Telaah - Cegah radikalisme di ruang pendidikan dan dunia maya

id Fkpt,Bnpt,Radikalisme,Terorisme,Ruang pendidikan,Ruang digital,Dunia pendidikan,Telaah iskandar Oleh Redaksi

Telaah - Cegah radikalisme di ruang pendidikan dan dunia maya

Sholehuddin MPd, dosen FIP Universitas Muhammadiyah Jakarta pada acara "Training Of Trainer Menjadi Guru Pelopor Moderasi Beragama", di Kabupaten Bulungan, Kaltara, Rabu (16/11/2022). (ANTARA/iskandar Zulkarnaen)

Tanjung Selor (ANTARA) - Pola penyebaran paham radikal terorisme dari waktu ke waktu terus bertransformasi mengikuti perkembangan zaman.

Kemajuan ruang digital juga dimanfaatkan dengan efektif oleh kelompok ini, mulai dari propaganda, ujaran kebencian, hoaks, perekrutan anggota baru, bahkan berhasil menghimpun dana untuk membiayai kegiatan mereka.

Sering dijadikan contoh kasus tentang keberhasilan kelompok ISIS (Negara Islam Irak Suriah) dalam mempengaruhi generasi muda dari berbagai negara dan merekruet mereka dengan memanfaatkan kemajuan teknologi di dunia maya.

Dari Tanah Air cukup banyak yang terpapar sehingga sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) tercatat menjadi teroris asing atau Foreign Terorist Fighters (FTF).

Diperkirakan ada 600-700 WNI menjadi FTF yang ditahan di sejumlah kamp di Suriah yang ternyata banyak melibatkan wanita dan anak-anak.

Oleh sebab itu, perlu membaca strategi kelompok ini secara dini guna mencegah dan menanggulangi paham radikal terorisme secara efektif.

Sun Tzu, panglima jenderal militer China --diperkirakan hidup periode 544 SM sampai 496 SM-- dalam kutipan terkenalnya, "Kenali dirimu sendiri, dan kenali pula musuhmu. Niscaya dalam 100 pertempuran akan ada 100 kali kemenangan".

Sun Tzu juga merupakan seorang filsuf yang dikenal melalui bukunya "The Art of War" mengingatkan pentingnya memahami semua potensi sendiri serta membaca strategi lawan.

Ini pesan paling terkenal meskipun ditulis sekitar 100 tahun setelah kelahiran dua tokoh filsuf, Lao Tze dan Kong Hu Chu namun ide-ide dia masih dipercaya sebagai referensi terbaik.

Dalam membaca strategi kelompok paham radikal terorisme ini, maka Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga terus melakukan kajian.

Berdasarkan hasil evaluasi pada 2021 dan disertai berbagai kenyataan, ternyata kini ruang pendidikan dan media sosial merupakan "dua wilayah" yang diperebutkan oleh kelompok radikal terorisme.

Kedua wilayah itu dinilai sangat efektif untuk mentransformasikan paham kekerasan itu sekaligus perekrutan anggota.

Penguasaan terhadap lembaga pendidikan akan memudahkan penguasaan terhadap guru, materi, proses pembelajaran, siswa dan kegiatan lain yang ada di sekolah untuk diarahkan pada paham radikal terorisme.

Guru dan bahan ajar merupakan sarana
transformasi paham radikal terorisme yang penting di sekolah karena itu BNPT berupaya membentengi lembaga pendidikan sekaligus melakukan kontra “counter attack” melalui keduanya.

Baca juga: Telaah - Mengapa wanita muda sasaran teroris untuk digaet jadi anggota ?
Baca juga: Telaah - Ini vaksin BNPT melawan virus radikalisme


Dunia pendidikan

Brigjen (Pol) R. Ahmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan pentingnya menguasai dua wilayah itu, yakni ruang pendidikan dan dunia maya atau medsos.

