Jakarta (ANTARA) - Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) menemukan adanya dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam kasus mantan pemain sirkus di Oriental Circus Indonesia (OCI) yang terjadi sejak sekitar tahun 1970-an.
Wakil Menteri HAM Mugiyanto mengatakan temuan itu merupakan hasil pendalaman kasus yang dilakukan Tim Tindak Lanjut Penanganan Aduan HAM atas pengaduan sembilan orang mantan pemain OCI pada 15 April 2025.
"Apa yang pernah dialami oleh para mantan pemain OCI, sebagaimana diceritakan kepada kami, itu tidak boleh lagi terjadi padamasa yang akan datang,"ucap Mugiyanto dalam konferensi pers tindak lanjut penanganan kasus mantan pemain OCIdi Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Rabu.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Munafrizal Manan menjelaskansalah satu bentuk dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam kasus OCI, yaitu pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui asal usul, identitas, hubungan keluarga, dan orang tuanya.
Mantan pemain OCI juga diduga dilanggar haknya untuk terbebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis, memperoleh pendidikan umum yang layak dan dapat menjamin masa depannya, serta mendapatkan perlindungan keamanan dan jaminan sosial.
Selain itu, Kementerian HAM turut menduga para korban mengalami kekerasan fisik yang dapat mengarah pada penganiayaan, kekerasan seksual oleh salah satu pihak yang diadukan, serta terjebak dalam praktik perbudakan modern.
Berdasarkan hasil penanganan, tutur Munafrizal, Kementerian HAM menemukan bahwa OCI menerima penyerahan anak-anak dari orang tuanya untuk dirawat dan dibesarkan oleh keluarga salah satu pendiri kelompok sirkus itu.
Sejak tahun 1970, OCI menampung anak-anak berusia dua sampai enam tahun yang ditempatkan di beberapa rumah milik HM. Anak-anak tersebut kemudian dilatih dan diarahkan menjadi pemain sirkus.
Dijelaskan Munafrizal, jenis tindakan yang dialami para mantan pemain sirkus sejak ditampung oleh OCI, yaitu diambil dan dipisahkan dari orang tuanya dengan diiming-imingi untuk diangkat sebagai anak pada usia 4, 5, atau 6 tahun.
Padausia sekolahnya, mereka tidak disekolahkan di sekolah formal karena harus berkeliling daerah untuk tampil bermain sirkus. Pemain sirkus OCI yang dalam kondisi sakit dan hamil juga dipaksa tetap bekerja.
Selama dipekerjakan, mereka tidak diberi upah layak dan pelayanan kesehatan yang memadai. Padahal, para mantan pemain sirkus yang ketika itu masih berusia anak-anak harus melakukan pekerjaan dengan risiko tinggi, seperti melakukan atraksi di ketinggian 15 meter.
Selainitu, Kementerian HAM menemukan ketidakjelasan status badan hukum OCI, termasuk tahun berhentinya. Pihak pengadu menyebut ada hubungan antara OCI dan Taman Safari Indonesia, sementara pihak teradu menyebut tidak ada hubungan di antara kedua entitas tersebut.
"Namun, berdasarkan temuan dokumen pemberitaan media massa cetak pada tahun 1997, penyebutan yang dipakai dalam berbagai kasus ini, yaitu 'Oriental Circus Taman Safari',” ucap Munafrizal.
Menurut ia, kasus ini kompleks karena panjangnya rentang waktu peristiwa, persoalan penetapan subjek hukum, aspek pembuktian, serta kerentanan korban yang mengalami dampak sosial dan psikologis hingga kini.
Oleh sebab itu, Kementerian HAM menekankan bahwa pendekatan yang bersifat multidimensi dengan melibatkan kombinasi aspek hukum, sosial, psikologis, dan etis menjadi penting untuk mengupayakan pemenuhan rasa keadilan bagi korban.
Baca juga: Pengamanan KTT AIS Forum 2023, Polri utamakan tindakan humanis dan HAM
Baca juga: Bupati Mamberamo Tengah ditangkap KPK, diamankan di Mako Brimob Papua