Telaah - Ini vaksin BNPT melawan virus radikalisme

id Bnpt,Fkpt

Telaah - Ini vaksin BNPT melawan virus radikalisme

Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional, juga digelar rapat koordinasi nasional (Rakornas) antara FKPT dengan FKDM) di bawah koordinasi Kemendagri dari 34 provinsi di Jakarta, 2 Agustus 2022 di Jakarra.

Jakarta (ANTARA) - Tantangan menghadapi intoleransi, radikalisme dan terorisme dari tahun ke tahun kian meningkat seiring kemajuan teknologi informasi digital dan meluasnya pengguna media sosial.

Hal itu digunakan oleh kelompok terorisme untuk kepentingan mereka, misalnya menyebarkan jebakan paham radikal dibungkus bahasa agama, termasuk menggaet anggota baru melalui baiat secara daring.

Lihat saja, perbedaan antara pola penyebaran radikalisme dan terorisme antara Al Qaeda (didirikan oleh jutawan Saudi Osama Bin Laden, awal 1980-an) dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah, dideklarasikan oleh Abu Bakar al-Baghdadi di Mosul, Irak, pada 2014).

Perkembangan Al Qaeda cenderung konvensional dengan pola rekrut melalui tatap muka dan perkembangan terbatas. Berbeda dengan ISIS, polanya begitu masif dan cepat menyasar ke berbagai negara, semua jenis kelamin dan usia --khususnya generasi milenial dan generasi Z-- pasalnya gerakan ini lahir bersamaan kemajuan teknologi informasi digital dan luasnya pengguna media sosial

Kemajuan teknologi informasi digital dan media sosial menjadi "ladang subur" untuk kelompok teroris dalam menyebarkan "virus" Intoleransi, radikalisme dan terorisme. Para aktor intelektual ini paham bahwa intoleransi dan radikalisme adalah embrio lahirnya terorisme.

Para anggota ISIS yang tidak mau disebut teroris namun "mujahidin" --memanipulasi paham radikal dengan bingkai agama-- tersebar dari berbagai negara baik dari negara-negara Asia dan Eropa, Amerika, bahkan dari Indonesia yang umumnya berusia produktif.

Dua contoh kasus belakangan ini menjadi indikasi kaum milenial dan generasi Z (Gen Z) kini memang jadi sasaran.

Milenial atau generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah generasi X, yakni mereka yang lahir pada kisaran 1980 hingga 2000-an.

Sedangkan generasi yang lahir setelah generasi Y (milenial) adalah mereka yang lahir pada 1995 sampai dengan 2010. Kadang Gen Z disebut juga sebagai "i-Generation" atau generasi internet atau generasi net.

Ledakan bom di Gereja Katedral Makassar pada Minggu (28 Maret 2021) dilakukan oleh Lukman dan Dewi pasangan suami istri kelahiran 1995 atau tergolong Gen Z.

Kemudian kasus yang menghentakkan, tentang indikasi seorang wanita Gen Z --kelahiran 1995-- bernama Zakiah Aini, diperkirakan terpapar virus melalui dunia maya dan menjadi seorang "lone wolf" memilih jalan "jihadis" dengan menyerang Mabes Polri pada Rabu (30 Maret 2021) sore.

Mereka ternyata berbeda aliran terorisme, yakni Lukman dan Dewi berafiliasi pada Jamaah Ansharut Daulah (JAD) berkiblat pada Kota Jalo, Filipina Selatan, sementara "lone wolf" Zakiah Aini diduga bagian dari jaringan ISIS.

Kian meluas tantangan itu disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar di Jakarta, 2 Agustus 2022 dalam amanah sebelum digelar Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional.

Dianalogikan sebagai virus, Boy --dalam acara itu mengenakan baju daerah dari Palembang-- menjelaskan ideologi yang mengusung kekerasan dan anti kemanusiaan itu menyebar sangat cepat.

Menghadapi berbagai tantangan itu, maka BNPT terus melakukan berbagai upaya, termasuk berkolaborasi dengan berbagai pihak, antara lain organisasi keagamaan, tokoh agama dan perguruan tinggi.

Perang melawan virus tersebut tidak mungkin hanya oleh BNPT atau Densus 88 Antiteror namun menjadi tanggung jawab semua pihak sehingga berkolaborasi adalah langkah strategis.

Kali ini, BNPT kembali berkolaborasi dengan
Kementerian Dalam Negeri yang dihadiri oleh Wakil Mendagri John Wempi Wetipo.

