Jakarta (ANTARA) - Rumah di ujung Jalan Cireundeu, Puri Laras II, Ciputat, Tangerang Selatan itu, amat sering saya lewati. Sebagai penggemar lari, di hari Sabtu atau Minggu tertentu, saya berlari di Situ Gintung, sebuah danau buatan seluas 21,4 hektar yang terletak di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Jarak satu putaran di danau tersebut sekitar empat kilometer. Nah, ketika lari di sana, bolak-balik saya melewati rumah itu, karena letaknya memang tidak jauh dari danau. Itulah rumah almarhum Prof. Azyumardi Azra -- Ketua Dewan Pers 2022-2025, Guru Besar serta mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang wafat pada 18 September 2022 di Malaysia.
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, pada Minggu sampai Senin, 18 dan 19 September 2022, rumah itu dipenuhi deretan karangan bunga ucapan dukacita. Tidak tanggung-tanggung, jika diukur dari rumah itu, deretan bunga mencapai tidak kurang dari satu kilometer. Semuanya dijejer memanjang hingga ke tepi jalan umum di luar kompleks perumahan. Karangan bunga tersebut datang dari berbagai kalangan; Mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri, pimpinan pers, wartawan hingga rakyat biasa. Ini menunjukkan betapa luas pergaulan dan pengaruh Azyumardi. Selain itu, kiriman bunga-bunga tersebut menunjukkan rasa penghargaan dan penghormatan terhadap sosok bersahaja ini.
Jenazah almarhum, yang tiba di rumah duka, pada Senin, 19 September 2021, disambut laksana jenazah pahlawan pulang perang. Para pejabat
tinggi dan rakyat berbaur menyambut kedatangan jenazah, yang diletakkan dalam peti berselimutkan bendera Merah Putih. Salawat pun dilantunkan.
Esoknya, Selasa, 20 September 2022, Azyumardi dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Bertindak selaku Inspektur Upacara, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Menko PMK), Muhadjir Effendy. Rupanya Azyumardi dihormati bukan hanya saat masih hidup. Ia dihormati hingga akhir hayatnya. Inilah pertanda beliau memang sosok luar biasa.
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Halo 2023, ini kabar baik dan kabar buruk pers Indonesia
Berita Menggetarkan
Ada dua berita yang menggetarkan hati saya saat itu. Pertama, berita Jumat, 16 September 2022 tentang Prof. Azyumardi Azra yang mengalami sesak napas di atas pesawat menuju Kuala Lumpur dan harus diberi alat bantu pernapasan. Semula diduga almarhum terpapar Covid-19. Namun pemeriksaan terakhir di Rumah Sakit (RS) Serdang, Malaysia menunjukkan Azyumardi mengalami gangguan jantung.
Dikabarkan juga bahwa lelaki kelahiran Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatra Barat ini, bukan sekadar harus dilarikan ke RS, tapi juga “ditidurkan.” Saat itu hati saya makin gelisah. Hanya sedikit pasien yang “ditidurkan” yang mampu bertahan. Meski begitu, saya berharap dan berdoa semoga Pak Edi, begitu beliau biasa dipanggil oleh orang-orang terdekatnya, dapat melalui “pertarungan” ini dengan baik dan kembali sehat seperti sedia kala.
Ternyata, harapan tersebut tidak terwujud. Dua hari kemudian, tepatnya Minggu, 18 September 2022, berita yang saya khawatirkan itu tiba: Pak Edi menghembuskan napas terakhir di RS Serdang, Malaysia. Keterangan teranyar pihak RS, Pak Edi wafat karena jantung, seperti yang sudah disebut di atas.
Innalillahi wainnailaihi rajiun.
Dari Sang Pencipta kembali ke Sang Pencipta.
