Sementara sebagian besar undangan yang hadir tidak menggunakan batik motif khas Kaltara. Dia mengimbau hadirin untuk menggunakan batik khas Kaltara pada acara - acara perkantoran
"Sejak tanggal 9 Desember 2020, kalau ada pertemuan di Jakarta saya selalu menggunakan batik khas Kalimantan Utara," kata Zainal.
Dia mengimbau penggunaan batik khas Kaltara terutama di instansi pemerintah dan swasta serta perbankan.
"Saya imbau tidak usah menggunakan Perda, mari kita mengangkat kearifan lokal. Siapa lagi kalau bukan kita dan kapan lagi kalau bukan sekarang," kata Zainal.
Selain itu, dia juga dalam pembangunan gedung perkantoran agar ada penggunaan ornamen atau motif khas Kaltara untuk mengangkat kearifan lokal.
Imbauan dari Gubernur ini tentunya disambut rasa syukur, serta bagai oasis bagi para perajin batik khas Kaltara. Salah satunya yakni Ainun Farida merupakan pemilik Bultiya Farida Gallery di Tanjung Selor.
"Saya mengucapkan alhamdulillah, bersyukur atas apa yang beliau (gubernur, red) sampaikan agar menumbuhkan kearifan lokal, yakni pakai batik khas Kaltara. Kearifan lokal beliau sangat luar biasa," kata Ainun.
Awal masa jabatan sebagai Gubernur dengan menjadikan batik sebagai ikon daerah yang harus dikenakan di hari-hari tertentu saat kedinasan merupakan gebrakan sangat baik.
Terutama di masa pandemi yang kebanyakan usaha pariwisata dan ekonomi kreatif dilanda kelesuan dengan pendapatan yang menurun selama setahun ini.
Dia mengungkapkan bahwa para perajin batik di Kaltara mengalami penurunan penjualan, biasanya seminggu sekali saja pembeli ada. Biasanya hanya tamu dari Pemerintah Provinsi Kaltara dan Polda Kaltara. "Setelah ada imbauan dari Gubernur Kaltara, langsung pembelian meningkat bisa sampai Rp5 juta perharinya," kata Ainun.
Gubernur Kaltara sangat peduli atas budaya lokal di Kaltara. Hanya saja dirinya tidak mengklaim batik yang dikerjakan menjadi satu-satunya batik di Kaltara.
Namun produksi yang dihasilkan batik perpaduan corak Bulungan Tidung Dayak, disingkat Bultiya, merupakan bagian batik yang ada di Bumi Benuanta.
“Menyebut batik Kaltara bukan hanya batik Bultiya seperti yang saya punya ini. Tapi ada batik Malinau, batik KTT, batik Nunukan dan batik Tarakan. Walaupun batik Bultiya berada di Ibukota Provinsi, ini menjadi bagian batik Kaltara," katanya.
Untuk corak sendiri memang menyuguhkan ciri khas tiga suku. Dia menjelaskan bahwa batik yang diproduksinya bisa dipadu-padankan dalam tiga corak bisa juga masing-masing dalam satu corak.
"Kalau ada yang mau dipadukan dalam corak Bultiya, kita akan buatkan, bisa juga sendiri," bebernya.
Untuk harga, memang dibanderol dengan harga variatif. Hal ini disesuaikan dengan tingkat kesulitan motif dan jenis kain. Di mana pengerjaannya masih menggunakan cara tradisional berupa melukis, untuk bahan kainnya masih didatangkan dari Jawa. Selain itu, Ainun juga membawa pelatih dari Jawa untuk belajar pewarnaan sesuai keinginan.
“Ikon kita burung Enggang yang dipakai oleh pak Gubernur sekarang. Harga variatif untuk batik, dari metode cap harganya Rp 400 ribu dan metode printing itu Rp 200 ribu perlembar," kata Ainun.
Secara historis, batik Bultiya sudah ada sebelum Provinsi Kaltara terbentuk, yakni tahun 2010, hanya saja batik khas Bulungan ini belum memiliki nama. Bultiya semakin naik pamor setelah diapresiasi oleh Bupati Bulungan Budiman Arifin pada di tahun 2012 ketika acara Birau.
"Atas besutan pak Budiman Arifin di tahun 2012 itu, beliau fokus betul dengan batik ini agar ditampilkan di acara Birau. Dari situlah lahir nama Bultiya karena memang belum punya nama," jelasnya.
Batik Bultiya dapat dikenali karena warnanya yang terang, umumnya batik Kalimantan memang memiliki warna yang mencolok. Batik Bultiya identik dengan warna kuning kunyit untuk Bulungan, warna biru muda untuk Tidung dan warna cokelat tua untuk Dayak.
"Batik Kalimantan itu pasti ngejreng. Berbeda dengan batik dari Jawa terkesan kalem, kebanyakan warna tanah yakni coklat dan putih.
