TELAAH - Perhutanan Sosial, asa kesejahteraan masyarakat pedalaman Kaltara dengan kelestarian alam

id Warsi,Perhutanan sosial,Hutan ,Pedalaman

TELAAH - Perhutanan Sosial, asa kesejahteraan masyarakat pedalaman Kaltara dengan kelestarian alam

Hutan Kaltara (Warsi)

Tanjung Selor (ANTARA) - Kesejahteraan warga sekitar hutan dan kelestarian lingkungannya ibarat dua sisi mata uang tak bisa dipisahkan atau laksana "ikan dan air" dalam mengelola sektor kehutanan.

Dasar itu sehingga pemerintah kini memiliki dua agenda besar dalam pengelolaan hutan, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, juga penciptaan model pelestarian hutan yang efektif.

Model pengelolaan itu diharapkan bisa menciptakan keharmonisan antara peningkatan kesejahteraan dengan kesetaraan dan pelestarian lingkungan, inilah yang kemudian dikenal sebagai
"Program Perhutanan Sosial".

Tahapan ke arah itu, belum lama ini telah berhasil dicapai Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).

Kaltara melalui Pokja PPS (Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial) berhasil merampungkan pembuatan "roadmap" atau "peta jalan" (panduan berdasarkan kesepakatan para "stakeholder" atau kelompok kepentingan) tentang Perhutanan Sosialdi provinsi termuda itu.

Secara teknis, tujuan Program Perhutanan Sosial adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan.

Kaltara menjadikan Perhutanan Sosial sebagai program prioritas dan strategis yang termaktub dalam Rencana Strategi Dinas Kehutanan tahun 2021–2026.

Target luasPerhutanan Sosial di Kaltara berdasarkan Peta Indikatif Perhutanan Sosial revisi VI adalah seluas 288,030 ribu ha dari target Perhutanan Sosial secara Nasional 12,7 juta Ha.

Sementara ini, realisasi Perhutanan Sosial Kaltara hingga kini (2022) 106.016 Ha. Dengan target yang belum 50 persen itu, Kaltara terus mengupayakan percepatan.

Guna mempercepat realisasi, Kaltara membentuk Pokja PPS melalui Surat Keputusan Gubernur no. 188.44/K.101/2021 yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, UPT (unit pelaksana teknis) Kementerian LHK (Lingkungan Hidup), NGO atau LSM (lembaga swadaya masyarakat), Perguruan Tinggi dan para pihak yang terkait dengan Perhutanan Sosial.

Di antaranya tugas kelompok kerja ini adalah membuat "roadmap" Perhutanan Sosial Kaltara.

Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya Pokja PPS telah menyelesaikan roadmap Perhutanan Sosial.

Draf final roadmap ini telah disepakati dalam "Focus Group Discussion" (FGD) --diskusi terfokus untuk mengumpulkan data dan informasi dari responden yang terlibat-- Pokja PPS tentang "Draft Roadmap Perhutanan Sosial dan Analisis Data Potensi Spasial Perhutanan Sosial di Kalimantan Utara" di Hotel Luminor Tanjung Selor, Bulungan Kaltara,
22–23 Juni 2022.

Roadmap juga sudah ditandatangani (disahkan) oleh Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Utara Syarifuddin pada Selasa (28 Juni 2022).


Baca juga: Telaah - Anomali cuaca, berkah di tengah pandemi ?
Baca juga: Telaah - Ancaman derita akibat bencana kabut asap di tengah pandemi



Persoalan perhutanan Kaltara

Makna strategis program Perhutanan Sosial bisa terlihat jika dikaitkan dengan kasus-kasus persoalan pengelolaan hutan di Kaltara.

Lihat saja, masyarakat pedalaman Kalimantan --secara administratif-- sudah sejak lama diakui keberadaan wilayahnya, yakni adanya desa definitif yang tercatat di Kabupaten setempat.

Namun, dalam pengelolaan kawasan wilayahnya secara formal kadang ada persoalan --benturan kepentingan-- dengan izin konsesi perhutanan.

Ada banyak desa pada beberapa waktu kemudian akhirnya baru diketahui jika mereka berada di dalam areal konsesi perusahaan atau berada di dalam kawasan konservasi yang dikelola negara.

