Jakarta (ANTARA) - SUHU UDARA MUTIANYU tiga derajat celsius, cukup dingin. Jaket tidak cukup mampu menahan udara masuk ke kulit. Perjalanan dari Beijing ke Mutiannyu sekitar setengah jam. Inilah salah satu titik untuk mencapai Great Wall, selain dari Badaling yang ramai.
Tiba di pemberhentian bus Mutianyu tidak langsung bertemu Tembok Besar, meski salah satu keajaiban dunia ini sudah terlihat meliuk-liuk sepanjang penglihatan. Pengunjung harus berjalan mendaki, melewati penjual souvenir, cafe, dan buah-buahan.
Jarak dari Mutianyu ke pelataran Tembok Besar sekitar 550 meter. Jalan berliku dan menanjak dengan kemiringan sekitar 50 derajat. Bagi anak-anak muda, yang ingin melihat suasana indah dan penuh tantangan, jalan kaki bisa jadi pilihan. Namun sangat lelah. Pilihan lain, naik kereta gantung dengan biaya pergi-pulang sekitar Rp 200 ribu.
Kalangan eksekutif dan tamu negara, biasanya melalui Mutianyu daripada Badaling yang lebih ramai. Bill Clinton dan John Mayer, selain artis-artis mancanegara, memilih jalur ini ke Tembok Besar.
Minggu, 21 April 2013, kami berada di sini. Sejumlah wartawan, di antaranya Pak Sabam Siagian, Saiful Hadi Chalid, Zaim Uchrowi, Putra Nababan, Ahmad Djauhar, Nurhjaman Muchtar, Muhammad Ihsan, Imam Prihadiyoko, Usman Kansong, dan saya, berkunjung ke Beijing mengikuti Dialog Media China-Indonesia, yang diselenggarakan LKBN Antara.
Area Mutianyu dipenuhi taman. Ada mata air alami yang mengalir jernih, membasahi berbagai macam tanaman dan pohon buah-buahan, menjaga udara segar sepanjang tahun. Keindahan pemandangan sangat baik terutama di musim semi dan musim gugur.
Dari Mutianyu, keindahan sekaligus geliat naga Tembok Besar, terlihat sejauh mata memandang. Kawasan ini disebut juga sebagai titik musim. Pada musim panas, bunga dan dedaunan terlihat hijau mengikuti alur lereng gunung.
Musim gugur, daun-daun menguning dan memerah sebelum luruh. Kami tiba, daun-daun telah luruh berguguran, tinggal dahan dan ranting menggapai-gapai kaku ditiup angin dingin.
Konon, tidak kalah indah pada musim dingin. Pepohonan tanpa daun berubah putih digelayuti salju. Hanya saja pada musim ini, tidak dianjurkan untuk naik ke Tembok Besar karena licin.
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Di Bawah Pohon Kamboja
Baca juga: Neta'spane dalam kenangan Asro Kamal Rokan
Setelah turun kereta gantung, kami tiba di pelataran akhir Mutianyu, yang langsung berada di dinding Tembok Besar. Bagian tembok Mutianyu ini dahulu digunakan untuk penghalang dari serangan musuh agar tidak masuk ke Beijing. Pertama kali dibangun pada pertengahan abad ke-6 selama Dinasti Kaisar Wenxuan, yang memerintah China utara 550-577.
Ketika Dinasti Ming berkuasa, tembok ini diperbaiki. Konstruksi perbaikan dibangun di tembok semula, namun dibuat sebuah celah di dinding. Pada tahun 1569, Tembok Besar Mutianyu dibangun kembali dan sampai hari ini sebagian besar masih terpelihara dengan baik.
Tembok Mutianyu dibangun dengan kualitas terbaik di antara semua bagian Tembok Besar. Temboknya setinggi 8,5 meter, bagian atas selebar 5 meter, menggunakan batu granit. Mutianyu memiliki beberapa karakteristik, di antaranya ada 22 menara pengawal, di sepanjang 2.250 meter bagian Tembok Besar ini.
Di gerbang masuk, ada tiga menara pengawal, satu besar di tengah dan dua kecil di kedua sisi. Berdiri di teras yang sama, ketiga menara pengawal terhubung satu sama lain di dalam. Mutianyu dibuka untuk pada 1988. Pada 1992, Mutianyu dinobatkan sebagai tempat wisata terbaik di Beijing.
Tembok Besar
Tembok Besar Tiongkok tidak sambung menyambung, melainkan potongan tembok-tembok pendek yang mengikuti bentuk pegunungan Tiongkok utara. Semula, panjang total tembok yang didirikan Dinasti Ming ini diperkirakan 8.851 km. Namun, hasil pemetaan terakhir dan lebih akurat menyebutkan panjang totalnya mencapai dua kali lipat.
