Kerawanan konflik antara Indonesia dengan Malaysia: Klaim Kebudayaan

id Filsafat,Mila ,Budaya ,Konflik indonesia malaysia

Kerawanan konflik antara Indonesia dengan Malaysia: Klaim Kebudayaan

Baju adat Bulungan

Tanjung Selor (ANTARA) - Hubungan Indonesia dan Malaysia memiliki kekerabatan yang sangat erat karena kedua Negara ini memiliki akar sejarah, budaya dan peradaban yang hampir sama dan disebutkan dengan kata serumpun.

Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia menarifkan kata serumpun sebagai satu keturunan atau memiliki nenek moyang sama.

Hubungan Indonesia dan Malaysia inipun terkesan cukup dekat bukan dalam hal geografinya tetapi lebih mengarah kesamaan sejarah, adat, agama Islam dan berbagai pengalaman dalam pembentukan identitas ke-Melayu-an.

Indonesia dan Malaysia hampir melakukan perperangan dikarenakan adanya politik Konfrontasi yang puncaknya pada tahun 1963-1966.

Pemulihan atas konfrontasi ini diakhir pada tahun 1967 dan menggantikan posisi pemerintahan Soekarno yang jatuh karena adanya G-30S/PKI.

Soeharto yang menggantikan posisi Soekarno yang menjadikan pemerintah sebagai Orde Baru. Hal ini salah satu upaya pemulihan hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia.


Hubungan Indonesia dan Malaysia ini beberapa kali mengalami pasang surut walaupun dikatakan serumpun tetapi tidak selamanya baik adapun konflik-konflik yang terjadi. Konflik tersebut berkaitan dengan perebutan sumber-sumber ekonomi seperti di Sipadan-Ligatan, Masalah lintas batas, Ambalat, illegal logging, dan human trafficking. Dalam masalah konflik ini sulit untuk ditemukan titik temu atau solusi agar tidak terjadinya konflik.

Penyelesaian hanya dilakukan dalam keadaan yang bersifat reaktif dan sporadil tanpa menyelesaikan masalah secara menyeluruh.

Baju adat Bulungan



Persoalan yang sering terjadi dan belum menemukan titik temu adalah tentang kebudayaan. Walaupun dari peta geografis Indonesia dan Malaysia ini berdekatan dan memiliki julukan serumpun dengan budaya yang hampir sama sering terjadi akulturasi budaya.



Kesamaan yang menonjol itu seperti bahasa, agama, kebudayaan dan pekerjaan. Persoalan Malaysia mengklaim budaya Indonesia ini salah satu faktor bahwa Indonesia tidak menjaga dengan baik budaya-budaya sendiri yang dimana masyarakat Indonesia jarang untuk mengekspos kebudayaan tersebut.


Pada tahun 2009, Malaysia mengklaim Tari Pendet yang berasal dari Bali hal ini disebabkan oleh sebuah iklan yang mengiklankan dari pariwisata Negara Malaysia yang menampilkan penari Pendet Bali.

Iklan tersebut ditayangkan di stasiun televise swasta Singapura yang bernama Discovery Channel di Malaysia. Tari pendet ini salah satu budaya yang dimiliki Indonesia khususnya Bali, Tari Pendet ini disimbolkan sebagai ucapan selamat datang bagi para tamu yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu.

Awal mula tarian ini pun digunakan sebagai pelengkap upacara piodalan di pura atau tempat suci keluarga. Penggagas Tari Pendet ini awalnya juga tidak mau untuk mendaftarkan tarian sebagai Warisan Budaya Takbenda dikarena Tari Pendet salah satu tarian yang sangat sakral yang memiliki koneksi terhadap roh-roh.


Tari Pendet yang pada saat itu tidak pernah dipatenkan oleh penciptanya I Wayan Rindi karena memiliki makna spiritual yang terkandung dalam tarian tersebut.

Maka dari itu menurut I Wayan Rindi tarian ini tidak bisa dimiliki oleh manusia ataupun bangsa tertentu.

Hal ini yang menyebabkan Negara lain mengklaim, dengan banyaknya budaya Indonesia apalagi banyaknya budaya Indonesia yang tak di daftarkan sebagai WBT (Warisan Budaya Takbenda).

Kebudayaan Indonesia dan Malaysia ini banyak kemiripan, namun dipastikan bahwa Tari Pendet ini tarian asli dari Indonesia karena penemunya pun berasal dari Bali.


Bukan hanya Tari Pendet yang diklaim oleh Negara Malaysia tetapi ada beberapa salah satunya seperti Batik. Malaysia pernah mengklaim warisan budaya Indonesia yaitu Batik.

