Siulan bernuansa pelecehan bisa dilaporkan ke polisi

id Kekerasan seksual,Pencegahan kekerasan seksual,Pelecehan,PMA 73/2022,Kemenag Oleh Asep Firmansyah

Siulan bernuansa pelecehan bisa dilaporkan ke polisi

Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi saat mewakili Menag Yaqut Cholil Qoumas dalam pertemuan dua tahunan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), Rabu (8/12/2021). ANTARA/HO-Kemenag/aa.

Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi mengatakan siulan bernuansa pelecehan seksual yang diukur dari rasa ketidaknyamanan, merendahkan, atau melecehkan bisa dilaporkan ke aparat kepolisian.

"Adapun siulan yang dimaksud dalam regulasi ini adalah siulan yang bernuansa kekerasan seksual, antara lain siulan yang bernuansa seronok dan juga mengandung unsur merendahkan atau melecehkan yang mengganggu kenyamanan objek," ujar dia saat dikonfirmasi dari Jakarta, Kamis.

Siulan yang dimaksud Zainut adalah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam PMA tersebut mencakup verbal, nonfisik, fisik, dan teknologi infomasi dan komunikasi.

Ia mengatakan seseorang/korban yang tak nyaman karena dilecehkan bisa melaporkannya ke aparat kepolisian dengan delik aduan. Delik tersebut hanya dapat diproses apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan atau telah menjadi korban.

Menurutnya, dalam Pasal 18 PMA mengatur tentang sanksi. Ayat (1) disebutkan pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dikenakan sanksi pidana dan sanksi administratif.

Dalam ayat (2) disebutkan sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Jadi pemberlakuan sanksi pidana basisnya adalah putusan pengadilan dan berlaku mekanisme hukum sebagaimana diatur undang-undang," ujarnya.

Dalam kasus tersebut, peraturan yang dimaksud dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan atau Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Kementerian Agama telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) yang mengatur tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan yang berada di bawah kewenangannya.

PMA No. 73 tahun 2022 ini ditandatangani oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 5 Oktober 2022 dan mulai diundangkan sehari setelahnya

Satuan pendidikan yang dimaksud mencakup jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal, serta meliputi madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan keagamaan.

PMA ini terdiri atas sejumlah bab, yaitu ketentuan umum seperti bentuk kekerasan seksual, pencegahan, penanganan, pelaporan, pemantauan, evaluasi, sanksi, dan ketentuan penutup, seluruhnya ada 20 pasal.

Aturan ini mengatur bentuk kekerasan seksual mencakup perbuatan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Ada setidaknya 16 klasifikasi bentuk kekerasan seksual, termasuk menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, atau identitas gender korban.

Peraturan penting


Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Rumadi Akhmad mengatakan aturan baru Kementerian Agama yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 sangat penting untuk mencegah dan menindak kekerasan seksual di lembaga pendidikan.

Menurut Rumadi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, tindak kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag).

"Contohnya beberapa waktu lalu terjadi peristiwa yang menghebohkan di lembaga pendidikan keagamaan di Bandung dan di Jombang yang menyita perhatian publik," kata dia.

Penerbitan PMA No. 73/2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Kementerian Agama (Kemenag), kata Rumadi, menjadi salah satu bukti keseriusan pemerintah dalam mencegah dan menangani tindak kekerasan seksual serta memulihkan korban kekerasan seksual.

PMA tersebut, kata Rumadi, juga merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Namun, kata Rumadi, dengan adanya PMA tersebut, Kementerian Agama juga perlu lebih masif melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman yang tepat tentang definisi dan bentuk tindakan kekerasan seksual.

Dengan begitu, seluruh pemangku kepentingan di lembaga pendidikan keagamaan, baik formal maupun nonformal, dapat mengambil langkah cepat jika menemukan kasus kekerasan seksual dan mampu menangani korban dengan baik.

Rumadi juga menekankan perlunya lembaga-lembaga pendidikan keagamaan memiliki pusat layanan dan pengaduan tindakan kekerasan seksual.

"Pusat pengaduan dan layanan itu sangat diperlukan agar semua korban kekerasan seksual mendapat perlindungan yang maksimal," kata dia.

PMA No. 73/ 2022 ini telah ditandatangani Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada tanggal 5 Oktober 2022.

Mengutip dari laman resmi Kementerian Agama, PMA itu mengatur berbagai satuan pendidikan dari jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Jalur pendidikan itu meliputi madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan keagamaan.

Di dalam PMA yang terdiri atas tujuh bab dan 20 pasal tersebut, terdapat 16 bentuk kekerasan seksual, termasuk ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan identitas gender.

Selain itu, penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual kepada korban juga dinyatakan sebagai bentuk kekerasan seksual.

Baca juga:Kemenag sebut siulan bernuansa pelecehan bisa dilaporkan ke polisi
Baca juga:Anggota DPR: Peraturan Menag jadi acuan cegah kekerasan seksual



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul:

Kemenag sebut siulan bernuansa pelecehan bisa dilaporkan ke polisi