Jakarta (ANTARA) - Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat mengecam perlakuan aparat terhadap mahasiswa yang berdemo dan juga pemukulan wartawan yang tengah bertugas di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (24/9/2019).
Salah satu korban adalah
pewarta Kantor Berita ANTARA Biro Sulawesi Selatan Muh Darwin Fatir.
"Kita mengecam kekerasan yang menimpa wartawan yang meliput, juga yang kekerasan terhadap mahasiswa yang merupakan tunas bangsa. Jumlah mahasiswa terlukan hampir 300 orang. Satu orang atas nama Faisal, saat ini sedang dalam kondisi kritis," di Jakarta, Rabu.
DK PWI meminta pemerintah khususnya aparat pengamaban memperlakukan baik mahasiswa berunjuk rasa dan wartswan yang meliput, dengan baik.
"Terhadap aparat pengamanan yang bertindal di luar batas, kita minta ditindak tegas," kata Ilham Bintang.
Sebelumnya, Direktur Pemberitaan Kantor Berita ANTARA Akhmad Munir mendesak pimpinan Mabes Polri mengusut tuntas dan transparan dugaan kekerasan oknum polisi terhadap pewarta ANTARA Muh Darwin Fatir.
"Saya sudah menghubungi Karopenmas Humas Mabes Polri agar polisi jujur dan terbuka mengusut tuntas kasus kekerasan wartawan di Makassar agar proses hukumnya diketahui masyarakat khususnya komunitas pers," kata Munir.
Baca juga:Wartawan ANTARA jadi korban kekerasan aparat saat liput demo
Baca juga:IJTI Sulsel kecam kekerasan oknum polisi pada tiga jurnalis
Munir menegaskan aksi kekerasan yang dilakukan polisi terhadap Darwin tersebut merupakan bagian dari pelanggaran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 8 UU Pers menyatakandalam menjalankan profesinya, pers mendapatkan perlindungan hukum.
Berikut pernyataan lengkap Muh Darwin Fatir, Pewarta LKBN ANTARA tentang kronologis kasus pengeroyokan dirinya:
Assalamualaikum Alaikum..
Tabe izinkan saya untuk memberikan kronologi sekaligus klarifikasi terkait dengan penganiayaan dan pengeroyokan saya oleh oknum pihak kepolisian saat sedang dalam kondisi liputan.
Awal kejadian sebelum bentrokan kedua pecah. Sejumlah mahasiswa dari berbagai elemen berhasil tembus ke kantor DPRD Sulsel. Diawal berlangsung kondusif, namun setelah peserta aksi merengsek ke pintu masuk gerbang utama, terjadi adu ketegangan karena mahasiswa berusaha merubuhkan gerbang pagar kantor dewan setempat.
Entah siapa terpancing emosi duluan, sejumlah polisi langsung menembakkan gas air mata ke arah demonstran, disambung water Canon ke arah pendemo, otomatis massa aksi berhamburan. Lantas inilah dimanfaatkan aparat membubarkan mahasiswa dengan cara represif bahkan ada beberapa oknum melempari mahasiswa dengan batu yang berlarian kearah showroom mobil dan rumah warga berdekatan dengan lokasi bentrokan
Banyak diantara mahasiswa yang masih bertahan hingga mencoba kabur dengan memanjati pagar tembok rumah warga setempat karena sudah tersudut.
Beberapa oknum polisi itu pun berlarian menangkapi mereka dan terlihat sangat emosional, lalu memukulinya secara brutal bahkan diantara mereka ada yang berdarah-darah. Padahal mereka belum tentu pelaku kriminal apalagi melakukan aksi anarkis tapi dipukuli kaya pencuri oleh aparat. Entah apa yang ada dipikiran penegak hukum kita saat itu.
Karena merasa iba, saya berusaha untuk mengingatkan para aparat penegak hukum ini untuk tidak memukuli mahasiswa seperti itu. Saya berusaha mengingatkan bahwa perlakuan itu diliput media imbasnya bisa berakibat pada kredibilitas kepolisian di mata publik. Karena kejadian itu fakta, maka jurnalis berhak meliputnya sebab di lindungi Undang-undang Pers.
Namun beberapa oknum kepolisian ini malah melarang meliput dan mencoba menghalang-halangi saya mengambil gambar bahkan ada yang menghardik saya dengan kata-kata menantang, lalu saya dikerumuni mereka lantas dipukuli beramai-ramai seperti mahasiwa tadi.
Saya beserta kawan teman media lain yang juga meliput berusaha mengatakan bahwa kami dari media, wartawan, tapi tetap disikat, hingga kepala saya kena pentungan, sampai bocor, tangan lebam hingga perut dan dada masih sesak sebab dihadiahi tendangan sepatu laras dari petugas yang masih berbekas dibaju putih yang saya kenakan.
Beruntung ada Kapolrestabes Makasar memeluk saya untuk diselamatkan dari amukan oknum-oknum itu hingga saya berhasil keluar dari zona merah tempat mereka melampiaskan kemarahannya kepada mahasiswa. Setelah itu saya dibawa kawan-kawan duduk sejenak lalu dilarikan ke rumah sakit Awal Bros Makassar.
Ternyata setibanya disana ada puluhan mahasiswa terkapar, sampai pihak rumah sakit pun terpaksa menjasikan ruang pelayanan sebagai unit gawat darurat, karena ruang IGD sudah penuh.
Sampai saat ini kepala saya masih sakit, dan semua badan terasa lemah usai dirawat di Rumah Sakit setempat.
Sy memaksakan menulis ini untuk meluruskan dan menyampaikan duduk persoalan sebenarnya, apakah perlakuan aparat harus sebrutal itu, apakah selama mereka dididik diajarkan bisa memukuli sodaranya sendiri.
Tidakkah penanganan mahasiswa bisa lebih baik dari pada harus refresif mengingat ini adalah agenda nasional yang menggerakkan hampir seluruh mahasiswa di Indonesia. Mereka tidka bayar untuk aksi, tapi mereka mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Gerakan mahasiswa hari ini murni bukan bayar-bayaran yang biasanya diduga dilakukan oknum yang tidak bertanggungjawab untuk kepentingan kelompok dan golongannya.
Dengan kejadian ini publik akan tergugah bahwa inilah fakta sebenarnya terjadi. Sya mohon maaf kalau ada salah kata, tapi ini adalah realita. ***