Pusaran korupsi Bansos COVID-19, asa terhadap Risma

id korupsi bansos,corona,risma

Pusaran korupsi Bansos COVID-19, asa terhadap Risma

Mengurai praktik korupsi di pusaran Bansos COVID-19

Jakarta (ANTARA) - Ialah suatu frasa yang sudah lumrah terdengar sejak mula tahun ini, yakni virus corona atau COVID-19. Begitulah masyarakat di Tanah Air menyebutnya.

Namun, tidak ada satu pun yang memprediksi bahwa virus yang diketahui pertama kali menjangkit di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok tersebut akan membawa dampak yang begitu hebat.

Pemerintah Indonesia pada awalnya membuka opsi kepada wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia dengan sasaran roda perekonomian melaju pesat. Padahal, sejumlah negara lain terutama Tiongkok, tepatnya di Kota Wuhan telah melakukan karantina wilayah ataulockdownguna memutus mata rantai virus tersebut.

Tepat pada tanggal 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien 01 dan 02 yang terkonfirmasi positif COVID-19. Pascapengumuman di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta itu, sontak masyarakat mulai khawatir. Benar saja, seiring dengan berjalannya waktu satu per satu warga mulai terinfeksi virus yang sama.

Melihat lonjakan kasus yang terus terjadi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah pimpinan Gubernur Anies Baswedan memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Baca juga:KPK respons nama Gibran dikaitkan kasus korupsi bansos COVID-19

Setelah DKI Jakarta memberlakukan PSBB, sejumlah daerah lainnya di Tanah Air juga turut menyusul kebijakan yang sama. Di sinilah awal mula segala macam aktivitas masyarakat dibatasi.

Hal itu mulai dari kegiatan sekolah tatap muka yang dihentikan, kegiatan umat beragama di rumah ibadah yang tidak lagi diizinkan hingga pasar-pasar tradisional juga ikut terdampak akibat kebijakan PSBB.

Kebijakan PSBB yang diterapkan pemerintah memang bertujuan baik agar rantai penularan virus dapat dihentikan. Namun, patut digarisbawahi bahwa pada saat bersamaan masyarakat juga membutuhkan kebutuhan pokok, yakni makan, minum, dan sebagainya.

Pemerintah menyadari tidak mungkin menahan warga di rumah saja tanpa ada pemasukan apa pun. Langkah yang diambil ialah menyalurkan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19.

Khusus bansos untuk warga di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi (Jabodetabek) diberikan dalam bentuk paket sembako dengan nilai Rp600 ribu. Bantuan itu disalurkan setiap bulan selama 3 bulan kepada masing-masing kepala keluarga.

Untuk masyarakat di luar Jabodetabek, bansos yang diterima berupa uang tunai atau lebih dikenal dengan bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp600 ribu per bulan.

Saat mula penyaluran bansos, masalah yang paling krusial dan cukup banyak mendapat sorotan publik ialah terkait dengan data. Meskipun demikian, eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara yang saat ini sedang menjalani proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai hal itu wajar karena tidak semua daerah siap dengan data yang diminta pemerintah pusat.

Saat masih menjabat sebagai Mensos, Ari sapaan akrabnya, mengatakan bahwa Presiden meminta segala sesuatunya dapat dikerjakan secara cepat pada awal penyaluran bansos. Padahal, di sisi lain, pekerjaan tersebut bukanlah perkara mudah atau semacam membuat konsep.

Oleh sebab itu, dia menyadari program Bansos yang disalurkan pemerintah pada saat itu barangkali membuat banyak di antara masyarakat kecewa sebab terdapat di antara mereka yang tidak mendapatkan bantuan.

"Ya, karena memilih itu tadi, ada yang merasa diuntungkan ada yang merasa tidak beruntung," kata dia.

Baca juga:Gibran: Tidak pernah ikut-ikutan rekomendasikan dana Bansos

Korupsi Bansos

Ada pepatah mengatakan "mulutmu harimaumu". Sejatinya penggalan peribahasa itu cukup relevan dikaitkan kepada eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang saat ini sedang menjalani pemeriksaan di meja hukum pascaditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga antirasuah KPK pada tanggal 6 Desember 2020.

