Jakarta (ANTARA) - Ada teman wartawan dari daerah bertanya, mengapa sih moralitas sangat penting bagi profesi wartawan?
Saya lalu menceritakan ulang apa yang pernah disampaikan rekan Wina Armada di pelatihan jurnalistik. Katanya, “Seorang suami akan marah apabila istrinya dicolek dan disentuh, tetapi ketika memeriksakan kehamilan istrinya ke seorang ginekolog, si suami bahkan mau membayar meski istrinya disentuh dan bahkan pada tahap tertentu dipegang payudara atau kelaminnya untuk mengetahui tahap kehamilan si istri. Mengapa suami percaya, karena dia yakin akan profesionalisme dan moralitas si dokter.”
Profesionalisme dokter sudah melekat di benak masyarakat, sehingga hampir tidak pernah ada gugatan atas tindakan medis yang dilakukannya, walau di satu dua kasus selalu ada saja protes keluarga pasien. Sementara untuk profesi wartawan, ada masa dimana mereka dianggap sebagai guru masyarakat karena memilah apa yang penting dan bermanfaat, dan bertindak melulu untuk kepentingan publik. Wartawan dulu adalah tokoh, yang reputasinya dipuji.
Mungkin saat ini kepercayaan publik mulai surut dan barangkali ada pada titik yang rendah, meskipun untuk media tingkat kepercayaan sebagaimana hasil survei Edelman tahun 2022, masih relatif tinggi yakni 73, naik dari 72 tahun lalu. Semakin banyaknya orang yang menyatakan dirinya wartawan, membuat rentang kompetensinya bisa dari A sampai Z. Mulai dari yang sangat kompeten, diakui kehebatannya sampai di dunia internasional, sampai yang sangat tidak kompeten sehingga menulis berita saja terbata-bata dan tidak faham Kode Etik Jurnalistik.
Pentingnya moralitas sebagai wujud dari profesionalisme seharusnya ditampakkan seorang wartawan dalam enam kegiatan jurnalistik, yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, dalam segala bentuk dan platform-nya. Di dalam uji kompetensi, kode etik sudah diterapkan pada saat membuat usulan liputan, jadi moralitas sudah harus ada saat merencanakan. Sebab kalau di hulu cacat, tentu hasil akhirnya sebagai berita akan cacat pula. Bisa jadi, ada itikad tidak baik, atau keberpihakan, upaya menyesatkan informasi, dsb yang dikemas dengan imbalan tertentu.
Wartawan yang bergabung dalam organisasi profesi memiliki tanggungjawab lebih, karena selain bekerja di sebuah perusahaan pers, dia adalah anggota. Dia dituntut untuk menjaga marwah dan martabat organisasinya, yang diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga atau Statuta, ditambah dengan Kode Etik organisasi. Padahal dia sudah harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia, yang disepakati masyarakat pers dan ditetapkan sebagai Peraturan Dewan Pers pada 14 Maret tahun 2006.
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun -Kredibilitas wartawan
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Soal berita sepihak
***
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), memberi penekanan pada sifat yang harus dimiliki anggotanya sebagai manusia di Pasal 1, dan baru masuk ke bagaimana dia sikap yang harus dimiliki dalam profesinya sebagai wartawan di Pasal 2. Ini berbeda dengan KEJ Dewan Pers, yang lebih menekankan pada profesi kewartawanan. Mari kita lihat:
KEJ PWI, Pasal 1: Wartawan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat Undang-Undang Dasar Negara RI, ksatria, bersikap independen serta terpercaya dalam mengemban profesinya.
KEJ Dewan Pers, Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Jelas terlihat, bagi PWI soal moralitas sangat penting, ditandai dengan keharusan beriman dan bertakwa kepada Sang Pencipta, kemudian juga harus menjadi warga negara sejalan dengan ideologi bangsa, dan tunduk pada konstitusi negara. Anggota PWI jelas diposisikan sebagai orang beriman terlebih dahulu, Pancasilais, taat pada undang-undang dasar, baru kemudian dia menjadi wartawan yang profesional. Artinya, anggota PWI menekankan pada kewargaan Indonesia dulu, baru profesi kewartawanan.