Melalui kerja sama itu, maka selain Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional, juga digelar rapat koordinasi nasional (Rakornas) antara Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang di bawah koordinasi BNPT dengan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) di bawah koordinasi Kemendagri dari 34 provinsi.

Kegiatan itu juga menghadirkan pejabat Badan/kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dari 34 provinsi.

Dalam acara itu digelar pula Dialog Kebangsaan melibatkan sejumlah pembicara antara lain Pastor Romo Antonius, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri Irjen Marthinus Hukom dan Direktur Pencegahan BNPT Brigjen (Pol). R. Ahmad Nurwakhid.

Baca juga: BNPT sosialisasilan gaya baru tangkal virus radikalisme
Baca juga: FKPT Kaltara libatkan pelajar cegah radikalisme melalui medsos


BNPTgelar Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional, juga digelar rapat koordinasi nasional (Rakornas) antara FKPT dengan FKDM) di bawah koordinasi Kemendagri dari 34 provinsi di Jakarta, 2 Agustus 2022 di Jakarra.



Memperkokoh konsensus nasional

Kesiapsiagaan Nasional adalah amanah UU Nomor 5 Tahun 2018 tanggal 21 Juni 2018, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Kesiapsiagaan nasional sebagai salah satu strategi pencegahan terorisme dengan mendorong kelompok dan organisasi masyarakat agar berperan aktif dalam pencegahan tindak pidana terorisme.

Kesiapsiagaan nasional juga sebagai bentuk kewaspadaan dari kian meningkatkan potensi ancaman radikalisme dan terorisme, terutama bagi kawula muda.

Pertanyaannya mengapa generasi milenial dan Gen Z jadi sasaran teroris untuk menggaet jadi kelompoknya ?

Boy Rafli Amar menyebut ada dua faktor, pertama karena usia mereka --khusus Gen Z-- yang masih labil atau dalam proses pencarian jati diri sehingga mudah terpapar virus.

Faktor kedua, karena derasnya pengaruh global di era kemajuan teknologi digital serta meluasnya pengguna media sosial seperti kondisi sekarang.

Diperkirakan dari total penduduk Indonesia 270 juta jiwa itu ada 202 juta jiwa pengguna internet dan 80 persen adalah memiliki akun berbagai media sosial. Dari pengguna media sosial, 60 persen adalah kawula muda atau generasi milenial dan Gen Z.

Menghadapi tsunami informasi dari media sosial maka harus dilawan dengan penguatan literasi, dan meningkatkan kesadaran dan pelibatan masyarakat dalam memperkokoh ketahanan nasional, terdiri berbagai aspek, yakni idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.

Inteloransi, radikalisme dan terorisme adalah ancaman nyata yang merupakan trans nasional idiologi, kejahatan yang anti dengan konstitusi negara dan ideologi negara Pancasila.

Indonesia hakikatnya punya identitas diri namun tantangan terus menghadang sebagai konsekuensi dalam pergaulan global yang sarat dengan berbagai kepentingan internasional, nasional dan domestik.

Sistem nilai bangsa Indonesia ini terbukti tangguh namun kadang dilupakan. Dari Sabang hingga Marauke terdapat lebih dari 1.300 suku, 600 bahasa ibu, ada agama yang disahkan dan aliran semua adalah kekayaan yang dirumuskan dalam Pancasila.

Tapi derasnya pengaruh globalisasi maka sebagian anak bangsa terpengaruh dan berpaling dari ideologi luhur bangsa, yakni Pancasila yang antikekerasan.

Menurut Boy bahwa jika penangan virus COVID-19 dengan berhasil dengan berbagai vaksin. Maka menangkal virus intoleransi, radikalisme dan terorisme juga perlu vaksin, yakni dengan memperkuat konsensus nasional pada empat Pilar Kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.


Baca juga: BNPT akui tantangan Kaltara hadapi radikalisme
Baca juga: Perkembangan strategi penanggulangan terorisme dibahas BNPT-ASEAN




Ubah paradigma

Sementara itu, Kepala Densus 88 Antiteror Polri Irjen Marthinus Hukom menjelaskan ada beberapa poin penting terkait perubahan paradigma dalam penanganan teroris dan eks napiter (napi teroris).

Langkah itu antara lain mengusulkan agar para eks napiter diundang hadir saat perayaan Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus 2022. Ini terkait upaya memperlakukan para eks napiter lebih humanis dan memperkuat rasa nasionalis mereka.