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Mengenang Prof Azyumardi Azra
Kawan Lama
Pak Edi merupakan kawan lama saya. Ia senior saya di pers mahasiswa. Umur kami berbeda empat tahun. Lelaki beranak empat ini lahir pada 4 Maret 1955. Saat kuliah, kami sama-sama mengikuti berbagai pelatihan pers mahasiswa. Karena itu, tak heran jika penggagas dan pengelola jurnal ilmiah Studia Islamika ini sangat menguasai teori-teori jurnalistik, termasuk kaidah-kaidah menulis feature dan opini.
Hingga jelang akhir hayatnya, almarhum dipercaya menulis di beberapa kolom opini. Isi tulisannya singkat dan padat, namun mengalir lancar dan enak dibaca. Beliau antara lain menjadi penulis tetap di Kompas. Ia juga sudah cukup lama menulis di kolom Republika.
Itulah sebabnya, kendati mantan wartawan Panji Masyarakat tersebut menjadi anggota dan Ketua Dewan Pers dari unsur tokoh masyarakat, namun hakikatnya, jiwa lulusan Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, adalah jiwa wartawan. Saat baru terpilih, Azyumardi sering berkata kepada wartawan, ”Saya ini juga dari kalangan wartawan. Saya kawannya Wina Armada dan Wikrama, sejak zaman pers mahasiswa atau pers kampus dulu.”
Saya mengetahui pengakuan dari peraih beasiswa Fulbright tersebut dari kawan-kawan sesama wartawan, yang bercerita kepada saya. Ini saya ungkapkan, bukan dalam rangka membanggakan diri, melainkan ingin menunjukkan kerendahan hati dan kesetiakawanan almarhum kepada sahabat lama. Ia tidak segan-segan mengungkapkan dengan siapa dulu ia bergaul. Ia tidak pernah melupakan kawan-kawan lama.
Baca juga: Obituari- Selamat jalan Prof Azyumardi Azra, cendekiawan yang memimpin Dewan Pers
Pertemuan Terakhir
Terakhir kali saya bertemu beliau di acara syukuran “kemenangan” Dewan Pers di Mahkamah Konstitusi (MK), sewaktu ada permohonan judicial review (JR). Sebenarnya, JR ini bukan ditujukan untuk Dewan Pers, melainkan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), selaku pihak yang melahirkan Undang-Undang (UU) Pers No. 40/1999. Dewan
140
Pers hanyalah Pihak Terkait. Dewan Pers terlibat setelah bersama-sama konstituen lainnya mengajukan diri ke MK sebagai Pihak Terkait.
Dalam keputusannya, MK dengan suara bulat dan mutlak menegaskan bahwa pasal-pasal tentang Dewan Pers dalam UU Pers tersebut, khususnya Pasal 15 Ayat (2) huruf f dan Ayat (5), sama sekali tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Bahkan, UU Pers dipandang MK sebagai salah satu tonggak reformasi di Indonesia. Pendeknya, tak ada norma dalam UU Pers ini yang bertentangan dengan norma konstitusi.
Ahli sejarah Islam di Indonesia tersebut menyatakan keputusan MK ini “prorakyat dan menjadi landmark bagi kemerdekaan pers Indonesia.” Konsekuensi logis dari keputusan tersebut adalah keberadaan Dewan Pers beserta aturan yang dikeluarkannya otomatis sah dan dapat dijalankan.
Dalam kasus ini, saya ditunjuk sebagai Koordinator Advokat Dewan Pers. Karena itulah saat berkumpul di acara tasyakuran, di lantai 7 Gedung Dewan Pers, ayah empat anak ini memberikan potongan tumpeng, antara lain kepada saya, mewakili Tim Advokat Dewan Pers.
Selesai acara, saya khusus bertemu beliau di ruang kerjanya yang sangat sederhana di lantai 7. Kami berbincang selama dua jam. Saat itu, sama sekali tidak ada tanda-tanda kelelahan, apalagi gejala jantung. Profesor Tamu dan dosen terbang di berbagai universitas dalam dan luar negeri ini masih kelihatan penuh semangat dan energik.