Sementara di KEJ Dewan Pers, yang dikedepankan adalah profesinya, tidak peduli apakah itu lalu berseberangan atau bertentangan dengan statusnya sebagai warga negara atau tidak. Wartawan adalah profesi yang bebas domisili, bebas negara. Acuannya memang kewartawan yang bersifat universal, hak asasi universal, mengacu pada globalisme.
Di Pasal 1 itu ada kata ksatria dan terpercaya, dua kata yang membuat kita membayangkan keluhuran budi, sikap arif bijaksana, bertanggungjawab, menjunjung tinggi kebenaran, rendah hati, jujur, yang seharusnya menjadi salah satu ciri anggota PWI dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Tentu saja sifat-sifat itu ideal dan tidak mudah dijalankan, tetapi setidaknya itulah harapan para pendiri dan pendahulu PWI yang kita hormati kepada orang yang sukarela masuk ke organisasi PWI. Dan mereka yang menjadi pengurus PWI baik di tingkat nasional, provinsi, ataupun kabupaten-kota, berkewajiban menjaga kewibawaan organisasinya dengan terus mengawal agar anggotanya taat pada Kode Etik.
Baca juga: Tok ! Mahkamah Konstitusi putuskan, tolak seluruh gugatan uji materiil UU Pers
Baca juga: Sertifikasi wartawan kewenangan Dewan Pers
***
Heboh kasus anggota polisi Umbaran Wibowo yang sempat menjadi wartawan selama 14 tahun dan menjadi anggota PWI dengan status Wartawan Madya, sedikit banyak menggerus rasa percaya masyarakat pada profesi wartawan. Bisa jadi ada masyarakat yang akan bertanya-tanya apakah wartawan yang dihadapinya wartawan sungguhan atau apparat penegak hukum yang sedang menyamar? Di sisi lain moralitas wartawan juga akan menurun karena kolegialisme jadi ikut terusik, bisa jadi dia tidak lagi memercaya rekan kerjanya yang kebetulan sama-sama meliput suatu peristiwa.
Walaupun selama ini di daerah tertentu banyak wartawan yang tahu bahwa ada banyak orang yang menjadikan pekerjaan wartawan sebagai tameng untuk mendapatkan informasi dari masyarakat, kasus Umbaran Wibowo, menimbulkan trauma. Pemecatan yang telah dilakukan Dewan Kehormatan PWI—untuk ditindaklanjuti Pengurus PWI Pusat-- belum akan segera memulihkan kepercayaan. Karena dampaknya tidak hanya terkait dengan PWI tetapi prfesi wartawan secara keseluruhan. Dewan Kehormatan PWI juga seharusnya menyisir kembali anggota-anggota PWI secara menyeluruh, baik secara langsung maupun melalui DK Provinsi, sehingga kasus seperti Umbaran Wibowo tidak terjadi lagi. Bisa juga dengan menunggu pengaduan dan informasi dari masyarakat.
Saya beberapa kali mendapat informasi di sejumlah provinsi ada ASN yang memiliki kartu kompetensi, padahal dia tidak melakukan kerja jurnalistik, dengan tujuan untuk menakut-nakuti atasannya atau mengambil keuntungan pribadi. Sayangnya informasi yang diberikan tidak lengkap jadi tidak dapat dilaporkan baik ke Dewan Pers ataupun ke Pengurus PWI Pusat.
Baca juga: Dewan Pers diberi wewenang sertifikasi jurnalis karena UU "lex specialis"
Baca juga: Kisruh uji kompetensi wartawan, Dirjen IKP tegaskan hanya Dewan Pers lakukan sertifikasi jurnalis
***
Kembali ke soal moralitas, dalam tarafnya yang tertinggi, seseorang yang merasa bahwa dirinya sudah tidak layak menjadi wartawan, akan mengundurkan diri secara ksatria. Saat memimpin di suatu media, ada dua anak buah saya yang menyampaikan surat berhenti karena dia tidak lagi merasa cukup pantas menjadi wartawan. Alasannya, pendapatan tidak memadai dan dia tidak mau mencederai kewartawanannya. Saya bangga karena mereka kini dalam posisi yang baik di sebuah perusahaan swasta, dengan gaji yang mungkin 5 kali lipat dibanding pendapatan saat menjadi wartawan.