Kondisi itu kadang membawa persoalan saat masyarakat melakukan aktifitas, termasuk dalam pembangunan.

Sebut saja Desa Long Nyau Kecamatan Tubu Kabupaten Malinau. Sampai 2018, warga desa sama sekali tidak menyadari desa mereka berada di dalam areal perusahaan perkayuan.

Masyarakat berkeyakinan wilayah mereka sudah aman karena telah disepakati secara geografis dengan desa tetangga sudah ada batas bentang alam.

Warga tidak tahu, potensi hutan yang berlimpah kayu, ternyata juga sudah "dikotak-kotak" ke dalam izin konsesi perusahaan perkayuan. Padahal hutan yang mengelilingi Long Nyau sejatinya ada sumber penghidupan masyarakat di desa itu.

Pada kawasan yang masuk konsesi perhutanan ini terhampar hijau ladang-ladang masyarakat bak permadani. Di sana terdapat hutan yang menjadi tempat mereka berburu untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Pada kawasan tertutup rimbun hijau hutan hujan tropis itu menyimpan berbagai hasil ikutan bukan kayu, misalnya rotan, damar, sarang burung dan gaharu yang bernilai ekonomis tinggi untuk menopang kehidupan mereka.

Kondisi serupa juga dialami oleh warga desa Long Lake, Kecamatan Malinau Selatan Hulu, seperti dilaporkan oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, yakni salah satu LSM pendamping masyarakat adat setempat.

Demikian juga kasus yang serupa terjadi di desa lainnya di Malinau --masih berdasarkan laporan KKI Warsi-- antara lain Desa Long Pada (Kecamatan Sungai Tubu), Desa Laban Nyarit (Kecamatan Malinau Selatan), Wilayah Palancau dan Kecamatan Pujungan.

Total wilayah administrasi 28.131 Ha dan sebagian besar sudah terdapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) --dulu disebut izin hak pengusahaan hutan/HPH--
kepada PT. Inhutani II Unit Sei Tubu dan PT. Gunung Sidi Sukses Makmur 17.295 Ha.

Hutan tersisa --belum ada perizinan-- di wilayah Desa Long Lake hanya 10.836 Ha dan terbagi dalam empat poligon (garis dalam peta) yang berjauhan, yaitu di sekitar Sungai Arah, Sungai Patok, Sungai Kitab, dan hulu Sungai Luwe.

Wilayah hutan yang tersisa di Desa Long Lake itu faktanya “dikepung” oleh perijinan perusahaan kayu melalui IUPHHK-HA.

Guna menekan kasus seperti ini, maka pemberian konsesi seyogyanya harus diimbangi dengan pengakuan wilayah masyarakat sekitar hutan.

Baca juga: Kaltara waspadai ancaman Karhutla
Baca juga: Tujuh KUPS desa Kaltara ikuti pelatihan peningkatan inovasi produk rotan




Makna strategis "roadmap"

Roadmap PPS Kaltara ini penting karena masih banyak masyarakat yang belum memahami tata pengusulan serta meraih manfaat dari program prioritas pemerintah --Perhutanan Sosial-- itu.

Kondisi itu diakui Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Utara, Syarifuddin waktu pelaksanaan FGD di Hotel Lominor Tanjung Selor Bulungan Kaltara, 22 – 23 Juni 2022 itu.

FGD dihadiri Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) se-Kalimantan Utara.

Selain itu hadir sejumlah NGO atau LSM, yakni GGGI (Global Green Growth Institute), Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, YKAN (Yayasan Konservasi Alam Nusantara), Pionir, Sawit Watch, dan GIZ - Propeat(Deutsce Gesellshaft fur Internationale Zusammenarbeit- Proyek Pengelolaan dan Rehabilitasi Gambut dan Lahan Basah).

Guna memberikan pemahaman Perhutanan Sosial bagi masyarakat, agaknya perlu kolaborasi dari berbagai pihak/multi
stakeholders (kelompok kepentingan) seperti Dinas Kehutanan, Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPD KPH) dan LSM.

Makna strategis peta jalan itu, yakni bisa ditentukan berbagai percepatan yang memuat rencana aksi, kegiatan dan tata waktu, pembiayaan Perhutanan Sosial.