Survei arkeologi yang dirilis Badan Administrasi Negara urusan Peninggalan Budaya Tiongkok pada Januari 2012, terungkap bahwa dinding Tembok Besar ini memiliki panjang 21,196.18 kilometer.
Sejak 2007, pemetaan dilakukan terhadap 15 provinsi di Tiongkok,yang dilewati Tembok Besar. Survey ini juga mengungkap secara total terdapat 43.721 situs sejarah termasuk bagian dari Tembok Besar.
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Cara Zionis Yahudi Menghancurkan Media
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Puasa ulat dan kenangan masa kecil
Tembok Besar mulai dibangun pada 500 SM dan selesai dibangun di masa pemerintahan Kaisar Qin Shi Huang. Tembok ini dibangun untuk melindungi wilayah kekaisaran Tiongkok dari serangan bangsa nomad di utara.
Arthur Waldron dalam bukunya The Great Wall of China from History to Myth, Tembok Besar ini dibangun berkesinambungan dalam kurun waktu lebih dari 2.000 tahun. Dimulai oleh Raja Xuan dari Dinasti Zhou antara tahun 827 hingga 782 SM.
Pada periode awal ini, pembangunan dilakukan oleh Dinasti Zhou. Tujuannya untuk membatasi daerah terluar mereka dari serangan negara-negara lain. Disebutkan, zaman ini periode Perang Antar-Negara di Tiongkok, negara Qin, Wei, Zhao, Qi, Yan, dan Zhongsan. Mereka bertempur satu sama lain.
Meski tembok dimulai Dinasti Zhou, namun negara-negara lain juga membangun tembok serupa, yang dibuat dari tanah liat yang disusun dengan kerikil sebagai penguat antarkerangka. Itulah penyebab tembok besar ini terdiri dari bagian-bagian terpisah.
Pembangunan semakin gencar masa Dinasti Qin karena ada ancaman serius dari utara, yakni bangsa nomaden Mongol. Menghadapi Mongol, Jenderal Meng Tien membawa 300 ribu tentara ke utara dan mengusir orang-orang Mongol. Tentara itu kemudan ditugaskan membangun tembok di perbatasan utara tersebut.
Meski tembok itu meneruskan tembok-tembok yang sudah ada dari masa sebelumnya, tembok ini berhasil membuat kagum para peneliti sejarah seperti Owen Lattimore, ilmuwan Amerika yang mempelajari China dan Asia Tengah, khususnya Mongolia.
Ketika Dinasti Han berkuasa, negara-negara kecil sekitar Tiongkok disatukan. Tembok di bagian utara diperkuat dan diperpanjang, dengan beberapa bagiannya berdiri beratus kilometer di sepanjang batas Mongolia. Pembangunan tembok pada masa ini yang mendekati Pyongyang, Korea Utara, mencapai 8.000 km.
Pembangunan tembok sempat terhenti di masa Dinasti Yuan. Masa itu, Tiongkok diserang Manchu dan Mongol. Bahkan, Tiongkok dalam kontrol Mongol. Inilah untuk pertama kali kekuasaan tidak lagi di tangan kaum Han. Kondisi ini berubah ketika Dinasti Ming berkuasa, 1367. Pembangunan Tembok Besar kembali gencar untuk mencegah terulangnya invasi Mongol.
Tragedi Kaisar Terakhir
Setelah dari Tembok Besar, kami punya waktu ke Kota Telarang di lapangan Tiananmen. Ini ketiga kali saya berada di sini. Sebelumnya, saat meresmikan Biro LKBN Antara di Beijing, Maret 2007, kemudian mengikuti kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 22 Maret 2012.
Kota Telarang dalam bahasa Mandarin disebut Zijin Cheng, Kota Terlarang Ungu. Istana kerajaan ini dibangun selama 14 tahun (1406-1420) periode Dinasti Ming. Disebut sebagai Kota Terlarang (Forbidden City) karena pada masa kekaisaran, masyarakat umum dilarang masuk.
Luas areal istana ini 72 hektar, terdapat 980 bangunan di dalamnya, lebih dari 8.000 ruangan, termasuk kamar. Kota Terlarang in memiliki lima pintu. Pintu utama, menurut legenda Tiongkok, hanya dilalui oleh Sang Raja. Belakang bangunan dipagari sungai selebar sekitar 20 meter. Di istana ini, setidaknya ada 1,8 juta karya seni, sebagian besar koleksi kekaisaran dinasti Ming dan Qing.
Baca juga: Almarhum Ricky Rahmadi dalam kenangan Asro Kamal Rokan
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Hari ini, 16 Tahun Tsunami Aceh
Puyi adalah kaisar ke-12 dan terakhir Dinasti Qing yang berkuasa dan menempati Kota Terlarang ini. Puyi jadi kaisar saat berusia dua tahun, 1908. Empat tahun kemudian (1912) Puyi diturunkan dari tahta menyusul gerakan kaum nasionalis Tiongkok antimonarkisme, yang dikenal dengan nama Revolusi Xinhai. Namun Puyi masih diizinkan tinggal di istana.