Alasan tersebut sehingga BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) perlu aktif menggelar pelatihan atau kegiatan yang sejenis yang dapat membekali para guru agar memiliki daya imun terhadap paham radikal.

Dunia pendidikan harus mampu mengembangkan moderasi beragama di lingkungan sekolah dan sekaligus mampu menciptakan bahan ajar yang menarik dan inspiratif dengan memasukkan konten-konten moderasi beragama sebagai strategi pencegahan terorisme dalam materi pembelajaran di sekolah.

Penting memahami apa itu "moderasi beragama" karena ada yang beranggapan sama dengan "moderasi agama" padahal sangat berbeda. Agama tak perlu dimoderasi karena agama sudah mengajarkan prinsip moderasi, yakni keadilan dan keseimbangan.

Jadi bukan agama yang harus dimoderasi melainkan cara penganut atau umat beragama dalam menjalankan agamanya.

Konsepsi moderasi beragama sudah ada dalam berbagai agama, sebut saja dalam Islam ada konsep Wasathiyah, dalam tradisi Kristen ada konsep "golden mean", dalam tradisi Hindu ada Madyhamika, dan dalam Konghucu ada konsep Zhong Yong.

Adanya moderasi beragama diharapkan seseorang tidak ekstrem dalam menjalankan ajaran agamanya, baik ekstrem kanan (pemahaman agama sangat kaku) dan ekstrem kiri (pemahaman agama sangat liberal).

Berdasarkan beberapa pertimbangan itu, Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat, Direktorat Pencegahan BNPT memfokuskan kegiatan di ruang pendidikan dan medsos dengan konten-konten moderasi beragama.

Kegiatan itu termasuk digelarnya "Training Of Trainer (ToT) Menjadi Guru Pelopor Moderasi Beragama" padaKabupaten Bulungan Kaltara oleh BNPT dan FKPT Kaltara di Tanjung Selor, Rabu (16 November 2022).

Selain mengisi ruang pendidikan, juga perlu terus melalukan kontra marasi di ruang digital sehinggal BNPT bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltara juga merangkai ToT denganLomba “Pembuatan Bahan Ajar Berupa Video Pendek Sosiodrama Moderasi Beragama".

Kegiatan melibatkan 100 guru dari berbagai sekolah tingkatan di Bulungan Kaltara itu merupakan salah satu bentuk program-programbersifat "soft approach" atau penanganan secara lunak.

Kegiatan tersebut adalah salah satu bentuk upaya BNPT menangani masalah radikalisme dan terorisme secara lunak dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, khususnya melalui partisipasi aktif kelompok kepentingan bidang pendidikan.

Terorisme adalah ancaman nyata bagi kedamaian di Indonesia. Kelompok pelaku terorisme tinggal di tengah masyarakat, membaur dalam kehidupan sehari-hari, bahkan bukan tidak mungkin ada di tengah-tengah lembaga pendidikan.

Ahmad Nurwakhid dalam sambutan tertulis dibacakan oleh Maira Himadhani, Subkoordinator Partisipasi Masyarakat BNPT pada acara ToT itu menyebut sikap selalu waspada tidak hanya untuk alasan keselamatan melainkan juga mencegah tersebarluaskannya paham berbahaya itu.

BNPT sebagai lembaga negara yang mendapatkan mandat melaksanakan penanggulangan terorisme dengan mengkoordinasikan seluruh kementerian dan lembaga yang terus berupaya menekan kejahatan luar biasa tersebut.

Ruang pendidikan sangat krusial dalam pencegahan radikalisme karena hasil penelitian BNPT 2019 itu mencatat 49,60 persen pendidikan agama diperoleh pelajar dari guru, bukan dari orangtua atau keluarga.

Baca juga: Telaah - Potensi radikalisme pada tahun politik dan pencegahan
Baca juga: Telaah - Kerawanan dan penanggulangan narkoba di perbatasan Kaltara


Ruang medsos

Dua "wilayah yang diperebutkan", yakni ruang pendidikan dan ruang dunia maya atau medsos tidak hanya dianggap penting oleh kelompok paham radikal terorisme namun juga bagi BNPT.