Bukan hanya di sini, bahkan di Amerika Serikat ada pemenang Pulitzer yang memilih berhenti dan pindah pekerjaan menjadi public relations di perusahaan swasta, dengan alasan bahwa masa depan perusahaan media tidak lagi menjanjikan. Dan perhitungannya benar karena gelombang PHK di negeri itu terus terjadi, karena pendapatan terus berkurang drastic dan bisnis media memasuki senjakala.
Anehnya di Indonesia, jumlah wartawan malah semakin banyak, seperti juga jumlah media siber yang terus meningkat meski banyak yang dalam status hidup segan mati tak mau. Begitu pula dengan jumlah organisasi wartawan, yang terus bermunculan baik di tingkat lokal maupun nasional. Entah apa makna dari fenomena ini, karena faktanya, skala ekonomi media makin mengkerut, dan kompetisi memperebutkan kue iklan dan anggaran APBD semakin sengit.
Mengurus media dan wartawan akan semakin sulit bagi Dewan Pers dan organisasi wartawan Konsituen Dewan Pers, khususnya PWI, AJI, IJTI, PFI dan organisasi perusahaan pers SPS, SMSI, AMSI, JMSI. Menjaga moralitas dan meyakini bahwa para wartawan dan perusahaan media itu memahami dan menjalankan kode etik jurnalistik, menjadi tugas yang amat berat.
Wallahu alam bishawab.
Ciputat 17 Desember 2022
(* Hendry CH Bangun,
- wartawan senior
- Mantan Wakil Ketua Dewan Pers )
Baca juga: Dewan Kehormatan PWI ingatkan pengurus "nyaleg" harus mundur
Baca juga: DK PWI apresiasi dianulir Rahmad Effendi, calon penerima Anugerah Kebudayaan
Saya lalu menceritakan ulang apa yang pernah disampaikan rekan Wina Armada di pelatihan jurnalistik. Katanya, “Seorang suami akan marah apabila istrinya dicolek dan disentuh, tetapi ketika memeriksakan kehamilan istrinya ke seorang ginekolog, si suami bahkan mau membayar meski istrinya disentuh dan bahkan pada tahap tertentu dipegang payudara atau kelaminnya untuk mengetahui tahap kehamilan si istri. Mengapa suami percaya, karena dia yakin akan profesionalisme dan moralitas si dokter.”
Profesionalisme dokter sudah melekat di benak masyarakat, sehingga hampir tidak pernah ada gugatan atas tindakan medis yang dilakukannya, walau di satu dua kasus selalu ada saja protes keluarga pasien. Sementara untuk profesi wartawan, ada masa dimana mereka dianggap sebagai guru masyarakat karena memilah apa yang penting dan bermanfaat, dan bertindak melulu untuk kepentingan publik. Wartawan dulu adalah tokoh, yang reputasinya dipuji.
Mungkin saat ini kepercayaan publik mulai surut dan barangkali ada pada titik yang rendah, meskipun untuk media tingkat kepercayaan sebagaimana hasil survei Edelman tahun 2022, masih relatif tinggi yakni 73, naik dari 72 tahun lalu. Semakin banyaknya orang yang menyatakan dirinya wartawan, membuat rentang kompetensinya bisa dari A sampai Z. Mulai dari yang sangat kompeten, diakui kehebatannya sampai di dunia internasional, sampai yang sangat tidak kompeten sehingga menulis berita saja terbata-bata dan tidak faham Kode Etik Jurnalistik.
