Tanjung Selor (Antara News Kaltara) - Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Utara mengatakan bahwa radikalisme bukan lahir dari rahim agama, hal itu bisa dibuktikan dari sejarah radikalisme di dunia dan Indonesia.
"Hal ini penting kita pahami, termasuk bagi insan pers agar lebih berhati-hati dalam memuat tulisan tentang radikalisme. Jangan sampai karena terlalu semangat dalam mememarangi radikalisme, justru menimbulkan sikap tidak simpati atau malah menimbulkan benih-benih radikal karena keliru dalam menyampaikan pesan untuk menangkal radikalisme," kata Ketua PWI Kaltara Iskandar Z Datu di Tanjung Selor, Sabtu.
Hal itu disampaikan dalam diskusi panel bertajuk "Solusi Menangtisipasi dan Menangkal Radikalisme di Kaltara".
"Tengoklah sejarah membuktikan itu. Apalagi, agama manapun tdk mengajarkan kekerasan, termasuk Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin," ujarnya.
Radikalisme justru lahir dari masalah-masalah sosial- ekonomi dan politik, penindasan, penjajahan, penindasan kelompok mayoritas terhadap minoritas dan penjajahan kapitalisme terhadap dunia ketiga.
Dalam sejarah justru politik yang sangat dominam melahirkan paham radikal. Akibat pembagian kekuasaan yang dianggap tidak adil. MIsalnya, merasa diperlakukan semena-mena padahal merasa berjasa.
"Bahkan, banyak gerakan-gerakan yang mengatasnamankan agama, misalnya Islam, tetapi terbukti para pelakunya samasekali tidak memahami ajaran Islam yang benar," papar dia.
"Kekecewaan, merasa diperlakukan tidak adil, amarah terpendam bisa melahirkan radikalisme sehingga timbul istilah 'kau telah menteror hatiku', mengingat radikalisme adalah embrio dari terorisme," ujarnya sambil bercanda yang ditanggapi antusias sambil bertepuk tangan oleh sekitar 100 peserta diskusi terdiri dari sejumlah universitas dan perguruan tinggi di Bulungan dan Tarakan , anggota Ormas dan organisasi guru dan keagamaan itu.
Meskipun hakikatnya radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau kekerasan fisik, mengingat radikalisme bisa sebuah sikap atau paham yang secara ekstrim, revolusioner dan militan untuk memperjuangkan perubahan maenstream dianut masyarakat.
"Radikalisme harus juga dipahami bukan semata-mata kekerasan fisik namun bisa sebuah ideologi pemikiran, kampanye yang masif ataupun demonstrasi sikap anti mainstream," katanya.
Sementara panelis lainnya, yakni Syahrullah Mursalim, Kepala Diskominfo Kaltara menyoroti tentang marak beredarnya hoax (berita bohong di media) yang bisa menjadi sarana dalam mengembangkan radikalisme.
"JIka dianggap berbahaya, masyarakat bisa melaporkan kepada pihak kepolisin, dan harusnya warga masyarakat jangan cepat percaya dengan berita-berita yang sifatnya adu domba," papar dia.
Sementara itu, AKP Mujiono yang mewakili Kapolres Bulungan mengatakan bahwa dalam menangkal redikalisme pihaknya menggunakan cara pencegahan dan penindakan.
"Pencegahan misalnya, kita kini sudah mendapat data satu orang yang terindikasi terlibat sebuah jaringan terorisme di Kaltara, memang belum kita tangkap tetapi gerak-geriknya selalu dipantau. Dan kami berharap agar masyarakat termasuk adik-adik mahasiswa yang hadir di sini bisa jadi mata dan telinga kami," katanya dalam acara yang digelar oleh Gerakan Perduli Bangsa Kaltara.
Kepala Kantor Kesbangpol Kaltara Basiran dalam amanahnya menyambut baik digelarnya acara itu karena mencerminkan bahwa upaya menangkal radikalisme murni karena keinginan warga melalui sebuah organisasi kemasyarakatan.
"Ini mencerminkan bahwa upaya menangkal radikalisme bukan semata kehendak pemerintah tetapi murni keinginan warga melalui acara diskusi ini, saya berharap organisasi lain baik kepemudaan atau mahasiswa yang hadir disini, saya lihat ada HMI bisa menggelar acara serupa," ujarnya.