Batik Bultiya berkibar lagi, oasis bagi perajin di tengah pandemi

id Batik

Batik Bultiya berkibar lagi, oasis bagi perajin di tengah pandemi

Batik khas motif Tarakan hasil produksi Rumah Batik Disabilitas di Tarakan. Antara/Susylo Asmalyah

Tarakan (ANTARA) - Ternyata batik Kalimantan Utara (Kaltara)bukan sembarang batik namun mengandung pesan-pesan tentang keberagaman dan persatuan.

Jika jeli melihat batik khas Kalimantan Utara, maka di sana ada tiga corak ornamen yang mewakili etnis Bulungan, etnis Tidung dan etnis Dayak sehingga disebut Batik "Bultiya".

Motif dan ornamen Batik yang terdiri dari tiga etnis Kaltara namun padu dan serasi dalam keutuhan keindahan warna sangat kental mengandung filosofi yang telah hidup di Kesultanan Bulungan--cikal bakal Kaltara-- sejak ratusan tahun silam tentang keberagaman tetapi tetap satu.

Pesan filosofi yang terkandung dalam Batik Bultiya sejalan dengan semboyan bangsa Indonesia yang tertulis di lambang negara Garuda Pancasila, yakni "Bhineka Tunggal Ika" atau berbeda-beda tetap satu jua.

Secara historis, batik Bultiya sudah ada sebelum Provinsi Kaltara terbentuk, yakni tahun 2010, hanya saja batik khas Bulungan ini belum memiliki nama.

Bultiya semakin naik pamor setelah diapresiasi oleh Bupati Bulungan Budiman Arifin pada di tahun 2012 ketika acara Birau.

Atas besutan pak Budiman Arifin pada 2012 itu maka batik ini kian terkenal karena selalu tampilkan di acara Birau. Dari situlah lahir nama Bultiya.

Namun, hakikatnya sebelum Bupati Bulunganmengenalkan "Batik Bultiya", Kesultanan Bulunganterlebih dahulu memiliki kearifan lokal tentang satu dalam keberagaman itu.

Pasalnya, bendera Kesultanan yang sudah ada ratusan tahun silam dengan tiga warna yang masing-masing melambangkan tiga etnis itu.

Batik Bultiya kembali jadi perhatian ketika Gubernur Kalimantan Utara baru hasil Pilkada lalu, Zainal Arifin Paliwang pada hari pertama bertugas pada Kamis (18/2) terlihat menggunakan batik warna gelap dengan motif khas Kaltara atau Batik Bultiya.

Ia menuturkan bahwa sejak 9 Desember 2020, kalau ada pertemuan di Jakarta selalu menggunakan batik khas Kalimantan Utara.

Imbauan dari Gubernur ini tentunya disambut rasa syukur, serta bagai oasis bagi para perajin batik khas Kaltara.

Salah satunya yakni Ainun Farida merupakan pemilik Bultiya Farida Gallery di Tanjung Selor.

Ia bersyukur atas apa yang beliau (gubernur, red) sampaikan agar menumbuhkan kearifan lokal, yakni pakai batik khas Kaltara. Kearifan lokal beliau sangat luar biasa.

Awal masa jabatan sebagai Gubernur dengan menjadikan batik sebagai ikon daerah yang harus dikenakan di hari-hari tertentu saat kedinasan merupakan gebrakan sangat baik.

Terutama di masa pandemi yang kebanyakan usaha pariwisata dan ekonomi kreatif dilanda kelesuan dengan pendapatan yang menurun selama setahun ini.

Dia mengungkapkan bahwa para perajin batik di Kaltara mengalami penurunan penjualan, biasanya seminggu sekali saja pembeli ada. Biasanya hanya tamu dari Pemerintah Provinsi Kaltara dan Polda Kaltara.

Setelah ada imbauan dari Gubernur Kaltara, langsung pembelian meningkat bisa sampai Rp5 juta per harinya.

Gubernur Kaltara sangat peduli atas budaya lokal di Kaltara. Hanya saja dirinya tidak mengklaim batik yang dikerjakan menjadi satu-satunya batik di Kaltara.

Namun produksi yang dihasilkan batik perpaduan corak Bulungan Tidung Dayak, disingkat Bultiya, merupakan bagian batik yang ada di Bumi Benuanta.

Untuk harga, memang dibanderol dengan harga variatif. Hal ini disesuaikan dengan tingkat kesulitan motif dan jenis kain. Di mana pengerjaannya masih menggunakan cara tradisional berupa melukis, untuk bahan kainnya masih didatangkan dari Jawa.

Selain itu, Ainun juga membawa pelatih dari Jawa untuk belajar pewarnaan sesuai keinginan.

Batik dengan ikon burung Enggang yang dipakai oleh pak Gubernur sekarang. Harga variatif untuk batik, dari metode cap harganya Rp400 ribu dan metode printing itu Rp 200 ribu perlembar.

Batik Bultiya dapat dikenali karena warnanya yang terang, umumnya batik Kalimantan memang memiliki warna yang mencolok. Batik Bultiya identik dengan warna kuning kunyit untuk Bulungan, warna biru muda untuk Tidung dan warna cokelat tua untuk Dayak.