Pentingnya moralitas sebagai wujud dari profesionalisme seharusnya ditampakkan seorang wartawan dalam enam kegiatan jurnalistik, yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, dalam segala bentuk dan platform-nya. Di dalam uji kompetensi, kode etik sudah diterapkan pada saat membuat usulan liputan, jadi moralitas sudah harus ada saat merencanakan. Sebab kalau di hulu cacat, tentu hasil akhirnya sebagai berita akan cacat pula. Bisa jadi, ada itikad tidak baik, atau keberpihakan, upaya menyesatkan informasi, dsb yang dikemas dengan imbalan tertentu.
Wartawan yang bergabung dalam organisasi profesi memiliki tanggungjawab lebih, karena selain bekerja di sebuah perusahaan pers, dia adalah anggota. Dia dituntut untuk menjaga marwah dan martabat organisasinya, yang diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga atau Statuta, ditambah dengan Kode Etik organisasi. Padahal dia sudah harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia, yang disepakati masyarakat pers dan ditetapkan sebagai Peraturan Dewan Pers pada 14 Maret tahun 2006.
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun -Kredibilitas wartawan
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Soal berita sepihak
***
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), memberi penekanan pada sifat yang harus dimiliki anggotanya sebagai manusia di Pasal 1, dan baru masuk ke bagaimana dia sikap yang harus dimiliki dalam profesinya sebagai wartawan di Pasal 2. Ini berbeda dengan KEJ Dewan Pers, yang lebih menekankan pada profesi kewartawanan. Mari kita lihat:
KEJ PWI, Pasal 1: Wartawan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat Undang-Undang Dasar Negara RI, ksatria, bersikap independen serta terpercaya dalam mengemban profesinya.
KEJ Dewan Pers, Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Jelas terlihat, bagi PWI soal moralitas sangat penting, ditandai dengan keharusan beriman dan bertakwa kepada Sang Pencipta, kemudian juga harus menjadi warga negara sejalan dengan ideologi bangsa, dan tunduk pada konstitusi negara. Anggota PWI jelas diposisikan sebagai orang beriman terlebih dahulu, Pancasilais, taat pada undang-undang dasar, baru kemudian dia menjadi wartawan yang profesional. Artinya, anggota PWI menekankan pada kewargaan Indonesia dulu, baru profesi kewartawanan.
Sementara di KEJ Dewan Pers, yang dikedepankan adalah profesinya, tidak peduli apakah itu lalu berseberangan atau bertentangan dengan statusnya sebagai warga negara atau tidak. Wartawan adalah profesi yang bebas domisili, bebas negara. Acuannya memang kewartawan yang bersifat universal, hak asasi universal, mengacu pada globalisme.
Di Pasal 1 itu ada kata ksatria dan terpercaya, dua kata yang membuat kita membayangkan keluhuran budi, sikap arif bijaksana, bertanggungjawab, menjunjung tinggi kebenaran, rendah hati, jujur, yang seharusnya menjadi salah satu ciri anggota PWI dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Tentu saja sifat-sifat itu ideal dan tidak mudah dijalankan, tetapi setidaknya itulah harapan para pendiri dan pendahulu PWI yang kita hormati kepada orang yang sukarela masuk ke organisasi PWI. Dan mereka yang menjadi pengurus PWI baik di tingkat nasional, provinsi, ataupun kabupaten-kota, berkewajiban menjaga kewibawaan organisasinya dengan terus mengawal agar anggotanya taat pada Kode Etik.
Baca juga: Tok ! Mahkamah Konstitusi putuskan, tolak seluruh gugatan uji materiil UU Pers
Baca juga: Sertifikasi wartawan kewenangan Dewan Pers
***
Heboh kasus anggota polisi Umbaran Wibowo yang sempat menjadi wartawan selama 14 tahun dan menjadi anggota PWI dengan status Wartawan Madya, sedikit banyak menggerus rasa percaya masyarakat pada profesi wartawan. Bisa jadi ada masyarakat yang akan bertanya-tanya apakah wartawan yang dihadapinya wartawan sungguhan atau apparat penegak hukum yang sedang menyamar? Di sisi lain moralitas wartawan juga akan menurun karena kolegialisme jadi ikut terusik, bisa jadi dia tidak lagi memercaya rekan kerjanya yang kebetulan sama-sama meliput suatu peristiwa.
