Tanjung Selor (Antara News Kaltara) - Akhir Oktober 2012 menjadi hari
bersejarah bagi NKRI karena Ibu Pertiwi melahirkan anak termudanya,
yakni Kalimantan Utara, yang resmi menjadi provinsi ke-34.
DPR RI mengesahkan Provinsi Kaltara (Kalimantan Utara) pada 25 Oktober
2012 yang meliputi lima daerah, yakni Kabupaten Bulungan (Ibu Kota
Provinsi Kaltara), Kota Tarakan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan,
dan Kabupaten Tana Tidung (KTT).
Berbeda dengan daerah lain (tingkat provinsi) yang masih belum disetujui
untuk dimekarkan, maka Provinsi Kaltara memiliki arti strategis. Paling
utama, daerah tersebut berbatasan langsung dengan Sabah dan Serawak
(Malaysia bagian timur) sehingga banyak kalangan berpendapat wajar
pemerintah dan DPR RI memprioritaskan Kaltara menjadi daerah otonomi
baru yang terpisah dari Provinsi Kalimantan Timur.
Menengok ke belakang, maka lahir Kaltara bisa diartikan sebagai jawaban
dari janji Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sejak
awal kepemimpinannya sudah berulang kali bertekad mengatasi berbagai
masalah wilayah perbatasan.
Janji SBY itu, di antaranya disampaikan dalam pidato kenegaraan 15
Agustus 2008. Dalam pidato panjang itu, Presiden SBY memang hanya
menyinggung wilayah perbatasan dalam dua alenia meskipun dengan nada
berapi-api serta menekankan pendekatan aspek ekonomi (kesejahteraan
rakyat) serta pendekatan aspek keamanan.
SBY dalam pidato itu memaparkan bahwa, "Dalam menegakkan kedaulatan
negara, kebijakan pertahanan negara kita arahkan pada peningkatan
profesionalisme dan kemampuan TNI. Kemampuan pertahanan negara, juga
terus kita tingkatkan, antara lain dengan pemeliharaan kekuatan pokok
minimum (minimum essential force), kesiapan alutsista, dan
terselenggaranya latihan secara teratur. Pada bulan Juli lalu, telah
dilaksanakan Latihan Gabungan TNI yang pertama sejak tahun 1996. Latihan
gabungan ini, harus dilakukan secara berkala, agar Prajurit dan Satuan
TNI tetap siaga, profesional, dan berkemampuan tinggi, untuk
mempertahankan setiap jengkal wilayah kedaulatan NKRI".
"Khusus pembangunan wilayah perbatasan, kita lakukan melalui pendekatan
beberapa aspek, terutama aspek demarkasi dan delimitasi garis batas
Negara, disamping melalui pendekatan pembangunan kesejahteraan, politik,
hukum, dan keamanan. Prinsipnya adalah, wilayah perbatasan kita harus
dianggap sebagai beranda depan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan bukannya halaman belakang negara kita," ujar SBY.
Dari sisi kebijakan, maka arah pembangunan wilayah perbatasan pada
Pemerintahan Presiden SBY tampaknya sudah tepat, yakni tidak hanya pada
pendekatan keamanan, namun juga pendekatan ekonomi.
Belajar dari pengalaman pada Pemerintahan Presiden HM. Soeharto,
pembangunan dan perekonomian wilayah perbatasan sangat tertinggal selama
32 tahun --meskipun memiliki potensi ekonomi dari sumber daya alam
serta letak yang strategis-- diduga karena Pemerintahan Orde Baru hanya
menggunakan pendekatan dengan aspek keamanan.
Dalam aplikasinya, kebijakan Pemerintahan SBY itu yang tidak berjalan
sesuai harapan meskipun ia mengamanahkan Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal untuk menangani langsung wilayah perbatasan.
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal sudah memprogramkan prioritas
pembangunan 27 kabupaten yang berbatasan dengan negara lain, termasuk
daerah di utara Kaltim.
Kenyataannya, program itu tidak berjalan baik sehingga kondisi wilayah
perbatasan tetap tidak berubah meskipun di Indonesia sudah lima kali
ganti kepala negara.
"Di balik berbagai kelemahan dalam mengatasi masalah perbatasan, maka
sikap pemerintahan sekarang yang sangat mendukung terbentuk Kaltara
adalah cerminan 'political will' (kemauan politik) SBY untuk memenuhi
komitmennya," kata Wakil Ketua DPRD Kalimantan Timur H. Ajie Sofyan
Alex.
