Masa depan pers di tengah badai disrupsi dan pandemi

id Telaah,Hpn 2021

Masa depan pers di tengah badai disrupsi dan pandemi

Sang Nahkoda/pemerintah (Menteri BUMN)

Tanjung Selor (ANTARA) - Adagium bijak, pelaut ulung tak terlahir dari laut yang tenang tapi yang telah teruji oleh ombak besar dan badai.

Pribahasa ini sangat tepat dikaitkan dengan kondisi terkini yang dihadapi oleh semua bangsa termasuk Indonesia, khususnya menghadapi dua badai dasyat.

Badai pertama, yakni "kekacauan dunia" akibat perubahan sistem, tatanan dan lanscape yang ada kepada hal-hal baru (disrupsi) di era revolusi industri 4.0.

Badai kedua, adalah terjadinya pandemi COVID-19 yang kian mempercepat perubahan atas "kekacauan dunia" itu.

Menghadapi dua badai itu tidak hanya dibicarakan, tetapi memang menjadi kondisi nyata saat ribuan awak media merayakan Hari Pers Nasional (HPN) 2021, belum lama ini.

Kegiatan HPN sukses dengan berlayar memanfaatkan bahtera kemajuan teknologi informasi untuk mengarungi gelombang disrupsi (secara luring dan dering), serta menerapkan perubahan prilaku dalam hadapi badai pandemi COVID-19 (menjalankan protokol kesehatan secara ketat).

Pelayaran menghadapi dua badai itu, menimbulkan harapan dan kekuatan ketika nahkoda (pemerintah) menyampaikan optimisme dan catatan keberhasilan serta navigasi jelas untuk mencapai tujuan.

Sang nahkoda (pemerintah) melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir di Jakarta, saat Konvensi Nasional Media Massa
(08/02/2021) mengumumkan, perekonomian Indonesia kini berada dititik yang jauh lebih baik ketimbang negara lain seperti Fillipina, Singapura, Jerman, Italia, Perancis, hingga Amerika Serikat (AS).

“Kita tidak bisa bicara ke depan akan jadi yang terbaik, tetapi kita di titik yang pasti jauh lebih baik,” kata Erick Thohir.

Ekonomi Indonesia sepanjang 2020 hanya terkontraksi 2,07 persen (yoy) dengan realisasi kuartal IV sebesar minus 2,19 persen atau lebih baik dibandingkan kuartal III 3,49 persen.

Ekonomi Indonesia diperkirakannya akan benar-benar terakselerasi secara baik pada 2022 dengan masa-masa pada tahun ini merupakan momentum transisi.

Basis pembicaraan dia untuk dilihat dilihat kondisi sekarang, yakni terbukti di akhir 2020 secara kuartal IV masih banyak negara pertumbuhannya negatif.

Ia pun menegaskan dalam rangka mengakselerasi perekonomian yang lebih baik pada tahun depan, maka pemerintah akan terus fokus untuk mengatasi krisis utamanya terlebih dahulu yakni pandemi COVID-19.

Jika penyebaran dan angka kasus COVID-19 mampu diatasi dengan baik maka perekonomian Indonesia akan bisa bekerja, bergerak, dan tumbuh.

“Kita juga harus pastikan bagaimana sejak awal pemerintah selalu bicara program Indonesia sehat yaitu COVID-19 nya dulu harus diatasi baru kita bisa bicara Indonesia bekerja dan tumbuh,” kata Erick Thohir.

Ia memastikan BUMN sesuai dengan penugasan dan kreativitas akan terus menjadi yang terdepan yakni tidak hanya korporasi namun juga bertanggung jawab secara public service terutama dalam penanganan pandemi.

Ia mencontohkan berbagai hal yang telah dilakukan oleh BUMN mulai dari memastikan jumlah tempat tidur sehingga mampu memenuhi kebutuhan pasien COVID-19 hingga mengubah Wisma Atlet menjadi tempat penanganan COVID-19.