Dalam perbincangan itu kami membahas rencana pers ke depan. Saya mencatat setidaknya ada lima gagasan yang muncul. Pertama, Pak Edi menghendaki agar Dewan Pers tidak eksklusif dan dapat merangkul semua pihak, termasuk media sosial (medsos). Menurutnya, medsos juga perlu mendapat perhatian. Pak Edi menilai, saat ini tak bisa dipungkiri bahwa medsos memiliki peran dan pengaruh yang sangat kuat, sehingga tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa arah. Untuk itu, kami bersepakat untuk membuat semacam pedoman penayangan informasi di medsos. Tentu saja pada awalnya, pedoman ini bersifat sukarela bagi yang bersedia. Sesudahnya, diharapkan akan semakin banyak yang mengikuti hingga akhirnya pedoman tersebut menjadi semacam “norma” standar dalam penayangan informasi di medsos.
Kedua, almarhum ingin agar pers mahasiswa memperoleh perhatian yang lebih besar dari Dewan Pers. Penerima penghargaan Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star dari Kaisar Jepang ini, menghendaki agar tradisi pers kampus bisa dihidupkan lagi. Ia mengingatkan, sebagian dari wartawan dan pimpinan pers sekarang juga berasal dari pers mahasiswa. Pak Edi sendiri, misalnya, berasal dari pers kampus, lalu aktif di Panji Masyarakat.
Ketiga, Pak Edi menegaskan ingin mempercepat pembentukan Lembaga Pertimbangan Dewan Pers, sebagaimana diatur Statuta. Dengan demikian, jika ada masalah internal terkait perilaku anggota Dewan Pers, lembaga ini dapat lebih dahulu menanganinya. “Surat Keputusan sudah disiapkan,” ujarnya.
Saya mendukung penuh hal ini. Saya jelaskan, kebetulan, pengaturan lembaga tersebut di Statuta Dewan Pers merupakan salah satu gagasan saya, saat Statuta itu disusun.
Keempat, Pak Edi merencanakan safari ke berbagai daerah untuk menjelaskan keputusan MK dan berbagai peraturan Dewan Pers lainnya. Penjelasan di tiap daerah akan diberikan kepada para pejabat tinggi seperti gubernur, kepala kepolisian daerah, insan pers, juga publik, seperti guru dan akademisi.
Topik terakhir hari itu, Prof. Edi ingin agar kualitas dan integritas pers betul-betul dijaga. Di era sekarang, menurut beliau, pers yang independen dan berkualitas sangat diperlukan untuk menjaga demokrasi.
Selesai minum teh, kami keluar bersama dari ruang kerjanya. “Saya mau menjemput istri,” ujarnya santai. Dari dulu Pak Edi memang terkenal sebagai “family man.” Baginya, keluarga sangat berarti dan mampu memberikan ketenangan serta dukungan. Beliau tidak segan-segan turun langsung mengerjakan urusan rumah tangga sehari-hari.
Tak Pernah Berprasangka Buruk
Azyumardi adalah tipikal manusia langka. Sepengetahuan saya, ia tidak pernah berprasangka buruk terhadap siapa pun. Saat membicarakan teman atau kerabat, beliau hampir selalu berucap, “Ia orang baik.” Semua insan pers juga dikatakannya sebagai orang baik. Sepanjang interaksi saya dengan beliau, tidak pernah keluar kata-kata buruk dari dirinya terhadap orang lain.
Bahkan terhadap orang yang berbeda pendapat sekalipun, Pak Edi tetap menunjukkan rasa hormat dan berprasangka baik. “Ia orang baik, hanya sudut pandangnya saja yang berbeda,” ujarnya saat disinggung nama seseorang yang berbeda pendapat dengannya. Tidak ada nada kesal, apalagi dendam.
Tentu sebagai manusia ciptaan Tuhan, Pak Edi bukan orang yang tidak pernah marah. Namun, di saat marah, Azyumardi tidak hilang kendali. Sebab-musabab kemarahan dijelaskannya secara rasional sehingga orang tersebut dapat menerima atau memahaminya. Sesudahnya, semua kembali normal dan harmonis. Ya, Pak Azyumardi memang laksana sufi yang bijak, yang mampu memahami semesta luas ini.