Pembicara dalam ToT di Kaltara itu, Sholehuddin M.Pd, Dosen FIP Universitas Muhammadiyah Jakarta menyebutkan bahwa dengan kemajuan dunia digital dua wilayah itu --ruang pendidikan dan dunia medsos-- terhubung erat.

Faktanya, khusus ruang medsos cenderung lebih banyak dikuasai oleh konten-konten negatif ketimbang konten yang bersifat mendidik, sehingga ini menjadi dasar ruang ini harus diwarnai oleh para tenaga pendidik untuk mengisinya.

Secara budaya, peranan guru di Indonesia masih sangat penting dalam membentuk karakter generasi muda. Jadi jika mereka mengisi ruang medsos ini maka tentu lebih dipercaya karena status sebagai pendidik.

Ini juga menjadi tantangan bagi para guru agar tidak sekedar mengajar namun benar-benar jadi pendidik atau teladan dalam pemahaman, bersikap dan bertindak sesuai makna moderasi beragama

Ia mengungkapkan indeks potensi radikalisme berdasar survei nasional BNPT 2020, dari pengakses internet 75,5 persen dari kelompok Gen Z (lahir 1981-2000) mencapai 93 persen, Gen Milenial (1981-2000) 85 persen dan Gen X (1965-1980) 54 persen.

Kerentanan netizen usia Gen Z itu ditambah data hasil survei 2019, yakni prilaku netizen yang mencari konten keagamaan mencapai 77 persen.

Hal ini juga menjadi dasar bagi BNPT dengan secara masif menggelar lomba"Pembuatan Bahan Ajar Berupa Video Pendek Sosiodrama Moderasi Beragama" di berbagai sekolah dan tingkatan pada 34 provinsi.

Sholehuddin yang juga Direktur Pusat Kajian Moderasi Beragama itu menjelaskan ada alasan atau strategi khusus sehingga flatform digital youtube jadi pilihan untuk mengupload video yang dilombakan.

Dari 77 persen prilaku netizen mencari konten keagamaan --sesuai survei 2019 itu-- ternyata mayoritas flatform digital yang dibuka adalah YouTube (juga mencapai 77 persen).

Sedangkan durasi YouTube yang mereka buka rata-rata 30 menit artinya mereka tidak utuh dalam memahami konten keagamaan itu.

Dari data ini, peran guru sangat penting karena kelompok rentan terpapar berada pada kelompok Gen Z dengan prilaku netizen mencari konten keagamaan cukup tinggi serta parsial.

Ia menilai langkah BNPT dan FKPT menggelar berbagai strategi dalam mencegah radikalisme dan terorisme, termasuk melalui giat ToT dan lomba pembuatan bahan ajar video pendek sosiodrama moderasi beragama adalah langkah sangat tepat.

Sholehuddin mengimbau agar para guru bisa berlomba-lomba mengisi dunia maya --khususnya YouTube-- bukan mengejar viewer dan subscriber namun membanjiri ruang flatform digital itu dengan konten positif, terutama tentang moderasi beragama.

Dikuasai ruang medsos --khususnya flatform digital YouTube-- maka otomatis akan semakin banyak tersedia bahan ajar dalam bentuk video pembelajaran yang mengandung konten moderasi beragama.

Ini menjadi salah satu strategi pencegahan terorisme di ruang dunia maya dalam bentuk materi pembelajaran di sekolah yang siap diunduh oleh siapapun, terutama bagi keperluan mengajar.

Baca juga: TELAAH - Daerah Otonomi Baru, antara asa Papua dengan realitas Kaltara
Baca juga: TELAAH - Perhutanan Sosial, asa kesejahteraan masyarakat pedalaman Kaltara dengan kelestarian alam