Hal itu diungkapkan dalam sesi pertama Konvensi Nasional Media Massa HPN 2021 bertajuk "Membangun Ekosistem Pers Nasional Yang Berkelanjutan".

Asa awak media

Khusus dunia media massa, Ketua Umum PWI Atal S Dapari mengakui kini sedang menghadapi badai dasyat.

Pers Indonesia tengah menghadapi dua krisis berat yang berlangsung bersamaan.

Dua krisis ini diperburuk dengan datangnya pandemi COVID-19 sehingga badai ini menenggelamkan
banyak perusahaan pers sehingga terjadi PHK massal.

"Kalau pun berpindah format ke digital, belum bisa segera pulih sebagaimana biasa," tuturnya.

Krisis kedua, adalah krisis eksistensi akibat disrupsi digital. Tekanan disrupsi muncul bersamaan dengan semakin kuatnya penetrasi bisnis perusahaan platform digital di Indonesia dan dunia. Perkembangan pesat media baru (media sosial, mesin pencari, dan situs e-commerce) mengguncang daya hidup media konvensional (cetak, radio, dan televisi).

Platform digital (antara lain Googledan Facebook) semakin mendominasi ranah media. Semakin berpengaruh terhadap kehidupan publik, pendapatan iklan, dan menggeser kedudukan media massa konvensional.

"Kita lihat bagaimana, misalnya, Google, Facebook dan perusahaan aggregator digital mengambil konten-konten perusahaan media, tanpa memberikan kompensasi yang layak," papar Atal.

Sementara, dengan konten-konten itu mereka kian didatangi publik pembaca dan pengiklan, sesuatu yang kian jarang hadir untuk beriklan di media massa, termasuk daring.

Dalam konteks ini, perlu dirumuskan aturan main yang lebih transparan, adil, dan menjamin kesetaraan antara platform digital dan penerbit media. Di beberapa negara hal ini tengah berlangsung, misalnya di Jerman dan Prancis. Semoga saja perkembangan di kedua negara itu pun bisa menginspirasi dan menggugah perusahaan tersebut di sini, untuk melakukan hal yang sama.

Untuk itu, imbuhnya memang dibutuhkan regulasi yang memungkinkan koeksistensi antara media lama dan media baru, yang sebenarnya saling membutuhkan. Dan di sinilah pemerintah berperan.

"Sejauh mana HPN 2021 dikaitkan adaptasi perubahan prilaku (protkes) terkait pandemi COVID-19?
Sejak pandemi merebak, pers Indonesia (Dewan Pers, PWI, dll) tidak tinggal diam. PWI pun terus mendorong pers untuk menulis atau memberitakan dengan mempertimbangkan sisi korban, dalam hal ini korban COVID-19," katanya.

Apalagi hal itu telah diakomodasi dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) Tahun 201, yang pada pasal 49 mengatur bahwa program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban, keluarga, dan/atau masyarakat yang terkena bencana atau musibah.

Dalam Pasal 50 ditegaskan, program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah dilarang menambah penderitaan atau trauma korban, keluarga, dan masyarakat.

Nah, pers dengan kemampuannya sebagai komunitas cerdas segera adaptif. PWI saat itu segera mewajibkan insan pers untuk mengikuti protokol kesehatan WHO yang berlaku, dalam segala aktivitas jurnalistik, mulai dari pencarian bahan (pergi meliput ke lapangan, riset, atau bahkan lebih memperbanyak wawancara per telepon untuk menurangi kontak), saat menulis dan seterusnya.

Pastikan selalu memakai masker, apalagi bila ditambah dengan face shield sehingga memastikan tak ada droplet orang yang mengena ke muka kita. Jaga jarak aman (social distancing), dan mencuci tanganlah sesering mungkin.

Saat itu pun PWI menyarankan adanya dua adaptasi untuk dilakukan pers, yakni pada sisi konten via wartawannya, serta pada sisi bisnis. Lebih jelas tentang hal itu bisa dicari di situs pencarian.