Baca juga: Dubes: Prof Azyumardi Azra meninggal karena serangan jantung
Raja Baca
Sejak mahasiswa, saya lihat Pak Edi sudah gemar membaca. Kebiasaan ini terus berlangsung hingga akhir hayatnya. Ia memiliki keistimewaan dapat membaca cepat, namun tetap teliti. Ini ternyata berawal dari latar belakang keluarga dan kehidupan masa kecilnya.
Orangtuanya memberi nama Azyumardi Azra. Azyumardi berarti “Permata Hijau”. Banyak yang menduga “Azra” adalah nama ayahnya. Padahal tidak. “Azra” rupanya singkatan dari “anak Azikar dan Ramlah”, gabungan nama ayah dan ibunya.
Azyumardi datang dari keluarga sederhana. Ayahnya tukang kayu, juga pedagang kopra dan cengkeh. Ibunya guru agama. Darah guru dalam diri dosen lulusan Universitas Colombia ini jelas mengalir dari sang ibu.
Tidak semua fasilitas bisa diperoleh Azyumardi kecil. Meski gemar membaca sejak dini, bahan bacaan dari keluarganya sangat terbatas. Untuk memenuhi hobinya itu, ia banyak membaca sobekan koran pembungkus dagangan, yang ada di rumahnya.
Tak hanya itu, pria penulis disertasi The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay- Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries ini ternyata belajar membaca cepat dari tulisan yang ditempel di bus. Saat bus melaju kencang, mau tidak mau ia juga harus membaca cepat. Kebiasaan inilah yang di kemudian hari menjadikannya mampu membaca kilat, namun tetap teliti.
Dengan kemampuan membaca cepat tadi, Pak Edi dapat melahap banyak bacaan dalam waktu singkat. Ini bahkan bisa dilakukannya sembari mengikuti kegiatan lain. Luar biasa!
Semasa hidupnya, Azyumardi tidak hanya membaca buku akademis yang berat, tapi juga artikel populer, hingga postingan orang yang dikenalnya. “Saya membaca dan mengikuti tulisan Bung Wina selama puasa. Bagus itu,” ujarnya suatu saat ketika kami bertemu sesudah lebaran 2022. Selama bulan puasa itu saya memang menulis kisah-kisah human interest di medsos selama 29 hari. Hemat saya, ketimbang mewartakan atau menguraikan ayat-ayat kitab suci, yang belum tentu saya kuasai, lebih baik saya menulis kisah-kisah humanis; Kisah yang mengandung nilai- nilai kemanusiaan dari cerita sehari-hari. Rupanya almarhum mengikuti tulisan saya selama Ramadan itu.
Tak lama sesudahnya, saya kembali menulis tentang dorongan hati untuk mengenakan sarung saat salat subuh. Beliau menyarankan, “Hal-hal seperti itu harus dibukukan.” Saya langsung menyetujui usulan itu.
Baca juga: Catatan Ilham Bintang - Indonesia menangis, tiada lagi Ketua Dewan Pers Prof Azyumardi Azra
Tak Pernah Menolak
Kendati menyandang gelar Guru Besar dan pernah menjadi Rektor, lalu terkini Ketua Dewan Pers, jika diminta memberikan ceramah, pelatihan dan wawancara, Azyumardi Azra tidak pernah menolak. Dibayar atau 144
tidak, lembaga besar atau kecil, semua dilayani dengan baik. Wartawan bisa berdiskusi apa saja dengannya. Nomor telepon selulernya juga boleh diketahui siapa pun. Wartawan yang meminta waktu wawancara selalu dilayani dengan baik.