Walaupun selama ini di daerah tertentu banyak wartawan yang tahu bahwa ada banyak orang yang menjadikan pekerjaan wartawan sebagai tameng untuk mendapatkan informasi dari masyarakat, kasus Umbaran Wibowo, menimbulkan trauma. Pemecatan yang telah dilakukan Dewan Kehormatan PWI—untuk ditindaklanjuti Pengurus PWI Pusat-- belum akan segera memulihkan kepercayaan. Karena dampaknya tidak hanya terkait dengan PWI tetapi prfesi wartawan secara keseluruhan. Dewan Kehormatan PWI juga seharusnya menyisir kembali anggota-anggota PWI secara menyeluruh, baik secara langsung maupun melalui DK Provinsi, sehingga kasus seperti Umbaran Wibowo tidak terjadi lagi. Bisa juga dengan menunggu pengaduan dan informasi dari masyarakat.
Saya beberapa kali mendapat informasi di sejumlah provinsi ada ASN yang memiliki kartu kompetensi, padahal dia tidak melakukan kerja jurnalistik, dengan tujuan untuk menakut-nakuti atasannya atau mengambil keuntungan pribadi. Sayangnya informasi yang diberikan tidak lengkap jadi tidak dapat dilaporkan baik ke Dewan Pers ataupun ke Pengurus PWI Pusat.
Baca juga: Dewan Pers diberi wewenang sertifikasi jurnalis karena UU "lex specialis"
Baca juga: Kisruh uji kompetensi wartawan, Dirjen IKP tegaskan hanya Dewan Pers lakukan sertifikasi jurnalis
***
Kembali ke soal moralitas, dalam tarafnya yang tertinggi, seseorang yang merasa bahwa dirinya sudah tidak layak menjadi wartawan, akan mengundurkan diri secara ksatria. Saat memimpin di suatu media, ada dua anak buah saya yang menyampaikan surat berhenti karena dia tidak lagi merasa cukup pantas menjadi wartawan. Alasannya, pendapatan tidak memadai dan dia tidak mau mencederai kewartawanannya. Saya bangga karena mereka kini dalam posisi yang baik di sebuah perusahaan swasta, dengan gaji yang mungkin 5 kali lipat dibanding pendapatan saat menjadi wartawan.
Bukan hanya di sini, bahkan di Amerika Serikat ada pemenang Pulitzer yang memilih berhenti dan pindah pekerjaan menjadi public relations di perusahaan swasta, dengan alasan bahwa masa depan perusahaan media tidak lagi menjanjikan. Dan perhitungannya benar karena gelombang PHK di negeri itu terus terjadi, karena pendapatan terus berkurang drastic dan bisnis media memasuki senjakala.
Anehnya di Indonesia, jumlah wartawan malah semakin banyak, seperti juga jumlah media siber yang terus meningkat meski banyak yang dalam status hidup segan mati tak mau. Begitu pula dengan jumlah organisasi wartawan, yang terus bermunculan baik di tingkat lokal maupun nasional. Entah apa makna dari fenomena ini, karena faktanya, skala ekonomi media makin mengkerut, dan kompetisi memperebutkan kue iklan dan anggaran APBD semakin sengit.
Mengurus media dan wartawan akan semakin sulit bagi Dewan Pers dan organisasi wartawan Konsituen Dewan Pers, khususnya PWI, AJI, IJTI, PFI dan organisasi perusahaan pers SPS, SMSI, AMSI, JMSI. Menjaga moralitas dan meyakini bahwa para wartawan dan perusahaan media itu memahami dan menjalankan kode etik jurnalistik, menjadi tugas yang amat berat.
Wallahu alam bishawab.
Ciputat 17 Desember 2022
(* Hendry CH Bangun,
- wartawan senior
- Mantan Wakil Ketua Dewan Pers )
Baca juga: Dewan Kehormatan PWI ingatkan pengurus "nyaleg" harus mundur
Baca juga: DK PWI apresiasi dianulir Rahmad Effendi, calon penerima Anugerah Kebudayaan