Mengawal Demokrasi di tapal batas

id Pemilu kaltara

Mengawal Demokrasi di tapal batas

Tapal batas (Datiz)

Tanjung Selor (ANTARA) - Bagi warga Sebatik, Nunukan, Kaltara bahwa pelaksaan Pemilu 2019 bukan semata-mata pesta demokrasi tapi ada nilai nasionalisme dalam menjaga kedaulatan bangsa.

Gelora semangat nasionalisme dalam pesta demokrasi itu baru terasa jika bergaul langsung dengan warga Sebatik menjelang beberapa pekan segera digelar Pilpres dan Pileg 17 April 2019.

Gelora itu kian terasa denyutnya jika membuka lembaran sejarah serta melihat langsung kondisi geografis Sebatik yang berbatasan darat langsung dengan Malaysia.

Jika ada istilah "berada rumah di Indonesia dan dapur di Malaysia" bukan sekedar pribahasa tetapi kondisi riil.

Jangan bayangkan ada sebuah pagar kawat atau tembok tinggi kokoh membatasi dua negara itu, yakni Sebatik Indonesia dan Sebatik Malaysia.

Pembatas tapal batas hanya tonggak semen. Misalnya patok (tapal batas) 3 di Sungai Aji Kuning.

Selain ada patok juga sebuah bendera Merah Putih di sampingnya menandakan itu batas wilayah terakhir NKRI. Hanya beberapa meter dari Patok 3 terdapat pos penjagaan TNI Sungai Aji Kuning.

Patok 3 adalah batas populer karena paling sering dikunjungi pejabat pusat dan daerah karena lokasi paling mudah terjangkau.

Sedang belasan patok lain di tengah hutan serta dua patok di laut, salah satunya di Karang Unarang.

Bagian utara Pulau Sebatik memiliki luas sekitar 187,23 km, dan merupakan wilayah Negara Bagian Sabah, Malaysia. Bagian selatan Pulau Sebatik milik kabupaten Nunukan, Kaltara seluas 246,61 km.

Kondisi itu menyebabkan Sebatik kadang disebut "Satu Pulau Dua Tuan", serta dua mata uang bisa digunakan di sini, yakni Ringgit dan Rupiah.

Gelora semangat nasionalisme dalam pesta demokrasi 2019 tidak terlepas dari sejarah perjuangan saat konfrontasi dengan Malaysia 1963-1966.

Ya, Sebatik pernah menjadi palagan yang menewaskan pihak Indonesia dan Malaysia saat era konfrontasi.

Pulau Sebatik bagi sebagian warganya, terutama yang berusia lanjut adalah cerita "romantisme bela negara' sehingga satu desa bernama Belalawan. Sebatik selalu indentik dengan cerita heroik saat konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia adalah perang mengenai masa depan Malaya, Brunei, Sabah, dan Sarawak, yang terjadi antara Federasi Malaysia dan Indonesia.

Dalam perang itu ratusan korban tewas dan cedera. Perang berawal dari keinginan Federasi Malaya, Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia yang tidak sesuai dengan Persetujuan Manila.

Keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang sekarang dikenal sebagai Malaysia, sebagai "boneka Inggris". Soekarno menilai itu kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.

Tokoh masyarakat Sebatik H Herman menegaskan Pemilu di ujung negeri itu bukan semata-mata pesta demokrasi tetapi upaya menjaga kedaulatan NKRI.

Terkait hal itu, ia mengimbau agar warganya terus menjaga gelora semangat untuk menyukseskan Pemilu sekaligus menjaga persatuan dan kesatuan sebagai modal mengawal kedaulatan daerah perbatasan itu.

Imbauan lain dari tokoh paling berpengaruh di Sebatik ini adalah agar warga di ujung negeri itu tidak golput karena setiap suara menentukan masa depan bangsa.

Ia mengakui antusias warga Sebatik dalam Pemilu 2019 cukup tinggi terlihat dari semarak wajah lima kota kecamatan di pulau kecil itu.

Selain baliho ditempatkan pada lokasi resmi, gambar para kandidat legislatif juga ramai menghiasi rumah-rumah warga.

Pemilu diharapkan benar-benar jadi kebanggaan bagi warga perbatasan bahwa meskipun pembangunan Indonesia masih tertinggal ketimbang Negeri Jiran tapi dari sisi demokrasi lebih maju.

Hal senada disampaikan tokoh masyarakat Nunukan yang juga Ketua Adat Besar Tidung Nunukan Naharuddin. Ia menilai antusias warga dalam menyambut Pemilu cukup tinggi.

Namun, ia mengingatkan agar semangat itu disertai dengan kebesaran hati untuk menerima hasil Pemilu.

Mengingat arti strategis perbatasan bukan sekedar menggelar pesta demokrasi secara sukses juga menunjukan nilai nasionalisme bagi Negeri Jiran.

Harapan itu tampaknya sejalan denyut romantisme sejarah Sebatik yang pernah menjadi palagan, tidak semata sukses pesta demokrasi tapi pesan kuat tentang teguh berdiri kedaulatan NKRI.