Hal ini banyak menuai perdebatan, untuk menghindari perdebatan yang berkepanjangan, pemerintah Indonesia pun mendaftarkan Batik ke UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Untuk mendapatkan pengakuan sebagai warisan budaya ini butuh proses waktu panjang yang harus ditempuh oleh pemerintah Indonesia.

Berawal pada 3 September 2008 dengan proses Nominasi Batik Indonesia ke UNESCO yang kemudian baru diterima secara resmi oleh UNESCO pada tanggal 9 Januari 2009.

Pada tanggal 2 Oktober 2009 inilah UNESCO mengukuhkan bahwa Batik milik Indonesia dan terdaftar sebagai Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia yang dilaksanakan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Maka dari itu tanggal 2 Oktober ini dijadikan hari Batik Nasional.


Batik Indonesia ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan Batik Malaysia. Batik Indonesia memiliki beragam motif salah satunya motif batik Jepara yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu motif lama dan motif baru.

Motif lama mempunyai pola dengan warna lung hitam, gajah coklat, flora serta fauna daun ulir hijau.

Sedangkan motif baru merupakan batik tulis yang beragam.

Batik Jepara ini dikenal juga sebagai Batik Kartini yang mana Batik ini ditemukan di kota Jepara.

Batik-batik Indonesia memiliki motif yang tidak sama dengan daerah-daerah. Setiap daerah memiliki motif yang berbeda dan juga pesan yang berbeda.

Sedangkan Malaysia memiliki batik yang berdasar polos berwarna menyala dengan motif daun atau bunga yang besar. Batik Malaysia banyak dipengaruhi oleh alam sekitar.

Dengan motif-motif ini yang dihasilkan karena kepekaan masyarakat tradisional terhadap lingkungan.

Kebijakan Pemerintah Indonesia Mempertahankan Kebudayaan Indonesia
Kesadaran masyarakat untuk menjaga budaya dan juga memperkenalkan budaya Indonesia sangat minim.

Apalagi di era globalisasi ini, masyarakat lebih mengarah ke budaya asing yang lebih efisien dan sesuai dengan perkembangan jaman.

Dengan kurang pedulinya untuk menjaga kebudayaan maka Negara asing pun mengklaim kebudayaan Indonesia.


Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan jika kebudayaannya di klaim oleh Negara lain, barulah masyarakat Indonesia gencar untuk memperkenalkan kebudayaan tersebut. Pembelajaran tentang budaya memang harus ditanamkan sejak dini untuk mengetahui betapa pentingnya memperkenalkan dan menjaga budaya-budaya Indonesia khususnya budaya lokal.


Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai peran dalam mengajak masyarakat untuk mengadakan festival budaya.

Kemendikbud yang memiliki tugas untuk mendaftarkan budaya-budaya yang ada di Indonesia, baik yang berbentuk seni, adat istiadat, hingga permainan tradisional. Indonesia yang memiliki ragam kebudayaan harus di perkenalkan kepada dunia luar.

Hal ini mengajak masyarakat untuk memperkenalkan kebudayaan daerahnya kepada dunia luar. Setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-berbeda maka yang terpenting adalah dokumentasi dan pencatatannya.

Kemendikbud mengajak pemerintah daerah untuk memperkenalkan budaya lokal diberdayakan untuk merayakan festival. Dalam hal ini juga mengajak masyarakat semakin peka terhadap budaya lokal.


Konflik atas klaim budaya ini masuk kedalam ranah politik. Langkah politik ini dianggap lebih efektif untuk menyelesaikan persoalan dibandingkan menggunakan langkah hukum yang dimana sangat lama untuk menemukan jalan keluar.


Pada tahun 2007, konflik warisan budaya diselesaikan dengan sendiri tanpa adanya kesepakatan dan resolusi.

Pihak Indonesia dan Malaysia mampu meredam dan memahami warisan budaya yang hampir sama tersebut. Agar kebudayaan tidak di klaim oleh Negara lain maka harus di hak patenkan dengan memenuhi tiga syarat, yaitu baru (new), penemuan (inventive) dan berguna (usefull).
Konflik budaya ini bisa diatasi dengan promosi budaya.

Bukan hanya pemerintah saja yang mempromosikan tetapi masyarakat Indonesia juga harus mempromosikan budaya.

Promosi budaya dapat dilakukan dengan beberapa cara selain melalui iklan di berbagai media. Promosi budaya ini harus didaftarkan menjadi Warisan Budaya Dunia ke UNESCO.

Artinya, budaya tersebut bukan hanya dimiliki oleh daerah itu saja tetapi budaya tersebut diwariskan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Selanjutnya, promosi budaya ini dalam pembentukan Pusat kebudayaan Indonesia di Luar Negeri.