Upaya lain dalam mengubah paradigma itu, yakni kewenangan Densus 88 dalam proses penangkapan dan penahanan bukan untuk memenjarakan badan tapi mengubah "mainset"
(cara pandang atau keyakinan) mereka, ini jadi dasar dibentuk program "Pesantren 200 Hari".

Sesuai UU No 5 Tahun 2018, Densus 88 Antiteror diamanatkan untuk penangkapan dan penahan selama 14 hari dan bisa ditambah tujuh hari serta proses penyidikan 200 hari. Terkait upaya mengubah "mainset" itu maka lahir program "Pesantren 200 hari" untuk penguatan moderasi beragama.

Berbagai kegiatan dalam program "Pesantren 200 Hari" disebut Irjen Marthinus Hukom sebagai internalisasi nilai-nilai baru untuk menghapus doktrin kekerasan yang sebelumnya mereka dapatkan sebagai anggota teroris.

Aparat Densus 88 di daerah juga diperintahkan untuk memperlakukan para eks napiter dan keluarganya secara baik. Misalnya, diperintahkan aparat Densus di daerah harus menyambut eks napiter saat keluar dari penjara dengan sebuah pesta. Kegiatan itu harus melibatkan ketua RT dan tokoh masyarakat setempat, tujuannya agar mereka bisa diterima kembali dan tidak eksklusif.

Berdasarkan pengalaman Densus, hampir semua pelaku teroris dalam interaksi sosial berlaku eksklusif.

Sedangkan pendekatan kesejahteraan, Densus 88 juga mencari pekerjaan dan menyantuni keluarganya, khususnya bagi eks napiter dari lapisan tak mampu.

Tindakan Densus 88 ini kadang dicibir dan diprotes oleh sejumlah kalangan, padahal tujuannya selain untuk kemanusiaan jugasebagai sarana kontak agar petugas tetap bisa berkomunikasi dengan mereka. Komunikasi sangat penting dalam menjaga mereka agar tidak terpapar lagi.

Upaya mengubah paradigma oleh BNPT dan Densus 88 Antiteror --khususnya memandang anggota teroris sebenarnya korban dari jebakan paham anti kemanusiaan-- cukup berhasil dalam menyembuhkan para eks napiter dan keluarganya baik dari virus radikalisme maupun dari trauma psikis akibat hukuman sosial.

Salah satu contoh, berhasil menjadikan seorang anak teroris bisa diterima di lingkungannya yang sebelumnya selalu murung, dikucilkan dan tak mau bergaul.

Marthinus Hukom menyebut itu adalahanak dari Syarial Alamsyah aliasAbu Rara, pelaku penusukan Wiranto (saat itu sebagai Menko Polhukam)
diPandeglang,Bantenpada Kamis (10 Oktober 2019).

Direktur Pencegahan BNPT Brigjen (Pol) R. Ahmad Nurwakhid mengatakan jika dibandingkan dengan negara lain --apalagi Irak, Afganistan dan Suriah--
maka hakikatnya Indonesia cukup berhasil menjaga kestabilan keamanan dari ancaman radikalisme dan terorisme.

"Kata kunci" sehingga Indonesia berhasil melawan virus itu, yakni terus menjalin kolaborasi, memperkokoh konsensus nasional dan mengubah paradigma dalam penanganan para tahanan dan eks napiter.

Perubahan paradigma telah menumbuhkan asa baru bagi eks napiter bahwa mereka bisa kembali diterima sebagai anak bangsa meski sebelumnya sempat tersesat dengan paham anti kemanusiaan.

Strategi lainnya, kata Ahmad Nurwakhid adalah terus membangun dan menyebarkan kontra narasi bahkan kontra simbol-simbol di ruang digital untuk melawan radikalisme.

Hal itu tergambar dari keindahan musik angklung dengan melibatkan semua peserta Rakornas yang mendapat pelatihan singkat oleh seorang pemandu untuk memainkan alat musik dari Jawa Barat itu saat pembukaan acara Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional.

Inilah gambaran utuh Indonesia bak sebuah simponi yang meski berbeda-beda tangga nada pada setiap alat angklung --simbol keanekaragaman budaya, suku dan agama-- namun bisa melahirkan keindahan alunan suara jika musik dimainkan bersama-sama (berkolaborasi) dan harmoni dalam memperkokoh konsensus nasional.


Baca juga: Boy Rafli Amar: TNI AD kekuatan utama penanggulangan terorisme
Baca juga: Direktur Pencegahan BNPT: Radikalisme menjiwai semua aksi terorisme