Sejarawan Inggris Alex von Tunzelmann menulis, sejak usia tujuh tahun, perilaku Puyi buruk, sadis terhadap pelayan, mencambuk sesukanya. Perilaku ini karena terlalu dimanja sebagi kaisar. Menurut Alex, gambaran perilku buruk Puyi tersebut tidak tergambar dalam film The Last Emperor, 1987.
Pada usia 18 tahun, Puyi diusir dari Kota Telarang ketika Panglima Feng Yuxiang mengambil alih Beijing dalam sebuah kudeta, 23 Oktober 1924. Puyi sempat tinggal di rumah ayahnya sebelum menuju Kedutaan Besar Jepang di Beijing, dan kemudian tinggal di Tianjin pada 23 Februari 1925.
Ketika menginvasi Manchuria, Jepang mendirikan negara boneka Manchukuo. Puyi, yang berhasrat untuk kembali berkuasa, bersedia menjadi Kaisar di negara boneka Jepang tersebut hingga berakhir Jepang kalah dalam Perang Tiongkok-Jepang, 2 September 1945.
Berakhirnya Perang Dunia II, nasib Puyi semakin buruk. Dia ditangkap Tentara Merah Soviet pada 16 Agustus 1945 saat berada di pesawat yang terbang menuju Jepang. Pasukan Soviet membawanya ke kota Chita di Siberia. Ia tinggal di sebuah sanatorium dan kemudian dibawa ke Khabarovsk di dekat perbatasan Tiongkok.
Pada 1949, saat Partai Komunis Tiongkok, yang dipimpin Mao Zedong, Puyi dipulangkan ke Tiongkok setelah dilakukan negosiasi antara pihak Uni Soviet dan Tiongkok.
Puyi menghabiskan sepuluh tahun hidupnya dengan mendekam di Pusat Manajemen Penjahat Perang Fushun di provinsi Liaoning, sampai dinyatakan berhasil direformasi dan bebas.
Kaisar terakhir Tiongkok itu kemudian dibawa ke Beijing pada 1959 dengan izin khusus Mao Zedong. Di Beijing, Puyi tinggal selama enam bulan di sebuah pemukiman sederhana dengan adik perempuannya, kemudian dipindahkan ke sebuah hotel yang dibiayai pemerintah.
Baca juga: Hadi Mustofa di mata Asro Kamal Rokan
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Telah pulang seorang senior
Setelah mengakui ideologi komunis, Puyi dipekerjakan di Kebun Botani Beijing. Pada 1964, Puyi bekerja sebagai seorang editor untuk departemen literasi Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China. Mantan Kaisar ini digaji per bulan 100 yuan (sekitar Rp 200 ribu kurs saat ini).
Pada 17 Oktober 1967, Puyi meninggal usia 61 tahun, karena komplikasi kanker, ginjal, dan penyakit jantung menahun. Jenazahnya dikremasi dan abunya ditempatkan di Makam Revolusi Baboshan, tempat para tokoh Partai Komunis Tiongkok dimakamkan.
Perjalanan kaisar terakhir Tiongkok itu pun berakhir, meninggalkan sejarah perih.
Beijing, April 2013
(Cuplikan dari Buku Catatan DARI LIMA BENUA)
*Asro Kamal Rokan, wartawan senior. Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005), Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007). Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023).
Baca juga: Menara Azadi, saksi bisu masa ke masa
Baca juga: Buku, Warisan Seorang Wartawan
Baca juga: Ibu Ani Yudhoyono di mata Asro
Berita Terkait
Catatan Asro Kamal Rokan - Obituari "Semakin menua, aku merasa lebih baik..."
Minggu, 16 Juni 2024 13:01
Catatan Asro Kamal Rokan - Cerita DR Rahmat Shah melawan kanker ganas
Senin, 17 April 2023 15:05
Catatan Asro Kamal Rokan - Kopi Sumatra Mandheling di Turki
Sabtu, 1 April 2023 12:00
Catatan Asro Kamal Rokan - Merdeka setelah pesta teh
Sabtu, 1 April 2023 9:34
Catatan Asro Kamal Rokan - Era Gila Caligula
Sabtu, 20 Agustus 2022 9:30
Catatan Asro Kamal Rokan - Agus Salim Suhana juga pergi
Senin, 25 Juli 2022 17:31
Catatan Asro Kamal Rokan - Hawana 2022, dari Melaka ke Jalan bersejarah
Senin, 6 Juni 2022 6:59
Catatan Asro Kamal Rokan - Kabar Duka dari Malaysia: Pergilah Sahabat ...
Minggu, 8 Mei 2022 13:15