Diskes: Rasio dokter spesialis di Kaltara belum memenuhi standar WHO

id dokter spesialis, kebutuhan dokter,Dinkes Kaltara

Diskes: Rasio dokter spesialis di Kaltara belum memenuhi standar WHO

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Utara, Usman. (Muh. Arfan)

Tanjung Selor (ANTARA) - Rasio dokter spesialis dengan jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Utara yang kurang lebih 701.814 jiwa (Sensus Penduduk 2020), berdasarkan catatan Dinas Kesehatan belum memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.

“Rasio dokter dan masyarakat berdasarkan standar WHO satu berbanding 2.500, belum memenuhi standar. Sedangkan kita belum sampai ke situ, perkiraan baru satu banding 5.000. Bahkan kalau BPJS bisa satu banding 10.000,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Utara, Usman di Tanjung Selor, Jumat.

Hal yang menyebabkan belum idealnya jumlah dokter spesialis di Kalimantan Utara ialah faktor geografis dan kondisi sebaran penduduk.

Sejatinya pemerintah daerah di Kalimantan Utara menawarkan insentif tinggi bagi dokter spesialis yang mau mengabdi. Hanya saja dokter spesialis tetap melirik daerah di luar Kalimantan Utara, seperti Pulau Jawa.



“Jumlah penduduk kita masih sedikit. Artinya kalau mereka mau membuka praktik, masih terbatas. Kecuali memang ada kompensasi misalnya mereka tidak praktik tetapi dengan insentif cukup tinggi. Jadi tergantung lagi kepada daerah di kabupaten/kota berapa kemampuan untuk memberikan insentif itu,” kata Usman.

Jumlah dokter spesialis di Kalimantan Utara baru mencapai 155 orang. Dengan rincian 81 orangdi Kota Tarakan, sebanyak 25 orang di Kabupaten Nunukan, lima di Kabupaten Tana Tidung, sebanyak 26 orang di Kabupaten Bulungan, dan 18 orang di Kabupaten Malinau.

Pada tahun 2021, jumlah dokter spesialis di provinsi ini baru mencapai 146 orang. Lalu 292 dokter umum dan 61 dokter gigi.

Usman mengatakan, dengan jumlah tersebut pelayanan kesehatan secara spesialistik belum dapat dilakukan menyeluruh. Ditambah sebaran dokter spesialis didominasi di ibu kota kabupaten.

Sementara masyarakat di daerah Daerah Pedalaman, Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan) juga tidak jarang membutuhkan layanan dokter spesialis.

“Maka dari itu kami ada program PRO LENTERAKU atau Program Layanan Dokter Terbang Kalimantan Utara. Kami mengirim dokter spesialis ke wilayah-wilayah pelosok dan pedalaman untuk menjangkau masyarakat. Alhamdulillah ini berjalan terus sampai sekarang,” kata Usman.

Usman mengatakan Kementerian Kesehatan memiliki program Pendayagunaan Dokter Spesialis serta program internship membantu pelayanan dokter spesialis di Kalimantan Utara. Namun hal itu belum menjawab permasalahan yang ada sebab jangka waktunya hanya setahun penugasan.

Pemprov Kalimantan Utara pada 2018 sempat berupaya memenuhi kebutuhan dokter spesialis melalui jalur seleksi penerimaan CPNS namun minim peminat karena batas umur pelamar yang dipersyaratkan hanya maksimal 35 tahun.

“Sedangkan rata-rata usia lulusan pendidikan dokter spesialis sudah di atas 35 tahun. Sehingga hal itu juga perlu pertimbangan pemerintah pusat ketika membuka penerimaan CPNS untuk formasi dokter spesialis,” ujarnya.

Kala itu, Pemprov Kalimantan Utara membuka lowongan CPNS dengan rincian dokter spesialis anak tiga orang, dokter spesialis anestesi empat orang, dokter spesialis bedah tiga orang, Dokter spesialis paru dua orang, dokter spesialis kedokteran jiwa tiga orang, dokter spesialis kulit dan kelamin satu orang, dokter spesialis mata satu orang.

Selain itu, dokter spesialis obgynsatu orang, dokter spesialis penyakit dalam dua orang, dokter spesialis syaraf dua orang, dokter spesialis THT Ahli dua formasi, dokter spesialis patologi klinik satu orang, dokter spesialis patologi anatomi dua orang, dokter spesialis jantung dua orang, dokter spesialis orthopaedi & traumatologi dua orang.

Kemudian dokter spesialis rehabilitasi medik dua orang, fokter spesialis urologi satu orang, dokter spesialis orthodontisatu orang, dan dokter spesialis kesehatan gigi anak satu orang.




Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Rasio dokter spesialis di Kaltara belum memenuhi standar WHO