dianjurkan menggunakan kartu telepon mereka. Namun harganya mahal. Akibatnya, beberapa hari tanpa alat komunikasi.

Dari beberapa informasi, warga Indonesia di Iran harus mengambil uang ke Dubai atau negara lain, karena bank-bank jaringan internasional tidak beroperasi akibat embargo ekonomi. Kami pun menukar dollar ke Rial Iran di Dubai. Dollar AS tidak bisa digunakan di Iran. Meski demikian, Iran kuat bertahan. Ekonomi dan industri dalam negeri mereka maju.

Pada kunjungan kedua, mengikuti rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Maret 2008, jaringan telepon genggam sudah dapat digunakan. Di sini, karena waktu yang singkat, kami hanya berkunjung ke Sa’dabad, istana Presiden Ahmadinejad.

Embargo ekonomi akhirnya dicabut pada 2016, setelah Iran dan AS menemui berbagai kesepakatan.

Kini, konflik kembali terjadi, entah bagaimana ujungnya nanti..

Jakarta, 08-01-20

*Asro Kamal Rokan, wartawan senior. Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005), Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007). Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023).

Baca juga: Buku, Warisan Seorang Wartawan

Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - "Wamena, Kisah Pilu Pendatang"

Baca juga: Ibu Ani Yudhoyono di mata Asro