Arti Strategis Kaltara
Langkah Presiden SBY yang sangat mendukung terbentuknya Kaltara sejalan
dengan keinginan warga utara Kalimantan Timur dalam mengatasi berbagai
masalah di wilayah perbatasan.
Selama ini, kondisi pembangunan wilayah perbatasan sangat tertinggal
ketimbang daerah lain di Kalimantan Timur. Pada gilirannya, wilayah yang
minim dengan infrastruktur perhubungan dan komunikasi itu menjadi
kawasan empuk bagi pelaku tindak kejahatan yang diperkirakan merugikan
negara hingga triliunan rupiah per tahun.
Tindak kejahatan yang secara ekonomis sangat merugikan negara antara
lain dari kegiatan pembalakan liar, penambangan tanpa izin, pencurian
ikan, penyelundupan, peredaran narkoba dan TKI ilegal.
Selain kasus tersebut, ketertinggalan pembangunan perbatasan melahirkan
dua bentuk kejahatan lain yang sangat merugikan bagi Indonesia, yakni
kawasan perbatasan diduga menjadi pintu gerbang keluar masuk teroris
serta ancaman kehilangan wilayah teritorial.
Khusus ancaman bagi kedaulatan negara NKRI ini, Indonesia sudah pernah
mengalami pengalaman pahit saat Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di
perairan utara Kalimantan Timur hilang dari pangkuan Ibu Pertiwi akibat
Pemerintah Indonesia kalah berperkara melawan Pemerintah Diraja Malaysia
melalui Mahkamah Internasional
di Den Haag, Belanda pada 2002.
Setelah kasus ini, ancaman bagi kedaulatan RI masih terjadi, yakni
terkait klaim sepihak Malaysia terhadap blok Migas di Perairan Ambalat
atau kawasan Karang Unarang, perairan utara Kalimantan Timur.
Kasus teritorial itu, bukan hanya pada kawasan perairan namun seperti
pernah dilaporkan oleh Kodam VI/Tanjungpura --kini Kodam VI Mulawarman--
bahwa patok perbatasan sempat bergeser beberapa kilometer diduga akibat
aktivitas pembalakan liar oleh cukong dari negeri jiran yang
menggunakan alat berat.
Pengamat perbatasan dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Prof
Sarosa Hamongpranoto, SH Mhum dan Wakil Ketua DPRD Kaltim H. Ajie Sofyan
Alex sepakat bahwa keberadaan Provinsi Kalimantan Utara sangat
strategis dalam mengatasi berbagai persoalan wilayah perbatasan di utara
Kaltim.
"Berbagai kasus di kawasan perbatasan, seperti 'illegal logging',
'illegal fishing', 'illegal mining', penyelundupan dan masalah tenaga
kerja ilegal marak terjadi akibat lemahnya pengawasan. Pengawasan itu
lemah akibat wilayah Kalimantan Timur terlalu luas," kata Sarosa.
Kalimantan Timur yang luas wilayah 1,5 kali Pulau Jawa plus Pulau Madura
memiliki garis perbatasan darat yang harus mendapat pengawasan ketat
mencapai 1.038 Km dengan kondisi jalan sangat memprihatinkan.
Kondisi tersebut menyebabkan prajurit TNI tidak bisa optimal mengawasi
perbatasan darat di wilayah utara Kaltim meskipun terdapat sekitar 20
pos pengawasan perbatasan.
"Tidak hanya gagal dalam pendekatan dengan aspek keamanan namun
pendekatan dengan aspek ekonomi juga tidak membuahkan hasil. Pada
gilirannya, berbagai aksi kejahatan di wilayah perbatasan justru
melibatkan warga kita, alasan utamanya tentu terkait urusan ekonomi,"
kata Sarosa.
Kenyataannya memang demikian, berbagai aksi kejahatan yang merugikan
negara yang diperkirakan hingga triliuan rupiah per tahun melibatkan
warga Indonesia, bahkan bukan hanya warga biasa akan tetapi juga oknum
aparat.
Misalnya, aksi pencurian ikan di perairan Sebatik, Kabupaten Nunukan
hampir semuanya merupakan nelayan warga Indonesia akan tetapi kegiatan
mereka dimodali oleh cukong dari Tawau, Sabah. Demikian juga pada kasus
pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan, hampir semua
pelakunya WNI akan tetapi pemodalnya dari
Malaysia.
