Telaah - Masalah dan solusi banjir Kaltara

id Tekaah ,Banjir

Telaah - Masalah dan solusi banjir Kaltara

Banjir di Kalrara (ANTARA/iskandar Zulkarnaen)

Tanjung Selor7 (ANTARA) - Banjir di Kalimantan Utara hakikatnya bukan perkara baru.

Pasalnya kawasan pemukiman sejak ratusan tahun silam memang berada di tepian sungai sungai besar di provinsi termuda atau ke-34 itu.

Sebut saja Sungai Kayan --sungai terpanjang di Kaltara mencapai 640 Km-- yang membelah Tanjung Selor, Ibu Kota Provinsi Kaltara dengan Kecamatan Tanjung Palas.

Juga ada Sungai Sembakung --287 km-- sungai yang membelah beberapa kecamatan di Kabupaten Nunukan, antara lain Kecamatan Sembakung, Kecamatan Sembakung Atulai, Kecamatan Lumbis, Kecamatan Lumbis Ogong dan Lumbis Pasiangan.

Juga ada Sungai Sesayap yang melewati dua kabupaten, yakni Kabupaten Malinau dan Kabupaten Tanah Tidung (KTT).

Jika terjadi curah dan itensitas hujan tinggi di pedalaman, maka sungai-sungai besar dan panjang --ratusan kilometer-- akan meluap sehingga kawasan yang masuk dalam DAS (daerah aliran sungai) juga akan terkena dampak banjir.

Seperti kejadian Minggu dini hari (22/05/2022) atau 04.00 Wita, hampir bersamaan, tiga sungai besar itu, yakni Sungai Kayan di Kabupaten Bulungan, Sungai Sesayap (membelah Kabupaten Malinau dan KTT) serta Sungai Sembakung di Nunukan meluap.

Sungai-sungai besar itu meluap akibat kiriman dari pedalaman karena tingginya curah dan itensitas hujan.

Meluapnya air Sungai Kayan menyebabkan beberapa kawasan pemukiman penduduk dan jalan raya terendam air bervariasi, dari mata kaki hingga lutut orang dewasa.

Daerah itu antara lain Jalan Padat Karya di Tanjung Palas Hilir, area sekitar Kantor Cabang Pegadaian Tanjung Selor, Kantor Lurah Tanjung Palas Hilir, serta daerah Lebong dan Teras.

Kondisi serupa juga terlihat pemukiman warga di Jalan Budiman dan Jalan Bendahara.

Daerah lain, terlihat juga diareaSabanar, Buluh Perindu, Jalan Imam Bonjol, Jalan Cik Ditiro, dan Jalan Semangka atau area di belakang Markas Komando Resor MiliterMaharajalila.

Selain di Kabupaten Bulungan, beberapa desa di Kabupaten Nunukan juga terdampak akibat meluapnya Sungai Sembakung, antara lain
Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung, Kecamatan Sembakung Atulai, Kecamatan Lumbis Pansiangan dan Kecamatan Lumbis Ogong.

Camat Sembakung Ridwan saat dihubungi mengaku luapan air Sungai Sembakung Kabupaten Nunukan akibat tingginya curah dan itensitas hujan di hulu sungai.

Daerah Sembakung ini hampir 200 Km perjalanan darat ke arah utara dari Tanjung Selor, Ibu Kota Kaltara.

Dari 13 desa di Kecamatan Sembakung dan Sembakung Atulai sebagian besar rawan banjir antara lain Desa Tagul, Atap, Manuk Bungkul, Lubakan, Tujung, Pagar dan Labuk.

Sedangkan di Kecamatan Sembakung Atulai yakni Desa Pulau Keras, Liuk Bulu, Binanun, Sabuluan, Lubok Buat dan Katul.

Banjir juga menerjang beberapa kawasan di Kabupaten Malinau akibat meluap Sungai Sesayap, yang terparah adalah Desa Belayan Malinau Utara karena air masuk ke rumah warga dengan ketinggian hingga pinggang orang dewasa.


Baca juga: Beberapa kawasan Kaltara masih tergenang
Baca juga: Sungai Kayan meluap, jadi "waterpark" dadakan

Banjir di Kalrara (ANTARA/iskandar Zulkarnaen)



Banjir jadi masalah

Persoalannya kini, banjir di provinsi dengan luas 71.827Km2 --hampir setara gabungan Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Barat itu-- tidak lagi siklus tahunan.

Berdasarkan penuturan para orang tua yang puluhan tahun hidup di bantaran sungai-sungai besar itu, banjir besar dulunya berdasarkan siklus 10 tahun, lima tahunan kemudian satu tahun.

Sekarang, terjadi fenomena atau "anomali", yakni bukan saja rutin setiap tahun namun bahkan bisa setahun tiga hingga empat kali banjir besar.

Banjir besar yang dimaksud adalah luapan sungai yang merendam sejumlah fasilitas umum, pemukiman dan lahan pertanian dalam waktu berhari-hari.

Hal itu diungkapkan Kepala Desa Mansalong Kecamatan Lumbis Kabupaten Nunukan Pangiran Eddy.

Pangiran Eddy yang rumahnya ikut tergenang air akibat luapan Sungai Sembakung menuturkan dulu banjir berdasarkan siklus tahunan sehingga sudah bisa memprediksi kejadiannya.

Namun, dalam kurun 15 - 20 tahun terakhir terjadi fenomena atau anomali, yakni banjir bisa datang tiga sampai empat kali dalam setahun artinya kawasan itu kian rawan tertimpa bencana.