Jika organisasi tersebut tertata dengan rapi atau struktur organisasi dan program kerja yang baik maka budaya akan lebih efektif dan berkelanjutan. Yang terakhir yang paling terpenting pengenalan budaya sejak dini, berawal dari budaya lokal lalu ke budaya seluruh Indonesia.

Hal ini sangat penting sekali diajarkan agar kelak mengetahui kebudayaan apa saja yang ada di Indonesia dan tidak menjadi tamu di negerinya sendiri.


Indonesia dan Malaysia memiliki hubungan diplomatic sejak 31 Agustus 1957 saat Malaysia menyatakan kemerdekaannya.

Indonesia juga menjadi salah satu dari 14 negara yang pertama kali mengakui mengenai kemerdekaan Malaysia.

Duta besar RI yang pertama kali untuk Indonesia yaitu Dr. Mohd Razif.

Hubungan Indonesia dan Malaysia ini terbilang cukup baik dan sudah terjalin jauh sebelum masing-masing Negara merdeka.

Hubungan Indonesia dan Malaysia juga sempat mengalami renggang atau adanya konfrontasi pada tahun 1963-1965 namun para pemimpin Indonesia dan Malaysia mengambil sikap tenang dan bijak untuk segera memulihkan konfrontasi tersebut dan menjadikan sebuah pelopor pembentukan organisasi regional ASEAN 1967.


Indonesia dan Malaysia mempunyai hubungan kerjasama dalam bidang Budaya. Hal ini dilakukan agar tidak adanya klaim budaya. Indonesia dan Malaysia yang memiliki kebudayaan yang hampir sama sering menjadi perdebatan, maka dari itu KBRI melakukan upaya promosi Indonesia untuk meningkatkan citra positif Indonesia.

KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) mempunyai peran aktif untuk menggerakan diplomasi kebudayaan bekerjasama dengan institusi pemerintahan dan swasta.

Pemerintah Indonesia juga menyusun RUU Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Internasional atas Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

RUU ini dibuat agar menghindari klaim atas warisan budaya tetapi pemerintah Indonesia belum memiliki mekanisme yang tepat sasaran.


Kebijakan pemerintah setiap klaim budaya penyelesaiannya juga berbeda-beda. Seperti penyelesaian klaim budaya Tari Pendet. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik telah mengirimkan seorang direktur jenderal dari departemennya untuk membawa nota protes kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Malaysia.

Hal ini digunakan upaya diplomatik untuk menjelaskan tentang iklan tersebut. Upaya ini juga dikarenakan penayangan karya Indonesia untuk kepentingan komersial harus mendapatkan izin.


Kebijakan pemerintah Indonesia untuk menyikapi mempertahankan kebudayaan ini juga bisa dilihat pada masa orde lama. Munculnya kebijakan yang bersifat naturalisasi dan proteksi terhadap kebudayaan asing khususnya kebudayaan yang dibawakan oleh pemerintahan kolonial.

Naturalisasi ini sebagai wujud agar tidak terpengaruh dengan budaya-budaya pemerintah kolonial. Pada masa orde baru adanya kebijakan pembangunan dan sentralisasi terhadap aktivitas kebudayaan. Sentralisasi ini sebuah penyerahan kekuasaan dan wewenangan pemerintah kepada pemerintahan pusat.


Sentralisasi terhadap kebudayaan adanya perbedaan kebudayaan yang dimiliki Indonesia tidak dapat dipersatukan dan kekurangan dari sentralisasi ini pemerintah daerah kehilangan eksistensi sebagai tatanan pemerintah lokal dengan keunikan sosial budaya lokalnya sendiri.


Pada masa orde baru semua diatur oleh pemerintahan pusat maka dari itu budaya-budaya lokal jarang di perkenalkan ke dunia luar.

Pergantian pemerintahan menjadi masa reformasi, kebijakan sentralisasi digantikan menjadikan desentralisasi dengan memberikan kewenangan kepada daerah termasuk pengelolaan budaya.


Kebijakan desentralisasi ini membuat pemerintah daerah mengatur rumah tangganya sendiri tetapi bukan untuk semua hal seperti keamanan, hukum dan kebijakan tetapi ada beberapa yang harus dikelola oleh pemerintah daerah tersebut.



Pasca reformasi kebijakan dibuat lebih protektif kepada permasalahan yang muncul.


Kebudayaan Indonesia yang beranekaragam perlu mendapatkan perlindungan khusus oleh Negara agar tidak menjadi perebutan antar Negara.

Kebudayaan ini juga sebagai salah satu identitas Negara bangsa. Setiap Negara memiliki budaya yang berbeda dan tidak akan pernah sama.


