Bulungan di antara hikayat dan sejarah

id biduk bebandung

Bulungan di antara hikayat dan sejarah

Biduk Bebandung (datiz)

Oleh Iskandar Z Datu

Tanjung Selor (Antaranews Kaltara) - Dari Seberang Sungai, tampak sebuah perahu besar yang mirip pendopo terapung menyeberang Sungai Kayan, Bulungan, Kalimantan Utara yang lebarnya sekitar 500 meter.

Pendopo terapung itu dibangun dari dua perahu besar yang dirakit jadi satu.

Jika zaman Kesultanan Bulungan, maka ada puluhan pendayung tegap di kiri-kanan yang menjalankan perahu "Biduk Bebandung" itu.

Kini, pekerjaan tersebut diganti perahu motor.

Secara bahasa, Biduk Bebandung artinya Perahu Kembar.

Sedangkan tujuannya sebagai pendopo terapung untuk menyambut tamu kehormatan Kesultanan Bulungan.

Pendopo terapung dihiasi selayaknya sebuah ruang tamu mewah dengan warna dominan kuning.

Tamu disuguhkan minuman dan makanan ringan khas Bulungan.

Selain itu, selama penyeberangan --20 menit dari Kota Tanjung Selor ke eks Kesultanan Tanjung Palas-- digelar pertunjukan tari dan musik Jugid Demaring oleh dua penari wanita.

Setelah putaran sekali, Biduk Bebandung perlahan merapat ke dermaga Museum Kesultanan Bulungan dan suara musik Jugid Demaring kian keras terdengar.

Tampak 26 ketua masyarakat adat, sultan dan pangeran dari kesultanan Nusantara, serta tiga orang delegasi kesultanan Malaysia jadi tamu kehormatan Bulungan di Biduk Bebandung.

Mereka satu persatu turun dan disambut menuju tempat penjamuan di eks kediaman Pemangku Sultan/Perdana Menteri almarhum Datu Mansyur.

Acara itu adalah bagian dari ritual adat pesta budaya "Birau" Kesultanan Bulungan dalam rangka perayaan hari jadi Kota Tanjung Selor Oktober 2018 yang ke-228 tahun dan Kabupaten Bulungan ke-58 tahun.

Dapat Sertifikasi

Dari rangkaian acara ritual adat pesta besar "Birau", salah satunya menggelar upacara Biduk Bebandung.

Menariknya, beberapa hari sebelum Birau, Biduk Bebandung telah mendapat sertifikat "Warisan Budaya Takbenda".

Sertifikasi diserahkan Dr. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud
kepada Gubernur Kaltara Irianto Lambrie di Jakarta.

Dengan sertifikasi itu, maka Biduk Bebandung --bersama empat usulan lain Kaltara-- mendapat pengakuan sebagai budaya asli lokal yang menjadi milik nasional.

Sebelum ditetapkan, bersama 461 usulan lainnya dilakukan penilaian oleh para ahli dan kurator yang ditunjuk oleh Kemendikbud.

Akhirnya terpilih 225 karya budaya yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, termasuk Biduk Bebandung dari Kaltara.

Penetapan itu bermakna Kaltara tak hanya memiliki kekayaan sumber daya alam tapi juga kaya akan tradisi budaya unik atau tak ada di daerah lain.

Ketua Umum Masyarakat Adat Nusantara (Matra) KPH SP Rheindra J Wiroyudho Alam Syah menyatakan pihaknya terus mendorong pemerintah dalam upaya pelestarian budaya, termasuk Birau sebagai salah satu aset budaya nasional.

"Ketahanan adat dan budaya ini yang mempersatukan kita di tengah lemahnya sektor lain, baik politik, sosial, dan ekonomi," imbuh Wiroyudho, dari Pura Pangkualaman Yogyakarta itu.

Tidak kalah menariknya adalah mempertanyakan sejarah lahirnya tradisi Biduk Bebandung itu.

Menyelusuri sebuah tradisi, bisa dari beberapa sumber, baik dokumen sejarah atau hikayat.

Mengingat Bulungan sebagai sebuah bangsa rumpun Melayu kental dengan budaya bertutur.

Dari sumber hikayat --sastra prosa-- dituturkan Biduk Bebandung adalah bagian dari perjalanan seorang pangeran rupawan dan gagah perkasa dari ujung utara Borneo, yang disebut Kesultanan Melayu Brunei.

Sang pangeran si Datu Mancang didampingi penasehat bijaksana (ulama) Datu Mahubut dan panglima sakti Datu Tantalangi.

Bersama 100 prajurit pemberani, Sang Pangeran dititahkan berlayar memperluas wilayah kesultanan hingga ke muara Sungai Kayan (sekarang masuk wilayah Bulungan, Kaltara).

Hikayat dan Sejarah

Saat di pesisir Bulungan itu, konon, kapal latar Sang Pangeran rusak binasa akibat amukan badai.

Bersama sisa pasukan yang selamat termasuk Datu Mahubut (konon, seorang ulama berdarah Arab) dan Datu Tatalangi mereka beristirahat di sebuah kawasan yang kini disebut sebagai Sungai Binai.

Di sana mereka membuat perahu yang dijadikan seperti pendopo untuk menyelusuri hulu Sungai Kayan karena mereka tak mungkin kembali ke Brunei karena kapal layar sudah musnah.

Saat menyelusuri hulu Sungai Kayan, Datu Mancang bertemu dan jatuh cinta dengan seorang wanita cantik jelita, puteri seorang Kepala Suku Dayak Kayan Uma Afan (puak Dayak campuran Kenyah dan Kayan) bernama Asung Luwan.

Dari peristiwa ini, maka lahirlah tradisi Biduk Bebandung sebagai pengingat datangnya Sang Pangeran.

Hikayat perkawinan Datu Mancang dan Puteri Asung Luwan diikuti oleh para pengikut pangeran dengan para gadis Dayak jadi peristiwa penting lain.

Dari perkawinan massal antara prajurit Melayu dengan gadis-gadis Dayak melahirkan suku bangsa baru, yakni "Bangsa Bulungan".

Dari peristiwa ini, juga sebagai babak baru di wilayah Bulungan mulai tersebar Islam karena Datu Mancang dan pengikutnya adalah Muslim.

Dari dokumen sejarah, maka bisa dilihat dari koleksi foto hitam putih milik Museum Tropen Belanda tradisi biduk bebandung sudah terdokumentasi 1930.

Sebuah mitos atau hikayat tidak sepenuhnya benar, tetapi selalu ada benang merah dengan kondisi sekarang meski setipis apa benang itu.

Namun, dari sisi pelestarian budaya, maka semangat para leluhur bangsa Bulungan tidak akan hilang seperti gelora asa Datu Lancang dan Puteri Asung Luwan dalam membangun Bulungan.

Semangat melestarikan tradisi Biduk Bebandung serta budaya Bulungan secara umum tampaknya tidak akan berhenti, seperti gelora arus Sungai Kayan yang terus mengalir.
Datuk Letcumanan, delegasi Malaysia baju putih di Biduk Babandung (datiz)
pemusik pengiring tarian dan lagu di Biduk Bebandung (datiz)