Hari Fitrah, Koordinator Regional Kalimantan KKI Warsi menilai hasil dari FGD ini harus bisa menghasilkan "output" yang dapat dilaksanakan dan adanya manfaat yang dapat dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat sekitar hutan.

Masyarakat sekitar hutan seyogyanyamerasakan manfaat dari hasil kesepakatan itu.

KKI Warsi mengapresiasi langkah cepat Pemerintah Kaltara untuk menyelesaikan roadmap yang akan menjadi acuan langkah percepatan Perhutanan Sosial di provinsi termuda atau ke-34 itu.

Sejak 2018 KKI Warsi hadir di Kaltara untuk mendukung program pemerintah melalui Perhutanan Sosial.

Diharapkan dengan adanya roadmap ini, maka masyarakat sekitar hutan akan semakin merasakanmanfaat bagi kesejahteraan mereka, di sisi lain bermanfaat secara ekologis.

Khusus bagi warga pedalaman, "Program Perhutanan Sosial" dalam praktik kehidupan sosial hakikatnya sudah dari generasi ke generasi telah mereka terapkan.

Misalnya, saat akan membuka lahan ladang jika terdengar lenguhan Payau atau Rusa Sambar
(Cervus unicolor kerr) --jenis rusa terbesar di Indonesia berat bisa mencapai dua kuintal-- maka itu "petanda buruk" agar hutan tidak boleh dibabat.

"Petanda buruk" itu telah menyelamatkan hutan yang masih memiliki keanekaragaman hayati luar biasa karena keberadaan Payau mencerminkan kondisi hutan masih sangat bagus.

Saat hutan dalam kondisi buruk --terjadi kerusakan ekosistem akibat pembalakan liar, misalnya-- maka jarang ditemukan jejak kehadiran satwa langka itu, antara lain Payau (rusa sambar), kijang atau macan dahan.

Kearifan lokal dengan "membaca petanda alam" seperti itu mampu melestarikan alam sekitarnya mungkin sudah berlangsung sejak berabad-abad silam.

Kearifan lokal itu, termasuk membagi kawasan ke dalam beberapa zona, antara lain zona untuk "berladang gilir balik".

Ada pula zona "hutan larangan" (dilarang dibabat karena menjadi apotik hidup, tempat berburu, dan terdapat hasil hutan ikutan bukan kayu, antara lain damar, sarang burung, rotan dan gaharu.

Berbagai kesepakatan pengelolaan hutan adalah
solusi yang bisa diterima semua pihak. Peluang yang paling memungkinkan adalah melalui "Program Perhutanan Sosial".

Kini, proses terpenting setelah adanya pengakuan negara terhadap pengelolaan hutan oleh masyarakat, yakni penguatan kelembagaan kelompok pengelola.

Di antaranya dengan melakukan pengembangan usaha Perhutanan Sosial, berbasiskan potensi yang bisa disesuaikan dengan akses dan transportasi ke wilayah itu.

Kelemahan infrastruktur menjangkau warga di pedalaman atau sekitar hutan ini adalah persoalan yang harus juga mendapat perhatian serius jika ingin segera meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pemerintah hakikatnya melalui Program Perhutanan Sosial telah menujukan sebuah "political will" (kemauan politik) untuk berdiri bersama masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan mereka, serta bersatu padu dalam menjaga kelestarian hutan secara efektif.

"Political will" penting, mengingat kebijakan untuk mensejahterakan warga sekitar hutan, sekaligus melestarikan lingkungan selain butuh kepastian hukum, program yang tepat, juga pendanaan proporsional untuk membenahi infrastruktur --pembangunan-- di pedalaman.

Adanya "political will" bagi berbagai kebijakan bidang kehutanan, termasuk Program Perhutanan Sosial menjadi asa bagi warga pedalaman untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sekaligus melestarikan alam rimba Kalimantan yang menjadi bagian dari paru-paru dunia itu.


Baca juga: Desa perbatasan Kaltara-Serawak bisa diakses online
Baca juga: Pusat akui Hutan Desa, warga Kaltara janji jaga kearifan lokal