Azyumardi nampaknya menganut prinsip, jika diundang dan tak ada halangan, hukumnya wajib dipenuhi. Sesibuk apa pun, ia tidak mau mengecewakan pengundangnya. Ini sejalan dengan prinsip Pak Edi, bahwa berbagi ilmu adalah ibadah. Karena itu, ia tak pernah pelit berbagi ilmu, termasuk menyebarkannya kepada yang mengundang. Sering ia berkorban waktu dan kepentingan pribadi untuk ini. Pak Edi karenanya jelas sosok teladan. Ia bukan hanya guru, namun manusia berhati mulia dan bijaksana, termasuk dalam menyebarkan ilmu pengetahuan.
Baca juga: Catatan Ilham Bintang -Kisah Prof Azyumardi Azra, Ketua Dewan Pers yang terpapar COVID-19
Mengakui Peran Orang Lain
Suatu hari tanpa disangka-sangka, Azyumardi mengirim WhatsApp (WA) ke saya, ”Dewan Pers berhutang budi kepada Bung Wina.” Jelas saya tersanjung disebut demikian oleh manusia budiman ini, meski saya tidak paham apa alasannya.
Suatu ketika kami berkesempatan berbincang santai di sela-sela acara Dewan Pers. Ia kembali mengatakan hal yang sama. Kali ini secara langsung. Saya tersenyum menyangka itu basa-basi belaka. Lalu saya tanya alasannya. Ia lantas menjelaskan, berdasarkan cerita staf sekretariat dan beberapa anggota lama Dewan Pers, ia menjadi tahu kiprah saya. Dewan Pers menjadi seperti sekarang, salah satunya karena peran saya untuk “menghidupkan” lembaga ini. Saya mengakui, memang ada masa di mana saya memfasilitasi organisasi pers ini untuk menyusun aturan- aturan terkait. Saya juga merancang sebagian konsep aturan Dewan Pers di masa awal berdirinya lembaga ini.
Azyumardi juga mengungkapkan bahwa ia tahu, berkat lobi saya, Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang mengharuskan pengadilan saat memutuskan perkara pers harus mendengarkan keterangan ahli dari Dewan Pers. Begitu pula
Nota Kesepahaman pertama antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Dewan Pers, juga menurutnya, terwujud berkat peran saya.
Saya terperanjat. Bagaimana bisa dalam waktu singkat, Azyumardi memperoleh begitu banyak informasi. Meski demikian, saya bersikap merendah. ”Ya, semua itu hasil kerja bersama, Pak.”
“Ah, saya tahu semua, kok,” tandasnya. Kali ini saya tidak bisa berkomentar lagi, kecuali sedikit cengar-cengir.
Saya semula berpikir, hal itu diungkapkan hanya untuk “menyenangkan” hati sahabat lama. Tapi nyatanya, ia juga menyebutkan hal ini dalam beberapa kesempatan lain. Azyumardi menceritakan pula lewat WA ke beberapa kolega.
Saya terkejut menerima terusan WA Azyumardi dari seorang kawan perempuan yang mengajar di Universitas Indonesia (UI). Kawan ini mendapat WA Pak Edi, “Selamat sore juga, Prof... (nama asli sengaja saya hilangkan). Bung Wina itu pejuang/pembela Dewan Pers yang luar biasa. Salam sehat, Bu.”
Kemudian, kawan itu mengirim WA lagi ke saya. “Selamat sore, Pak Wina. Di atas tadi komentar dari Prof. Azra.” Waduh, ternyata Azyumardi memang orang yang tulus ikhlas. Ia memuji tidak untuk basa-basi.
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Soal berita sepihak
Tokoh Teladan
Prof. Azyumardi Azra memang layak menjadi tokoh teladan bagi kita semua. Kegigihannya mengejar ilmu pengetahuan dan pendidikan patut ditiru. Sejak kecil, ia memanfaatkan apa saja untuk membaca dan menambah pengetahuan. Ketika kuliah, ia menyambi kerja sebagai wartawan. Berkat kegigihannya, ia memperoleh beasiswa dan meraih gelar akademis tertinggi dari universitas ternama, Universitas Columbia..