Terbukti selain banjir pada 22 Mei 2022 ini, bencana serupa terjadi pada 4 Januari 2022.

Pada awal Januari 2022 itu, sejumlah kawasan di Nunukan mulai tergenang sejak 08.00 Wita.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Nunukan menyebutkan enam kecamatan terdampak, yaitu Kecamatan Lumbis Hulu, Lumbis Pensiangan, Lumbis Ogong, Lumbis, Sembakung Atulai dan Sembakung.

Sebanyak 114 KK atau 342 jiwa terdampak pada sejumlah kecamatan tersebut.

BPBD Nunukan memperkirakan kerugian akibat banjir 4 Januari 2022 mencapai Rp61,670 miliar.

Catatan BPBD Nunukan pada 2021 juga terjadi banjir meski skala lebih kecil dengan kerugiannya jauh lebih kecil, yakni hanya Rp5 miliar.

Kerugian banjir 2022 ini diperkirakan sama seperti 2017 atau sekitar Rp60 miliar.

Salah satu faktor penyebab sehingga terjadi fenomena --banjir tidak lagi mengikuti siklus tahunan-- diperkirakan akibat terjadi pada gangguan ekosistem atau faktor ekologis

Hal itu diakui juga oleh Pangiran Eddy, yakni salah satu indikasi terjadi kerusakan lingkungan adalah air Sungai Sembakung yang dulu memiliki air jernih saat musim kemarau saat ini selalu berlumpur.

Tingginya sedimentasi sungai sungai besar akibat kerusakan hutan di pedalaman.

Perubahan lingkungan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit skala luas, aktifitas perhutanan dan pertambangan adalah faktor penyebab Kaltara kini kian rawan banjir.

Baca juga: Banjir di Nunukan dan Malinau
Baca juga: 13 Desa di Kecamatan Sembakung dan Sembakung Atulai Terendam Air

Banjir di Kalrara (ANTARA/iskandar Zulkarnaen)



Solusi banjir

Menghadapi ancaman banjir berulang-ulang itu, Pemkab Nunukan sudah berupaya mencari solusi dengan beberapa rekomendasi.

Sebagian rekomendasi juga telah menjadi kebijakan Pemkab Nunukan dan Pusat dalam upaya mengatasi banjir di Sembakung.

Rekomendasi pertama adalah relokasi beberapa desa yang rawan banjir yang merupakan kampung lama --empat desa di hulu sungai-- yakni Desa Butas Bagu, Desa Labuk, Desa Pagar dan Desa Tujung.

Pada Desa Butas Bagu dan Desa Pagar sudah menempati perumahan relokasi bebas banjir yang dibangun pemerintah melalui dana pusat atau APBN.

Penanganan Desa Labuk sudah dilakukan
tahap pembukaan lahan perumahan relokasi bebas banjir.

Program relokasi ini sudah berjalan, termasuk penanganan Desa Tujung secara swadaya masyarakat sudah pindah ke lokasi pemukiman di wilayah desanya.

Pada Desa Manuk Bungkul --wilayah desa yang cukup parah terandam setiap banjir Sembakung -- Pemkab Nunukan masih masih mencari solusi untuk relokasi, pasalnya hampir 80 persen wilayah desanya rendah.

Selain relokasi, salah satu usulan warga dalam mengatasi banjir adalah normalisasi sungai.

Normalisasi sungai ini selain biayanya cukup mahal --termasuk untuk melakukan pengerukan dari sedimentasi-- juga adalah masalah skala global karena melibatkan pemerintah pusat dan Malaysia.

Hal itu karena hulu kawasan wilayah Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Malinau berada di Malaysia (Sabah dan Serawak).

Khusus di wilayah Kabupaten Nunukan, jika melihat aliran air kiriman berasal dari Sungai Talangkai di Sepulut Sabah, Malaysia.

Dari sini, air kiriman mengalir ke Sungai Pampangon kemudian ke Sungai Lagongon ke Pagalungan --masih wilayah Malaysia-- dan memasuki wilayah Indonesia melalui Sungai Labang, Sungai Pensiangan dan akhirnya ke Sungai Sembakung.

Sehingga penanganan banjir di Kaltara agaknya harus secara komprehensif melibatkan Jakarta, khususnya membuka pintu pembahasan ekologis global dengan pihak Malaysia.

Langkah lainnya, yakni mengevaluasi, pengawasan izin dan "menghukum" (law enforcement) bagi pengusaha sawit nakal, yakni tidak menjalankan program lingkungan dan pembukaan lahan di luar konsesinya.

Tidak kalah pentingnya, yakni pemerintah harus tetap"istiqomah" (konsisten) pada kebijakan monatorium sawit meskipun "godaan" cukup besar dengan terus melonjaknya harga CPO (crude palm oil).

Melonjak harga CPO karena Indonesia memilih kebijakan menggenjot pembangunan biofuels B-30. Hasilnya, alokasi CPO untuk industri biofuel domestik meningkat pesat dan harga minyak sawit mentah naik signifikan sejak Agustus 2020 hingga kini.

Lebih baik fokus mengoptimalkan kenaikan produksi CPO pada perusahaan yang sudah mengantongi izin ketimbang membuka lahan baru yang membuat Kaltara kian rawan tertimpa banjir.

(*Datu IskandarZulkarnaen
- Wartawan ANTARA)


Baca juga: Banjir Sembakung Mencapai 4,3 MeterBaca juga: Delapan desa di Sembakung lumpuh akibat banjir