Bukan tanpa sebab, politikus PDIP tersebut sebelumnya pernah berbicara tentang mengatasi praktik korupsi. Menurut dia, pendekatan yang humanis merupakan salah satu cara yang bisa diterapkan agar tindakan merugikan negara tersebut tidak terjadi.

Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama sejumlah pelaku lainnya karena diduga menerima suap pengadaan bansos sembako Jabodetabek.

Sebelum Juliari, sebenarnya catatan hitam di Kementerian Sosial (Kemensos) juga pernah terjadi dan menjerat orang nomor satu di kementerian itu. Pertama, Bachtiar Chamsyah yang merupakan Mensos periode 2001—2009. Ia tersandung tindak pidana korupsi terkait dengan pengadaan mesin jahit.

Kemudian di penghujung Agustus 2018, Mensos Idrus Marham juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan terjerat kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau 1. Padahal, mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar tersebut baru menjabat sekitar 7 bulan menggantikan Khofifah Indar Parawansa yang maju pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur.

Berkaca dari tiga kejadian yang menjerat Mensos atas praktik korupsi tersebut, sudah seharusnya Presiden memberikan penegasan khusus agar tindakan serupa tidak terulang oleh pejabat manapun. Apalagi, kejadian terakhir dinilai cukup memalukan karena memakan hak masyarakat yang tengah kesusahan berjuang melawan pandemi COVID-19.

Presiden Jokowi mengatakan tidak akan melindungi pejabat yang terlibat korupsi, termasuk para menteri Kabinet Indonesia Maju.

"Saya tidak akan melindungi yang terlibat korupsi," kata Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.

Bahkan, dari awal eks Wali Kota Solo itu telah berpesan kepada seluruh jajaran kabinetnya agar jangan korupsi. Namun, ternyata ucapan dan imbauan Presiden tidak digubris oleh bawahannya, termasuk salah satunya oleh Juliari Peter Batubara, seorang politikus PDIP yang juga satu partai dengan Jokowi.

Berkaca dari peristiwa Juliari Peter Batubara, pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan bahwa Tri Rismaharini yang baru saja ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo sebagai Mensos harus berani melakukan reformasi birokrasi di Kemensos.

"Itu harus segera dilakukan dan dirombak orang-orang di dalamnya untuk mengantisipasi oknum yang berperilaku koruptif," katanya.

Baca juga:Peringatan Hakordia, Sri Mulyani: Tidak ada toleransi terhadap korupsi

Menunggu Gebrakan Risma

Sebelum dilantik sebagai Mensos, nama Tri Rismaharini memang cukup santer dikabarkan akan menduduki kursi Mensos tersebut. Ditambah lagi, informasi itu diperkuat oleh ucapan salah seorang politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengatakan Wali Kota Surabaya itu akan menggantikan Muhadjir Effendy yang sebelumnya ditunjuk Presiden sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Mensos.

Benar saja, pada tanggal 22 Desember 2020 di Istana Negara, Presiden mengumumkan enam menteri baru. Dari enam nama itu, Tri Rismaharini masuk dan menjadi orang pertama yang diumumkan oleh Presiden.

Pascapengumuman akan menjabat sebagai Mensos, beragam pendapat bermunculan atas kebijakan Presiden. Ada yang merespons baik dan menilai langkah Jokowi sudah tepat. Namun, ada pula yang meragukan kapasitas Risma untuk menduduki kursi menteri.
Menteri Sosial Tri Rismaharini memberikan keterangan pers terkait dengan program kerja usai dilantik. ANTARA/Muhammad Zulfikar
Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai penunjukan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebagai Mensos oleh Presiden Joko Widodo menggantikan Juliari Peter Batubara sudah tepat.

Penilaian itu dilontarkan Devie dengan melihat latar belakang Risma yang dinilai cukup berhasil dalam memimpin sebuah wilayah, yakni Kota Surabaya. Dengan bekal itu, pemahaman politikus PDIP tersebut diharapkan kuat pada masyarakat.

"Kami mendukung, ya. Apalagi, kepemimpinan perempuan sebelumnya di Kemensos juga bagus sewaktu Ibu Khofifah Indar Parawansa menjabat sebagai Mensos," ujarnya.

Baca juga:Mensos: Beri layanan terbaik bagi penyandang disabilitas