Produktifitasnya dalam menulis juga patut menjadi contoh, khususnya bagi akademisi dan wartawan. Ia juga mengajarkan bahwa untuk mendapatkan hasil baik, seseorang harus optimistik, memanfaatkan peluang yang ada, serta mampu mengatur waktu sebaik mungkin.
Kerendahan hati almarhum juga patut dicontoh. Ia tidak besar kepala karena berbagai atribut dan pencapaiannya. Sikapnya senantiasa membumi dan selalu menghargai sesama tanpa rasa sombong.
Jejaring Azyumardi juga sangat luas dan menjangkau banyak kalangan dari seluruh lapisan masyarakat. Prinsipnya untuk selalu berprasangka baik menyebabkan dirinya mudah diterima semua kalangan.
Berbekal keahlian sejarah dan pemahaman keislaman yang mumpuni, disertai ketaatan yang baik sebagai seorang muslim, sosok Azyumardi mampu merepresentasikan Islam yang ramah, cair serta mudah diterima oleh berbagai kalangan. Ia sekaligus menjadi bukti bahwa Islam itu toleran dan menghargai kemajemukan. Tak kurang Ratu Elizabeth terkesan akan sosok ini, hingga tak ragu memberikan anugerah Commander of the Most Excellent Order of the British Empire (CBE) pada 2010.
Semua ini membuktikan bahwa Pak Edi memang sudah bermetamorfosis. Ia tak lagi sekedar ahli bahasa dan sejarah peradaban Islam, tapi sudah menjadi pemikir dan pejuang kemanusiaan. Ia bukan hanya penulis dan wartawan handal, tapi menjadi contoh manusia yang rendah hati, sejuk dan damai. Ia tidak lagi sekadar cendekiawan Islam yang dimiliki Indonesia, tapi menjelma menjadi pemikir peradaban tingkat dunia. Berbagai penghargaan global, seperti dari Jepang dan Inggris tadi, telah membuktikannya.
Jika almarhum menyebut keputusan MK telah menguatkan posisi Dewan Pers sebagai “landmark” kemerdekaan pers Indonesia, maka sejatinya Azyumardi Azra sendiri adalah “landmark” bagi pemikir dan pejuang yang menegakkan nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi ini.
Tegasnya, Azyumardi Azra adalah prasasti itu sendiri; Prasasti yang bercerita tentang kegigihan seorang anak manusia dalam memperjuangkan kemanusiaan bagi segala bangsa. Ia telah bermetamorfosis.
Ya, Azyumardi Azra sudah menjadi “Anak Bumi Segala Bangsa”.
(*Wina Armada Sukardi
- Wartawan Senior)
Baca juga: Sertifikasi wartawan kewenangan Dewan Pers
Baca juga: Dewan Pers diberi wewenang sertifikasi jurnalis karena UU "lex specialis"
Baca juga: Tok ! Mahkamah Konstitusi putuskan, tolak seluruh gugatan uji materiil UU Pers
Berita Terkait
Berbagai "warna baru" dalam penyelenggaraan FFWI 2023
Selasa, 28 Maret 2023 18:12
Ini cerita lukisan "Anak Kecil Menunggang Kerbau" karya Sang Maestro Basuki Abdulah
Sabtu, 29 Oktober 2022 18:32
Telaah - Penggunaan kata "terpapar"
Jumat, 24 Juli 2020 14:16
Peluncuran Buku: Azyumardi Azra, "Sang Intelektual Organik Yang Rendah Hati"
Sabtu, 31 Desember 2022 15:06
Catatan Hendry Ch Bangun - Ada apa dengan Dewan Pers ?
Selasa, 20 Desember 2022 1:24
Catatan Hendry Ch Bangun - Mengenang Prof Azyumardi Azra
Minggu, 18 September 2022 16:51
Obituari- Selamat jalan Prof Azyumardi Azra, cendekiawan yang memimpin Dewan Pers
Minggu, 18 September 2022 16:29
Dubes: Prof Azyumardi Azra meninggal karena serangan jantung
Minggu, 18 September 2022 16:24