"Harapan kita, dengan terbetuknya Provinsi Kaltara maka pengawasan di
wilayah perbatasan akan lebih ketat, yakni dengan terbentuknya sebuah
provinsi, maka akan dibentuk pula berbagai lembaga, badan dan instansi
setingkat provinsi. Misalnya, pembentukan Polisi Daerah (Polda), Komando
Resort Milite (Korem), Kantor Bea Cukai dan lembaga lain yang terkait
masalah pengawasan dan percepatan pembangunan kawasan itu," ujar Sarosa.
Senada dengan hal itu, Sofyan Alex, politisi dari PDI Perjuangan Kaltim
menilai bahwa keberadaan Kaltara sangat strategis baik dalam mengatasi
masalah keamanan maupun percepatan pembangunan serta pengembangan
perekonomian kawasan perbatasan.
"Wilayah utara Kalimantan Timur yang sebagian wilayahnya berbatasan
dengan Malaysia sebenarnya memiliki potensi sumber daya alam dan ekonomi
sangat besar, tidak kalah dengan Kaltim namun selama ini pemanfaatannya
belum optimal sehingga dengan status sekarang (Kaltara), diharapkan
pengelolaannya bisa lebih maksimal," ujar
Sofyan Alex.
Hal itu, katanya, karena sesuai dengan tujuan pembentukan daerah otonomi
baru, yakni memperpendek birokrasi, mendekatkan pelayanan serta
mengintensifkan pembangunan.
Dukungan Teknis
"Posisi Provinsi Kaltara yang strategis karena berbatasan langsung
dengan Malaysia harus bisa dioptimalkan. Contohnya, perdagangan
antarnegara di utara Kalimantan Timur tersebut, selama ini berjalan
secara tradisional. Namun, diharapkan nantinya bisa berjalan sesuai
standar perdagangan global sehingga bermanfaat besar bagi devisa
negara," kata Sofyan Alex.
"Agar sasaran pembentukan Provinsi Kaltara ini bisa optimal dalam
mengatasi masalah perbatasan, maka sebaiknya Pemerintahan Presiden SBY
tidak sebatas memberikan dukungan politik namun juga teknis," ujar
Sofyan Alex.
"Dukungan politik sudah semestinya, mengingat kewenangan dalam
menjaga wilayah kesatuan RI adalah tanggung jawab pusat, misalnya
dukungan dana dan sumber daya (pengerahan pasukan TNI) bagi pengamanan
wilayah perbatasan karena menyangkut kedaulatan kita," ujarnya.
Sementara dukungan teknis, ujar Alex, yakni Presiden SBY diharapkan
mengeluarkan kebijakan untuk mempertegas arah pembangunan kawasan itu,
misalnya dituangkan dalam Perpres (peraturan presiden) terkait
percepatan pembangunan.
"Percepatan pembangunan kawasan perbatasan memang mendesak. Kondisi
sekarang, kita seperti melihat langit dan bumi, disparitas pembangunan
begitu tajam antara wilayah Indonesia di Sebatik, Nunukan dan Kutai
Barat ketimbang kemajuan di Tawau, Sabah maupun Serawak," ujarnya.
Sofyan Alex optimistis berbagai tindak kejahatan akan berkurang dengan
sendirinya jika optimalisasi potensi ekonomi serta percepatan
pembangunan berjalan baik.
"Warga kita masih tergiur menjadi TKI karena gaji di Malaysia lebih
tinggi namun orang enggan ke negeri jiran jika gaji yang ditawarkan di
sini nilainya kurang lebih dengan Malaysia. Padahal, potensi perkebunan
di wilayah utara Kaltim lebih luas dari Tawau atau Sabah namun belum
dimanfaatkan secara optimal," ujarnya.
Begitu pula potensi perikanan dan kelautan yang justru dimanfaatkan para
cukong Malaysia akibat nelayan Indonesia mengalami keterbatasan
fasilitas dan permodalan. Para nelayan tersebut terpaksa menjual hasil
tangkapannya ke wilayah Malaysia karena dimodali oleh cukong ikan
Malaysia.
Tampaknya, masih banyak "PR" bagi Presiden SBY dalam mengatasi berbagai
masalah di kawasan perbatasan, khususnya di utara Kalimantan Timur
meskipun Provinsi Kaltara sudah terbentuk.
Harapan warga utara Kalimantan Timur, agar Presiden SBY memanfaatkan dua
tahun sisa kepemimpinannya sebagai momentum untuk mengentaskan
masalah-masalah klasik di kawasan paling ujung negeri itu, bukan sebatas
rotika membangun beranda negara pada setiap pidato kenegaraan.