Apa hambatan/catatan hadapi disrupsi dan perubahan prilaku yang harus dibenahi, yakni
mau tak mau, pers harus berubah.

Sejarah mengajarkan, hukum Darwin "survival of the fittest" (keberlangsungan hidup makhluk yang paling fit)itu hanya berlaku pada makhluk yang mau berubah seiring tantangan yang datang.

Selain mengubah cara-cara penggalian bahan, mendapatkan konten dan membuatnya, dengan mempertimbangkan hambatan karena pandemi, yang jelas insan pers harus kian lebih kreatif dalam segala hal, mulai dari membuat konten hingga sisi bisnis pers.

"Kita mendapatkan banyak 'benchmark' (tolok ukur) berbagai perusahaan pers besar dunia yang bisa tegar menghadapi krisis ekonomi dan krisis eksistensi yang dihadapi pers. Beberapa melakukan hal yang berbeda dengan hasil yang tak sama. Senyampang belum menemukan cara sendiri yang paling pas untuk kita, tentunya mengikuti cara-cara mereka, melakukan trial and error, seraya membuatnya pas dengan kondisi kita" kata Atal.

Harapannya terhadap masa depan media massa di era disrupsi era 4.0 dan perubahan prilaku karena pandemi, yakni di pertengahan 2020, saat Pandemi masih awal-awal, PWI sudah bicara tentang jurnalisme harapan sebagai salah satu cara agar kita bisa menyintas pandemi ini. Jurnalisme Harapan ini sederhananya adalah jurnalisme yang memompa harapan, membesarkan asa.

Mengapa jurnalisme harapan? Sebab harapan itu tidak merupakan hal yang sia-sia.

Harapan, pada prosesnya akan membangkitkan tekad yang membuat kita semua tahu target di depan serta koridor yang membatasi langkah. Dengan bimbingan itu, langkah dan upaya kita untuk mewujudkannya pun bisa lebih terarah, terukur dan jelas.

Ke depan, seyogyanya upaya pemerintah bisa berjalin kelindan dalam sebuah sinergi yang erat dengan pers.

Pemerintah dan pers diharapkannya harus bisa mengoptimalkan fakta keuletan, penuh harapan harapan hidup dan keberanian yang kadang cenderung nekat, yang merupakan potensi warga kita itu, bisa dioptimalkan dan digunakan dengan sebaik-baiknya.

"Saya katakan dalam pidato HPN 2021, bahwa dalam kondisi saat ini, Dalam konteks ini, seyogyanya pemerintah segera memberikan insentif ekonomi untuk industri pers nasional yang pernah dijanjikan Pemerintah. Itu pula yang menjadi salah satu kesimpulan dari Konvensi Nasional Media Massa yang kami selenggarakan," kata Atal.

Senyampang itu, pemerintah, asosiasi media, para penerbit, dan Dewan Pers perlu membuat regulasi tentang publisher right atau hak-hak terkait dengan karya jurnalistik yang diagregasi oleh platform digital.

Platform digital harus bertanggung jawab atas konten-konten yang mereka sebarkan, serta mesti menjadi subyek hukum dalam kasus-kasus hoaks.

Mereka juga harus berjalan di atas prinsip content sharing for revenue sharing and data sharing secara adil dan transparan.

Harapan terakhir Atal, yakni seperti yang terjadi di wilayah lain, negara harus segera hadir mengatur hal-hal ini secara proporsional dan partisipatif sehingga tercipta iklim bisnis yang setara dan adil.

Kini dan Nanti

Terkait masa depan pers ini kata Asro Kamal Rokan, wartawan senior.

"Sejak 9 Februari 1946, ketika PWI dilahirkan, perubahan terus terjadi hingga kini dan nanti," kata Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005) dan Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007) mengawali.

Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023) menyebutkan sekitar sepuluh tahun lalu, tidak ada yang membayangkan situasi berubah drastis karena kemajuan teknologi informasi. Media cetak ditinggalkan pembaca, yang beralih ke platform media online.