Secara detail, makna kuning di batik Bultiya itu dari bunga kunyit yang banyak dipakai oleh suku Bulungan. Biasanya pada keraton Bulungan dan rumah tua di Tanjung Palas itu memakai motif bunga kunyit.
Aksara tanpa kata menyambut asa
Imbauan Gubernur Kaltara juga merupakan "angin segar" bagi Rumah Batik Disabilitas yang dikelola oleh Sony Lolong (56), karena memiliki peserta didik seluruhnya adalah mereka yang berkebutuhan khusus atau disabilitas. Baru berdiri pada Maret 2020 saat mulai pandemi COVID-19.
Sony sebelumnya adalah pembatik, kemudian merangkul para difabel yang ada di Tarakan. “Jumlah mereka ada 22 orang, tuna rungu ada 18 orang, tuna daksa ada dua orang dan tuna grahita dua orang. Mayoritas memang anak – anak tuna rungu,” kata Soni.
Para kaum difabel tersebut berkelompok mengerjakan di Rumah Batik Disabilitas, dimana antara mereka berkomunikasi dalam bekerja mengunakan bahasa isyarat. Aksara tanpa kata yang memberikan asa dengan adanya imbauan menggunakan batik khas Kaltara dari pemimpin baru di Kaltara.
Otomatis pendapatan mereka bertambah dengan menunggu orderan dari perorangan, instansi atau perusahaan pada batik yang mereka kerjakan.
Batik khas Tarakan dengan motif pucuk pakis untuk mengangkat kearifan lokal, dimana tumbuhan pakis – pakisan banyak tumbuh di Tarakan, yang juga dapat dikonsumsi untuk sayur.
Pewarna yang digunakan di Rumah Batik Disabilitas adalah pewarna alami dari tumbuhan yang banyak tumbuh di Tarakan. Seperti daun mangrove, daun rambutan, kulit jengkol dan lain – lain.
Diharapkan para difabel yang menjadi anak didik Sony, pada akhirnya dapat mandiri membuat usaha batik sendiri. Batik ramah lingkungan harga penjualan berkisar Rp300 ribu – Rp600 ribu tergantung bahan bakunya.
Pemasarannya dilakukan secara online dengan menggunakan instagram dan facebook serta di Kantor Pusat Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pemkot Tarakan.
Saat ini, Sony dipercaya oleh Pemkot Tarakan untuk menyediakan batik Tarakan untuk Aparat Sipil Negara (ASN) untuk menggunakannya setiap minggu pada hari Kamis. Dengan motif Padau Tuju Dulung, dimana dalam bahasa suku Tidung artinya perahu tujuh haluan.
Hal ini merupakan upaya Pemkot Tarakan untuk bisa meningkatkan perekonomian masyarakat terutama para pelaku usaha UMKM di tengah pandemi COVID-19.
Selain membatik, Rumah Batik Disabilitas saat ini juga menyediakan masker batik Tarakan dan membuat baju hazmat untuk Alat Pelindung Diri (APD). Ada keunikan dari baju hazmat buatan Rumah Batik Disabilitas, karena mengkombinasikannya juga dengan kain batik motif Tarakan.
Pemberdayaan masyarakat lokal
Selain itu, Sony juga mengharapkan dalam memproduksi batik khas Kaltara tersebut hendaknya dilakukan di Kaltara.
"Ini merupakan tantangan juga peluang. Kalau ada orderan banyak sebaiknya dikerjakan di Kaltara, jangan di Jawa, kalau seperti itu ngapain," katanya. Hal ini yang perlu dijelaskan, orderan batik harus dikerjakan di wilayah Kaltara, untuk membangkitkan ekonomi wilayah.
Jadi ada perajin batik terima banyak, karena tidak mampu mengerjakannya sumber daya lokal maka pengerjaan dilakukan di Jawa. Bila hal ini terjadi maka imbauan dari Gubernur Kaltara untuk mengangkat batik khas Kaltara itu sia - dia.
"Kalau pun ketahuan, siapapun pembatik kalau dapat orderan banyak, tapi dikerjakan di luar Kaltara harus kena 'black list' atau sanksi, karena itu tidak mendukung kebijakan gubernur," kata Sony.
Jadi bukan hanya motif batiknya yang khas Kaltara, tapi pengerjaannya juga di Kaltara. Hal tersebut sudah dilakukan oleh Wali Kota Tarakan, Khairul yang mewanti - wanti pengerjaan batik motif khas Tarakan tidak boleh dikerjakan di luar Tarakan, apapun kesulitannya.
"Para difabel yang jadi perajin semakin bersemangat, dengan adanya kebijakan Gubernur Kaltara tersebut di saat yang tepat," katanya.
Baca juga: Gubernur Kaltara mengajak penggunaan batik khas Kaltara
Baca juga: Jubir jelaskan batik motif "corona"