Batik Kalimantan itu pasti "ngejreng". Berbeda dengan batik dari Jawa terkesan kalem, kebanyakan warna tanah yakni coklat dan putih.

Secara detail, makna kuning di batik Bultiya itu dari bunga kunyit yang banyak dipakai oleh suku Bulungan. Biasanya pada keraton Bulungan dan rumah tua di Tanjung Palas itu memakai motif bunga kunyit.

Angin Segar

Imbauan Gubernur Kaltara juga merupakan "angin segar" bagi Rumah Batik Disabilitas yang dikelola oleh Sony Lolong (56), karena memiliki peserta didik seluruhnya adalah mereka yang berkebutuhan khusus atau disabilitas. Baru berdiri pada Maret 2020 saat mulai pandemi COVID-19.

Sony sebelumnya adalah pembatik, kemudian merangkul para difabel yang ada di Tarakan.

Jumlah mereka ada 22 orang, tuna rungu ada 18 orang, tuna daksa ada dua orang dan tuna grahita dua orang. Mayoritas memang anak – anak tuna rungu.

Para kaum difabel tersebut berkelompok mengerjakan di Rumah Batik Disabilitas, dimana antara mereka berkomunikasi dalam bekerja mengunakan bahasa isyarat. Aksara tanpa kata yang memberikan asa dengan adanya imbauan menggunakan batik khas Kaltara dari pemimpin baru di Kaltara.

Otomatis pendapatan mereka bertambah dengan menunggu orderan dari perorangan, instansi atau perusahaan pada batik yang mereka kerjakan.

Batik khas Tarakan dengan motif pucuk pakis untuk mengangkat kearifan lokal, dimana tumbuhan pakis – pakisan banyak tumbuh di Tarakan, yang juga dapat dikonsumsi untuk sayur.
Pewarna yang digunakan di Rumah Batik Disabilitas adalah pewarna alami dari tumbuhan yang banyak tumbuh di Tarakan. Seperti daun mangrove, daun rambutan, kulit jengkol dan lain – lain.

Diharapkan para difabel yang menjadi anak didik Sony, pada akhirnya dapat mandiri membuat usaha batik sendiri. Batik ramah lingkungan harga penjualan berkisar Rp300 ribu – Rp600 ribu tergantung bahan bakunya.

Pemasarannya dilakukan secara online dengan menggunakan instagram dan facebook serta di Kantor Pusat Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pemkot Tarakan.

Saat ini, Sony dipercaya oleh Pemkot Tarakan untuk menyediakan batik Tarakan untuk Aparat Sipil Negara (ASN) untuk menggunakannya setiap minggu pada hari Kamis. Dengan motif Padau Tuju Dulung, dimana dalam bahasa suku Tidung artinya perahu tujuh haluan.

Hal ini merupakan upaya Pemkot Tarakan untuk bisa meningkatkan perekonomian masyarakat terutama para pelaku usaha UMKM di tengah pandemi COVID-19.

Selain membatik, Rumah Batik Disabilitas saat ini juga menyediakan masker batik Tarakan dan membuat baju hazmat untuk Alat Pelindung Diri (APD).

Ada keunikan dari baju hazmat buatan Rumah Batik Disabilitas, karena mengkombinasikannya juga dengan kain batik motif Tarakan.

Pemberdayaan masyarakat lokal

Selain itu, Sony juga mengharapkan dalam memproduksi batik khas Kaltara tersebut hendaknya dilakukan di Kaltara.

Kegiatan itu merupakan tantangan juga peluang. Kalau ada orderan banyak sebaiknya dikerjakan di Kaltara.

Hal ini yang perlu dijelaskan, orderan batik harus dikerjakan di wilayah Kaltara, untuk membangkitkan ekonomi wilayah.

Jadi ada perajin batik terima banyak, karena tidak mampu mengerjakannya sumber daya lokal maka pengerjaan dilakukan di Jawa. Apabila hal ini terjadi maka imbauan dari Gubernur Kaltara untuk mengangkat batik khas Kaltara itu sia - dia.

"Kalau pun ketahuan, siapapun pembatik kalau dapat orderan banyak, tapi dikerjakan di luar Kaltara harus kena 'black list' atau sanksi, karena itu tidak mendukung kebijakan gubernur," kata Sony.

Jadi bukan hanya motif batiknya yang khas Kaltara, tapi pengerjaannya juga di Kaltara. Hal tersebut sudah dilakukan oleh Wali Kota Tarakan, Khairul yang mewanti - wanti pengerjaan batik motif khas Tarakan tidak boleh dikerjakan di luar Tarakan, apapun kesulitannya.

"Para difabel yang jadi perajin semakin bersemangat, dengan adanya kebijakan Gubernur Kaltara tersebut di saat yang tepat," katanya.

Sikap positif Gubernur Zainal itu ternyata bukan sukses mengangkat kembali nilai pesan luhur dalam budaya lokal namun bagai oasis bagi perajin batik Kaltara di masa pandemikarena sangat membantu perekonomian mereka.

Baca juga: Matra: berjuang melalui ketahanan budaya

Baca juga: Bulungan di antara hikayat dan sejarah