Tapi, imbuhnya ini tidak berarti eksistensi wartawan berakhir. Teknologi ibarat kendaraan, dengan teknologi yang terus berubah. Wartawan pembuat konten -- driver atau penumpang yang berada di dalam mobil. Teknologi mengantarkan konten ke tujuannya.

Ia menilai HPN 2021 telah berlansung sukses di tengah pandemi COVID-19. Puncak acara melalui virtual. Ini pertama dalam sejarah HPN. Akhirnya, manusia menyesuaikan diri dengan situasi.

Awalnya, tidak nyaman, tapi keselamatan lebih penting. Sisi positifnya, biaya penyelenggaraan HPN bisa lebih ditekan. Lebih fokus.

Kemajuan teknologi informasi dan efek pendemi COVID-19, mengubah banyak hal, terutama kultur, kebiasaan yang sudah berpuluh tahun.

Media tetap ada, hanya platformnya berubah. Dahulu orang menulis di batu, kulit kayu, lontar, dan sebagainya. Kemudian berubah ke kertas, menggunakan mesin tik dan berbagai peralatan modern. Alatnya berubah, tetapi hingga kini orang tetap menulis. Dulu berita dibacakan di radio dan televisi, kini platformnya berubah, cukup melalui gadget. Tapi berita tetap dibacakan hingga kini.

"Ini keniscayaan, tidak ada yang bisa menolaknya. Wartawan, media, dan manusia umumnya, tidak punya pilihan, kecuali menyesuaikan diri," katanya .

Bagaimana masa depan pers tanah air di mata wartawan negara sahabat, HM. Nasir Yusoff, wartawan senior Malaysia memuji pelaksaan HPN 2021 di tengah badai itu.

"Kejayaan pelaksanaannya sesuai tanggal keramatnya membuktikan kesepaduan tinggi dalam kalangan keluarga besar pers RI," kata HM. Nasir Yusoff, pengamat media dan international relations, juga Sekjen ISWAMI (Ikatan Kesetiakawanan Wartawan Malaysia-Indonesia) itu.

"Insan pers (Indonesia) secara halus dan lembut menunjukkan kepada pemerintah bahawa mereka memang tonggak keempat (The Fourth Estate) yang sah wujud dalam amalan demokrasi. Kekuatan insan pers bersatu dalam perjuangan tidak kalah dengan kekuatan tonggak eksekutif, legislatif dan judiciary," paparnya.

"Pelaksanaan secara maya membayangkan keupayaan adaptasi terhadap teknologi dan pemodenan melangkaui tanda aras 4.0 yg tinggi di kalangan insan pers RI. Jelas keupayaan memanfaatkan teknologi online bukanlah sesuatu yang asing atau baru bagi insan pers RI walaupun ramai yang tergolong 'udah senior banget'," katanya.

Semua ini sangat menjanjikan masa depan yang cerah dan gagah buat industri pers.

"Pers bercetak mungkin kian merosot jualannya tapi ia tidak harus menyekat pemain industri pers daripada berfikir di luar kotak. Mudah banget. Apa yang trending semasa dan terkini, di kalangan 'targetted market audients' gampang 'disearch online'. Adaptasilah biarpun harus mendenai seribu arah," asa wartawan senior negeri jiran itu.

Demikian optimisme terhadap pers nasional --bisa jadi cerminan seluruh unsur kehidupan bangsa Indonesia-- dalam melewati masa sulit akibat badai disrupsi dan pandemi.

Seperti yang disinggung Atal tentang hukum Darwin "survival of the fittest", maka ada kebenaran dari frasa, individu "bugar" (fit, dalam konteks ini mampu beradaptasi dengan perubahan) lebih mungkin selamat menghadapi badai ujian ketimbang individu "tidak bugar".


Baca juga: Presiden Jokowi sebut aspirasi pers ditampung di UU Cipta Kerja

Baca juga: Ketum PWI : Media terus bekerja karena tugas kemanusiaannya

Baca juga: Pameran sejarah terbentuknya PWI dan perjalanan HPN dari Masa ke Masa