Jika kebudayaan bangsa di klaim oleh Negara asing maka menjadikan perdebatan dan permasalahan yang sulit untuk diselesaikan.

Pemerintah Indonesia harusnya membuat kebijakan yang lebih tegas untuk menindak perlindungan budaya dan di hak patenkan agar tidak adanya klaim budaya.


Penyelesaian konflik klaim budaya ini juga pemerintah membuat beberapa strategi dalam mengatasi konflik tersebut.


Strategi tersebut menjadi tiga bagian yaitu dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Strategi jangka pendek pemerintah Indonesia hanya menyiapkan nota diplomasi yang menyatakan adanya keberatan.

Strategi jangka pendek bukan berarti tidak ada timbul masalah lagi, bisa saja masalah timbul yang membuat penyelesaian sulit diatasi maka dari itu strategi jangka menengah ini dibuat untuk melakukan perundingan dan perjanjian bilateral antar kedua Negara untuk membahas masalah kebudayaan.


Jika masalah tidak bisa teratasi lagi dan menimbulkan perdebatan yang panjang maka untuk menentukan lebih lanjut permasalahan akan dibawa ke International Court of Justice (Mahkamah Internasional) yang dimana langkah dan proses butuh waktu yang cukup lama dan memakan dana yang lebih besar.



Dengan dibawanya permasalahan ke Mahkamah Konstitusi maka penyelesaian konflik kebudayaan selesai secara tuntas.



Peran masyarakat juga sangat penting untuk menjaga, melestarikan juga mempublikasikan kepada dunia luar. Generasi muda memiliki peran yang sangat penting dalam hal mendukung kelestarian budaya. Cara mendukung pertama, dengan Culture Exprerince yang merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan terjun langsung kedalam pengalaman kultural. Hal ini seperti jika kebudayaan tersebut berbentuk tarian maka diajarilah masyarakat tentang tarian tersebut dan membuat festival kebudayaan.


Membuat acara festival ini tidak harus diadakan setiap bulan bisa diadakan setiap 3 bulan sekali agar kebudayaan daerah itu tidak hilang dan selalu terjaga.

Kedua dengan cara Culture Knowledge. Culture Knowledge ini juga merupakan pelestarian budaya dengan cara membuat pusat informasi.


Pusat informasi bisa berbentuk video atau foto pengenalan budaya ke sosial media. Banyak cara untuk memberikan informasi tentang budaya-budaya agar tidak di klaim oleh Negara lain.

Tujuan ini untuk mengedukasikan agar budaya-budaya Indonesia terkhusus budaya lokal berkembang dengan baik dan potensi kepariwisataan daerah.

Terfokus kepada budaya lokal yang mulai hilang terkikis jaman maka dari itu para generasi muda sangat berperan penting untuk memperkenalkan budaya-budaya daerah dan budaya Indonesia secara luas.

Baca juga: Memahami filsafat sejarah dengan Teori Hegel


sumber:
•Brata, Ida Bagus. 2016. “Kearifan Budaya Lokal Perekat Identitas Bangsa” dalam Jurnal Bakti Saraswati Vol. 5, No.1 hlm. 9-13.
•Nahak, Hildigardis M.I. 2019. “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia di Era Globalisasi” dalam Jurnal Sosiologi Nusantara Vol. 5 No.1 hlm. 69-72.
•Pranoto, Suhartono W. 2005. Budaya Daerah dalam Era Desentralisasi. (Online) (https://media.neliti.com/media/publications/11812-ID-budaya-daerah-dalam-era-desentralisasi.pdf) diakses tanggal 23 Oktober 2020
•Purnamasari, Wulan Anggiet. 2015. “Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya Antar Negara: Sengketa Lagu Rasa Sayange Antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia” dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.45 hlm. 471-479.
•Sunarti, Linda. 2013. “Menelusuri Akar Konflik Warisan Budaya antara Indonesia dengan Malaysia” dalam Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusian 6(1). hlm. 77-84.
•Syaltout, Mahmud. 2009. “Penyelesaian Konflik Warisan Budaya: Belajar Dari Kasus Tari Pendet” dalam Jurnal Konstitusi Vol. 6 No. 4.
•Tulus Warsito dan Wahyuni Kartikasari. 2007. Diplomasi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
•Zed, Mestika. 2015. Hubungan Indonesia-Malaysia “Perspektif Budaya dan Keserumpunan Melayu Nusantara Nusantara” dalam Jurnal Tingkap Vol. 11, No. 2 hlm. 140-154z



(Penulis: Anlisa Lailan Kamila,semester 5jurusan Ilmu SejarahFakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang)